Oleh Teuku Kemal Fasya
Dewan Pakar NU Aceh
Dewan Pakar NU Aceh
SILAKAN cari intan-berlian keberagaman sekemilau kampung kelahiran saya,
Gampong Mulia, Banda Aceh. Mungkin itu satu-satunya kampung di Indonesia —atau
bahkan di dunia— berpenduduk mayoritas Muslim yang berdiri tiga gereja
sekaligus. Tiga dari empat gereja di Banda Aceh berada di Gampong Mulia.
Demikian pula wihara. Dari empat wihara yang terdapat di
Banda Aceh, tiga di antaranya berdiri di sana. Apakah secara sosio-kultural
kampung itu semulia namanya? Tidak juga. Seperti galibnya kampung-kota lain,
ada saja problem sosial dan kenakalan remaja yang terjadi.
Namun, untuk masalah konflik bernuansa agama dan keyakinan,
jangan harap bisa dipancing. Padahal, beberapa gereja dan wihara posisinya
berdekatan dengan masjid dan meunasah (mushala) yang gaung peribadatan dan
hilir-mudik umat pasti terasa setiap saat. Ini juga bukan kampung
"sekuler". Setiap malam minggu masih terdengar dalailul-khairat:
lantunan shalawat kepada Nabi Muhammad SAW dan doa kepada ulama terdahulu.
Empiris keberagaman
Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Nahdlatul
Ulama (Lakpesdam NU) Aceh beberapa tahun ini melakukan program pembinaan
kampung-kampung keberagaman di Banda Aceh, termasuk Gampong Mulia. Namun,
kampung-kampung itu bukan beragam dan toleran karena program itu. Jauh sebelum
itu, sejarah keberagaman telah tumbuh bagai pohon yang kokoh, bertunas dan
berbuah dalam interaksi sosial, serta akarnya menghunjam dalam kognisi sosial
masyarakat.
Secara empiris, fakta keberagaman dan rinai-rinai keunikan
telah terbentuk puluhan hingga ratusan tahun. Kampung-kampung toleransi itu
menginisiasi dan mempromosi nilai-nilai inklusif yang merupakan hasil interaksi
dinamis, baik oleh masyarakat asli, pendatang, urban, dan komunitas diaspora.
Pengalaman itu menunjukkan bahwa masyarakat yang lama
berkhidmat dalam keberagaman sebenarnya memiliki daya untuk membangkitkan
energi perjumpaan sosial-ekonomi-kultural secara kreatif. Potret mayoritas-minoritas tidak pernah menebal menjadi sumbu konflik di dalam masyarakat
seperti itu. Relasi mayoritas-minoritas terkaburkan oleh sikap saling
memerlukan dan bergantung. Pandangan itu kemudian membentuk budaya bersama dan
hasrat untuk satu; memakai istilah Ernest Renan: Le Desir D'Etre Ensemble.
Kampung seperti itu ikut membentuk mekanisme mitigasi konflik sosial secara
alamiah dan menjadi bendungan toleransi yang saling menghargai.
Masyarakat pendatang pun tak pernah menajamkan identitasnya
sehingga melahirkan sentimen dari kaum tempatan. Masyarakat Tionghoa-Banda Aceh
yang sebagian besar beretnis Khek dan Hokkian tak memiliki relasi dan imajinasi
dengan tanah leluhurnya. Sebagian mereka berbahasa Aceh dan tidak lagi
menguasai aksara Han. Sejarah etnis Tionghoa telah bermigrasi ke Aceh sejak
abad ke-13 hingga 1950-an. Peunayong atau pecinan di Banda Aceh telah terbentuk
sejak abad ke-18.
Pencarian asal-usul nama Peunayong sendiri juga tidak
ditemukan dalam bahasa Mandarin atau sub-bahasa Tionghoa. Hal ini menandakan
proses penamaannya berlangsung dialektis, bercampur dengan efek fonetis Aceh.
Konon dulu ada kapal Jong dari Tiongkok. Setiap kapal bersandar, penduduk Aceh
bertanya kepada orang asing yang datang dalam bahasa "Tarzan":
"Apakah ada kapal Jong yang bersandar?" (Peuna ['kapai] Jong?)
sehingga terbentuk sebutan Peunayong sebagai kampung bandar bagi komunitas
Tionghoa.
Di sini terlihat kultur Tionghoa yang puritan pun bisa
berbaur sedemikian rupa dengan kultur tempatan sehingga membentuk budaya baru:
masyarakat Tionghoa-Aceh. Seperti menyatunya karakter tim barongsai Aceh pada
PON XIX yang mendapatkan perunggu. Dengan apik mereka mengoreografi permainan
barongsai dan liong dengan tarian Ratoeh Duek (sejenis Saman perempuan).
Nilai-nilai global baru
Meskipun demikian, kampung-kampung keberagaman yang tentu
banyak di seantero Nusantara, jadi penanda kebinekaan, tetap akan menghadapi
kendala oleh serbuk "nilai-nilai global baru", seperti
fundamentalisme, totaliterisme, eksklusivisme, politik identitas. Merambat
secara pasti, nilai-nilai destruktif itu menggerogoti modal sosial serta
menelusup di dalam krisis otoritas politik dan kesejahteraan untuk membenarkan
hadirnya nilai artifisial itu sebagai identitas "Indonesia baru".
Kita alpa, nilai-nilai primordialisme sempit itu tak tepat
lagi didiksikan, apalagi dipraktikkan di era penuh perbedaan seperti saat ini.
Indonesia dengan beragam sejarah etnis, budaya, dan agama memang pernah
memiliki pengalaman kecelakaan konflik sektarian, tetapi tidak perlu dipuja
sebagai sesuatu yang patut dilestarikan. Karena pada saat yang sama, sejarah
toleransi dan peradaban keberagaman terjadi lebih banyak lagi.
Di Indonesia, kampung-kampung (keberagaman) itu menghadapi
tantangan pada level politik, geografi, dan demografi yang lebih makro, yaitu
kota. Masyarakat kampung yang sebelumnya berinteraksi sosial dan merayakan
kesenian-kebudayaan bersama komunitas berbeda secara santun tiba-tiba mulai
dibatasi dan dikriminalisasi oleh kebijakan pemerintah kota atas nama
perda/qanun.
Jika kampung disimbolkan sebagai komunitas alamiah, tempat
masyarakat mengabsorpsi pengetahuan (dan agama) secara bijaksana dan tak
melupakan nilai-nilai keluhuran lokal, maka kota metafora masyarakat-individu
yang retak kekerabatannya tetapi merasa unggul secara intelektual. Mereka mengonsumsi
lebih banyak pengetahuan (agama) secara global, tetapi mempraktikkan secara
egoistik, salah kaprah, dan artifisial secara lokal.
Jadi, tak heran ketika melihat fenomena fundamentalisme dan
radikalisme sesungguhnya wujud ketidaksadaran masyarakat-pelaku atas situasi
lokal karena delusi yang dialaminya dalam kontradiksi-kontradiksi global.
Fenomena Trump, tragedi Rohingya, dan enigma NIIS adalah bagian kontradiksi
global, yang tak patut mencari jalan rajamnya di sini.
Saran penting, jika ingin melihat oase keindonesiaan yang
teduh dan sejuk, perhatikanlah kampung-kampung di sekitar Anda. Di sana masih
ada masyarakat yang tekun merawat perbedaan demi kebersamaan, yang tak begitu
saja lancung untuk mengata-ngatai tetangga beda agama dan etnis sebagai kafir
atau musuh. Mereka menyadari bahwa satu kampung adalah satu keluarga. Menyakiti
anggota keluarga sama dengan menyakiti diri sendiri karena rasa sesal yang akan
berkekalan.
Di kampung-kampung yang berkhidmat terhadap keberagaman kita
menemukan Indonesia sesungguhnya. Sebaliknya, terhadap yang khianat (biasanya
bukan warga kampung yang baik) kita tak akan menemukan diksi jernih Indonesia
di dalamnya.
Sumber: Kompas, 31 Desember 201
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!