Oleh Suhardi Alius
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme
BULAN Ramadan
yang penuh berkah, kini menjadi genangan air mata dan darah di Marawi,
Mindanao, Filipina.
Orang-orang
tergeletak tak bernyawa di sepanjang jalan, di antara reruntuhan bangunan, atau
di tengah hutan. Mereka yang hidup pun penuh ketakutan, kelaparan, sebagian
disandera atau terancam dibombardir.
Otoritas
Filipina menyebut sedikitnya 1.000 warga masih terjebak di sebagian wilayah
kota Marawi. Mereka yang nekat menerobos batas kota diterjang peluru, hanya
sedikit warga yang berhasil keluar hidup-hidup.
Pertempuran di
Marawi memasuki minggu keempat sejak diberlakukannya darurat militer di
Mindanao oleh Presiden Filipina Rodrigo Duterte. Meskipun tentara Filipina
berhasil menewaskan 200-an militan pro Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS),
dari polisi atau tentara Filipina juga berjatuhan korban. Sedikitnya 26 warga
sipil dan 58 polisi atau tentara Filipina tewas selama pertempuran di Marawi.
Berlarutnya
tentara Filipina dalam menguasai daerah itu karena pertempuran terjadi di
kawasan perkotaan, lansekap gunung, dan hutan di tengah kepulauan mempersulit
tentara Filipina. Bahkan para militan ada yang bersembunyi di tengah
permukiman. Mereka menjadikan warga sipil sebagai "tameng manusia"
saat menghadapi serangan tentara Filipina.
Sudah lama
tercium militan terkait NIIS bercokol di Filipina selatan itu sehingga membuat
waspada negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Ada empat kelompok
militan, Ansarul Khilafah Philippines (AKP), Klan Maute, dan Fron Pembebasan
Islam Bangsamoro (BIFF), dan kelompok Abu Sayyaf. Keempat organisasi militan
itu berbaiat kepada NIIS dua tahun lalu. Kelompok tersebut menyatakan pemimpin
Abu Sayyaf, Isnilon Hapilon, sebagai pemimpin NIIS Asia Tenggara.
Polri, BIN,
TNI, dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) telah meningkatkan
kewaspadaan di pulau-pulau terluar wilayah Sulawesi Utara, Maluku Utara, dan
Kalimantan Utara yang dapat menjadi jalur pelarian teroris dari Marawi. Kita
tak ingin terorisme mendapatkan ruang dan tempat di Indonesia.
Merusak
harmoni
Aksi terorisme
kerap memakai jargon keagamaan, jihad, dan pengutipan kitab suci (seperti NIIS,
Al Qaeda, Al-Nusra, Taliban, dan Boko Haram). Hal itu memberikan kesan bahwa
terorisme diajarkan oleh agama. Para pemimpin dunia maupun tokoh agama telah
menyuarakan terorisme itu tak punya agama, tak memandang suku atau wilayah.
Sebagai negara
majemuk dengan penduduk mayoritas Muslim, selama ini kita hidup harmonis dengan
semua suku, agama, ras, dan keragaman lain. Terorisme tidaklah menggambarkan
masyarakat kita. Tapi aksi teror membuka kita bahwa bahwa ada saja warga yang
terjaring terorisme dengan beragam motif seperti perjuangan politik,
solidaritas terhadap konflik di Timur Tengah, iming-iming kesejahteraan, atau
masalah individu yang gagap menjalani hidup di tengah era globalisasi, era
digital, era media sosial saat ini.
Beberapa aksi
intoleransi, antiminoritas, radikal, teror tampak memenuhi halaman depan media
massa maupun media digital. Diamnya silent majority (mayoritas yang diam) -atau
kalau pun ada- tenggelam dan tak bergaung, sehingga yang tampak kemudian bukan
lah wajah Indonesia yang ramah, santun, toleran, suka menolong.
Sebenarnya
kelompok ini secara persentase sangat kecil, tetapi terkesan dominan karena
didiamkan dan dibiarkan dengan berbagai argumentasi, termasuk keterbatasan
regulasi. Karena itu silent mayority perlu bersuara dan bergerak mendukung
pemerintah menjadi garda terdepan dalam merepresentasikan wajah Indonesia yang
ramah, rukun, dan bebas dari radikalisme.
Fokus pencegahan
Propaganda
yang dilancarkan kelompok radikal sangat masif terjadi di berbagai aspek.
Konten radikal di dunia maya terlihat sangat bebas. Masyarakat yang hidup
diwarnai ketimpangan sosial, pengangguran, rendahnya kemampuan literasi,
menjadikan rentan terjerat ke dalam radikalisme dan terorisme.
Karena itu,
salah satu dari multistrategi BNPT adalah menggalang elemen masyarakat
membentuk forum koordinasi pencegahan terorisme (FKPT) di berbagai wilayah di
Indonesia. Forum ini menjalankan tugas atau program pencegahan radikalisme dan
terorisme.
Para pengurus
FKPT terdiri dari para tokoh masyarakat, akademisi, tokoh adat, tokoh ormas,
tokoh media, tokoh pemuda, tokoh perempuan, dan unsur pemerintah daerah. FKPT
dituntut berperan aktif untuk menggandeng masyarakat berpartisipasi penuh
mencegah aksi terorisme.
Hingga saat
ini FKPT sudah tersebar di 32 provinsi. Dengan kehadiran FKPT di daerah
diharapkan mampu mengantisipasi berbagai hal negatif terkait ideologi,
radikalisme, dan terorisme di masyarakat. Salah satu upaya mencegah adalah
dengan menggelar berbagai macam kegiatan untuk melahirkan ketahanan masyarakat
dalam menghadapi dinamika perkembangan dunia khususnya radikalisme.
Secara konkret,
FKPT berkunjung ke sekolah, perguruan tinggi, tempat ibadah, organisasi
berbasis agama, pesantren, kelompok muda, untuk memberikan pemahaman dan
melatih berbagai elemen masyarakat tentang bahaya terorisme, strategi, dan
teknik menangkalnya. Ini penting karena masyarakatlah yang memiliki peran
strategis memutus mata rantai berkembangnya paham radikal terorisme.
Era digital
telah menghadirkan berbagai informasi ke seluruh belahan dunia, dapat diakses
oleh siapa saja, di mana pun, dan kapan pun. meskipun pada satu informasi itu
seragam, tetapi pada tingkat individu dapat diterima dengan berbeda, karena hal
ini ditentukan oleh cara berpikir, sifat emosional serta tingkat spiritual
individu yang menerima.
Kemahiran
teroris memanfaatkan internet dan media sosial menjadikan masyarakat pengguna
rentan. Berbagai propaganda dan doktrin mereka tersebar di dunia maya, mencari
simpatisan, pendukung, dan rekrutmen baru. Tidak sedikit dari yang sekadar
simpati, pendukung pasif berubah menjadi pendukung aktif.
Mewaspadai dan
mengantisipasi pola tersebut, BNPT terus menggalakkan kontra-radikalisasi
melalui kontra-narasi, kontra-propaganda, dan kontra-ideologi untuk
meningkatkan imunitas dan daya tangkal masyarakat. BNPT menggelar berbagai
kegiatan yang menggalang para generasi muda untuk menjadi duta damai dunia maya
dengan konten damai dan positif.
Generasi muda
adalah pengguna internet terbanyak. Sekitar 56,7 persen pengguna internet
berusia 17-34 tahun (Data APJII, 2017). Tapi lemahnya literasi di kalangan anak
muda menyebabkan mereka mudah terjaring dan terprovokasi konten yang mereka
akses. Padahal mereka diharapkan mampu menjadi duta damai yang aktif melakukan
literasi media, literasi digital, juga dapat mengajak lingkungan agar tak
terjerumus dalam radikalisme.
Bencana
kemanusiaan selalu menyertai di mana pun terorisme berada. Karena itu, negara
bersama seluruh rakyat harus terus melakukan upaya menangkal dan mencegah
terorisme. Mari belajar dari Marawi!
Sumber: Kompas, 24 Juni 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!