Oleh Paulinus Yan Olla MSF
Lulusan Program Doktoral Universitas
Pontificio Istituto
di Spiritualita Teresianum, Roma
di Spiritualita Teresianum, Roma
Demokrasi
sejatinya membutuhkan prasyarat-prasyarat (baca: pengandaian-pengandaian)
dasar. Tanpanya demokrasi akan direduksi menjadi sekadar wadah kosong.
Pluralisme, misalnya, sebenarnya prasyarat dasar dan ekspresi ontologis dari
realitas yang diwadahi demokrasi.
Ia mengandaikan
adanya kesamaan ontologis, yakni kesamaan dasar dalam martabat, kehormatan, dan
hak untuk hidup layak secara damai dengan manusia lain. Kesamaan ontologis itu
tak hanya diterima sebagai fakta pluralitas, tetapi dihayati sebagai gaya
hidup. Ia menjadi perwujudan jati diri bangsa yangsejak semula sangat plural
dan heterogen dalam segala aspek kehidupan seperti Indonesia.
Kegamangan
menghadapi globalisasi di segala bidang kehidupanmenjadikan sebagian besar
masyarakat dunia mengalami demokrasi sebagai ancaman bagi identitas diri dan
kehidupannya pada masa depan. Sejak tahun 1960-an, para sosiolog sebenarnya
telah mendeteksi bahwa tribunalisme tak mati bersamaan tumbuhnya nasionalisme
dan internasionalisme. Ia tetap hidup ketika dunia mengklaim diri sangat maju
dalam sains dan teknologi.
Globalisasi,
di samping aspek-aspeknya yang positif, telah melahirkan ketakpastian
identitas. Pluralisme dianggap ancaman terhadap identitas primordial, seperti
suku dan agama. Nilai-nilai dasar suku dan keyakinan keagamaan terguncang.
Tradisi mulia kabur dan moralitas publik terancam dihancurkan. Individu-individu
lalu mengembangkan suatu kesetiaan mendalam hanya pada kelompoknya. Ada
kesetiaan total, misalnya terhadap agamanya sendiri tetapi sangat sedikit rasa
tanggung jawabnya terhadap orang di luar kelompoknya (Gerhard Lenski, The Religious Factor: A Sociological Study
of Religion's Impacts on Politics, Economics and Family Life, 1961:
329-330).
Dalam
konteks di atas, demokrasi perlu dibangun, meminjam pemikiran Arnold Joseph
Toynbee (1889-1975), sebagai sebuah proses "transformasi rohani". Ia
mengandaikan nilai-nilai etis-religius publik yang mendasarinya. Demokrasi
mengandaikan adanya penerimaan pluralisme sebagai penghayatan hidup, penerimaan
kebebasan mengungkapkan pendapat dengan tetap toleran terhadap perbedaan,
kebebasan berkumpul tanpa menjadikan kumpulan massa senjata penindasan. Ia
mengandaikan pula rasa tanggung jawab bagi keberlangsungan hidup bersama.
Tanggung
jawab itu ekspresi "kerinduan berada bersama" sebagai syarat dasar
eksistensi sebuah negara-bangsa (Ernest Renan, 1823-1892).
Absen
Kejadian-kejadian
terakhir yang membingkai peristiwa publik di negeri ini justru mengancam
kerinduan berada bersama dan perasaan senasib sebagai bangsa. Ruang publik
lebih sering didominasi suasana kebencian, saling melukai, dan saling
"meniadakan" antarsesama warga bangsa. Ini mengindikasikan
nilai-nilai dasar yang diandaikan/menjadi prasyarat demokrasi ternyata masih
absen dalam komunikasi publik.
Bangsa ini
seakan digiring mengotakkan diri menurut agama, suku, ras dan etnisitas.
Kondisi kehidupan bersama lebih diwarnai penghakiman dengan penggambaran bahwa
"orang lain adalah neraka" bagi kelompok dan kepentingan sendiri
(JeanPaul Sartre, 1905-1980).
Kegalauan
para pemimpin tentang penyalahgunaan media mengindikasikan parahnya pelaksanaan
demokrasi tidak hanya pada dimensi sosial-politis, tetapi juga pada basis
etis-religius. Paus Fransiskus melihat manipulasi media sebagai bentuk
penyimpangan psikologis koprofilia (kegemaran tak wajar terhadap kotoran),
tetapi juga lebih dalam secara rohani merupakan suatu dosa besar.
Orang yang
menyebarkan informasi bohong dan penuh kebencian seperti "teroris yang
melemparkan bom" untuk menghancurkan orang lain dan lidahnya seperti
"lidah iblis" yang penuh kebohongan di Taman Firdaus. Hubungan sosial
antarmanusia dan hubungan rohani dengan yang Ilahi pun terputus (bdk
Fransiskus, Homili di Santa Marta, 4
September 2015).
Demokrasi
mengandaikan pula adanya jaminan dasar atas hak-hak dan kebebasan individu di
hadapan hukum dan lembaga tanpa melihat ras, jender, atau agama. Maka,
penggunaan media, secara khusus media sosial, sebagai alat teror dan pemaksaan
pendapat di ranah publik jelas berlawanan dengan nilai-nilai dasar demokrasi.
Media bisa menjadi aksentuasi istimewa hak berbicara, tetapi hal itu tidak
berarti menafikan pemuliaan prinsip-prinsip dasar demokrasi seperti pluralisme
dan penerimaan akan adanya perbedaan.
Suatu
bangsa yang menamakan dirinya demokratis hanya dapat bertahan jika memiliki
nilai-nilai bersama untuk dibagikan dan dihidupi baik pada tingkat rohani
maupun etis. Pancasila telah diusung sebagai sumber berkelimpahan nilai-nilai
tersebut. Bahkan, Indonesia sejatinya memiliki sumber tidak terbatas
nilai-nilai itu dari keberagaman agama yang dimilikinya. Ironisnya, agama-agama
yang diharapkan memancarkan energi dan terang kebenaran kini diselubungi
kegelapan malam kebencian, nafsu balas dendam, dan kecurigaan tak berkesudahan.
Demokrasi di negeri ini pun mati suri!
Sumber: Kompas, 4 Januari 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!