Oleh Jakob Sumardjo
Budayawan
ADA kecenderungan pendangkalan pikiran
akhir-akhir ini. Orang lebih memercayai hal yang tampak daripada inti yang
tersembunyi di dalamnya. Film-film Hollywood menasihati: jangan menilai dari
permukaannya.
Nenek moyang
Indonesia sering menasihati anak cucunya dengan begitu saja menyatakan: jangan
kau sia-siakan bungkusan remeh yang tergeletak di jalan, yang biasanya dilewati
orang begitu saja, karena di dalamnya penuh intan berlian yang tak ternilai
harganya. Yang mereka maksudkan adalah tuturan cerita seperti dongeng anak-anak
yang tak masuk akal, padahal di balik dongeng itu tersembunyi kearifan lokal
yang tak ternilai.
Terjemahannya
untuk masa kini justru terbalik. Orang sudah tahu bahwa isinya sesuatu yang tak
ternilai, tetapi dengan bungkusnya yang cacat, maka isinya menjadi cacat juga.
Ya, dialah
orang yang paling tepat yang kita butuhkan untuk mengatasi masalah-masalah
gawat kita sekarang. Namun, apa kata mereka? Goblok, kamu! Dia kan bukan orang
kita. Lebih baik kita menggunakan bambu daripada kayu jati yang bukan berasal
dari daerah kita sendiri.
Barangkali
semangat 45, rasa kebangsaan yang berkobar-kobar yang spontanmenolak apa
"yang lain", yang "bukan kita", masih menyala-nyala dalam
dada kita. Namun kenyataannya, setelah hampir tiga perempat abad kita merdeka,
gejala "hari ini anak- anak saya makan atau tidak" masih ada meskipun
mereka yang "hari ini anak-anak ingin makan apa" semakin banyak.
Warga negara yang kaya memang semakin banyak, tetapi warga negara yang tidak
dapat makantidak dapat ditolong negara yang semakin miskin.
Dia yang
"orang lain"
Di zaman
dahulu, kalau banyak rakyat miskin, yang disalahkan raja dan
pembantu-pembantunya. Menjelang ambruknya sebuah kerajaan, kata sahibulhikayat,
raja hanya bersenang-senang dan banyak melakukan dosa. Sampai abad ke-19,
kepercayaan ini masih kuat dengan ditulisnya Serat Kalatida oleh pujangga
Ronggowarsito di Keraton Surakarta. Pada zamannya, banyak pembesar yang
"putih di luar kuning di dalam" alias hipokrit meskipun masih ada
juga pembesar-pembesar yang baik, tetapi tak mampu memperbaiki keadaan.
Rakyat miskin
sudah putus asa, hanya mengharapkan keadilan Tuhan. Itu sebabnya mitos Ratu
Adil dan Satria Piningit bertambah subur. Kehendak jahat ada di mana-mana,
hampir semuanya jahat, sehingga manusia tidak mampu mengatasinya, kecuali kuasa
yang ada di luar manusia.
Rakyat miskin
yang hidupnya sengsara, dan lebih sengsara lagi menyaksikan pembesarnya
berlimpahan harta, tidak segan meminta tolong kepada "setan". Dalam
sistem kepercayaan, "setan" adalah bukan bagian dari kelompok
manusia. Setan adalah yang lain itu.
Pada tahun
1950-an beredar terjemahan cerpen Amerika karangan Stephen Vincent Benet,
"Hantu dan Daniel Webster" (kalau tidak salah terjemahan Mochtar
Lubis), yang mengisahkan petani miskin Jabez Stone akibat ketandusan ladangnya.
Banyak petani yang telah "menggadaikan" dirinya kepada Setan yang
tiap kali berkeliling daerah itu dengan kereta hitam, kuda hitam, dan jubah
hitam.
Akhirnya Jabez
Stone berbuat sama. Hidupnya berubah jadi lebih dari kecukupan. Ketika saatnya
tiba, petani ini akan masuk Kerajaan Setan. Seorang anggota DPR Amerika
(senator) yang pro rakyat menggugat Setan di pengadilan spiritual. Bukan
kesalahan petani, melainkan kesalahan negara sehingga warganya menggadaikan
jiwanya kepada "yang lain" itu.
Apakah masih
jadi persoalan yang esensial ketika "kalatida" bangsa ini telah lama
tidak teratasi? Ketika banyak orang baik bersikap seperti Jabez Stone, yaitu
memilih pertolongan kepada "Setan" apa saja, germo, bandar narkoba,
bos kelab malam, bos preman, dan calo TKI. Begitu pula jenis "setan yang
lain" seperti "bukan kelompok", "bukan sedarah",
"bukan satu warna kulit", dan "bukan-bukan" yang lain yang
sektarian?
Apakah kalau
berasal dari satu kelompok tertentu, masalah laten akan dapat diatasi? Apakah
kita ingin persoalan menahun ini akan selesai atau tidak? Baik oleh orang
normal kita atau oleh "orang lain" itu?
Melenyapkan
"isi"
Teater Koma
pada 1980-an berkali-kali mementaskan mitologi Tiongkok, Siluman Ular Putih,
yang dahulu disebut Ouw Peh Tjoa. Dua perempuan siluman turun ke dunia menjadi
dua gadis cantik. Mereka menjadi ahli obat-obatan dan banyak menolong manusia
dengan kepandaiannya itu.
Namun, para
pendeta mengetahui bahwa keduanya siluman, dan siluman harus ditumpas di dunia
manusia. Tidak peduli apakah siluman perempuan itu menyelamatkan derita banyak
manusia miskin, tetapi karena mereka "yang lain", maka tetap harus
dimusnahkan. Akhirnya mereka dipenjara di bawah bangunan pagoda yang besar dan
tinggi.
Cerita dari
berbagai bangsa dan zaman itu menegaskan bahwa melihat dan membaca
"kulit" kadang melenyapkan "isi" kehendak dan perbuatan
baik yang berguna bagi semua orang. Kebenaran esensial yang berlaku untuk semua
orang dibatasi kebenaran parsial yang berlaku untuk kelompok tertentu dalam
ruang dan waktu tertentu pula.
Anda memang
jujur, tegas, berani, dan rasional, tetapi karena itu Anda tak pantas memimpin
kami. Anda memang cerdas, tahu persoalan, dan tulus mencintai penderitaan
bangsa ini, tetapi karena bla-bla-bla, Anda tidak kami butuhkan. Kami tahu dana
Anda tak terbatas dan rela menolong gratis usaha kecil kami, tetapi karena
kereta dan kuda Anda berwarna hitam, kami tolak.
Sumber: Kompas, 14 November
2016
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!