Oleh Gun Gun Heryanto
Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta;
Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute
MUSIM pancaroba politik
belumlah sirna. Bahkan, situasi ketidakpastian dan ketidaknyamanan,
kecenderungannya terus dikelola bahkan diteguhkan oleh beberapa kalangan hingga
memuncak di perhelatan pertarungan politik 2019. Politik kebangsaan pun
mendapatkan tantangan nyata.
Ragam corak
keberbedaan mulai dari suku, agama, ras, antargolongan, ego kelompok,
organisasi, dan kepentingan seharusnya luruh dalam semangat nasionalisme yang
menjadi titik temu kekitaan. Pancaroba mesti diwaspadai karena biasanya rentan
menghadirkan ragam jenis penyakit terutama saat "imunitas" politik
kebangsaan kita melemah.
Pola peneguhan
Fenomena kekinian
menunjukkan gejala retrogresi, yakni pemburukan kualitas politik kebangsaan, akibat
polarisasi dukungan politik yang menghadirkan kebencian antarpendukung. Contoh
aktualnya adalah luka menganga yang tercipta di Pilkada DKI Jakarta, bahkan ada
yang sudah lama terjangkit "penyakit" serupa sejak Pemilu Presiden
2014.
Mereka kerap menularkan
virus kebencian satu pihak ke pihak lainnya, serta provokasi kepada banyak
orang. Keberlimpahan informasi yang bersumber dari rumor, gosip, fitnah, ujaran
kebencian, hoaks memapar kanal-kanal komunikasi warga, terutama dengan
memasukkan isu berdaya ledak tinggi bernama suku, agama, ras, dan antargolongan
(SARA).
Yang perlu
diwaspadai adalah pola peneguhan (reinforcement) melalui rangsangan komunikasi
bertahap yang dikelola sehingga berpotensi menjadi semacam pengondisian
instrumental untuk membangun persepsi dan tindakan yang mudah dimanipulasi
secara psikologis. Agresivitas verbal dan tindakan yang bersumber dari
klaim-klaim kebenaran sepihak dan egosentrisme inilah yang melemahkan kohesi
sosial warga.
Hasil jajak
pendapat Litbang Kompas dengan 512 responden di 14 kota besar di Indonesia pada
17-19 Mei (Kompas, 22/5), mengonfirmasi kohesi sosial yang menjadi pengikat
keberagaman bangsa Indonesia tengah bermasalah. Sebanyak 49,8 persen dari
responden mengaku solidaritas sosialnya semakin melemah, 13,2 persen tetap,
36,6 persen semakin kuat, dan 0,4 persen tidak tahu. Ini tentu gambaran dari
fenomena yang harus diberi perhatian serius oleh semua pihak.
Dalam bacaan
komunikasi politik, pola peneguhan retrogresi politik kebangsaan tampaknya
terjadi melalui tiga skenario. Pertama, skenario ubikuitas. Dalam bahasa Latin
ubique artinya di mana-mana. Maknanya adalah menghadirkan isu yang merusak
kohesi sosial secara masif dan eksesif. Konsep ubikuitas ini, meminjam istilah
dari Elisabeth Noelle-Neumann, dalam bukunya The Spiral of Silence: Public
Opinion-Our Social Skin (1993). Meskipun, Noelle- Neumann saat itu
menggunakannya untuk melihat peran signifikan media massa dalam pembentukan
opini mayoritas.
Dalam konteks
retrogresi politik kebangsaan ini, caranya dengan membanjiri berita, opini,
perbincangan di media massa, terutama televisi yang partisan, dan media sosial
secara provokatif untuk merusak kohesi sosial secara terus-menerus. Berupaya
membangun kesan terbentuknya opini mayoritas.
Contoh aktual di
media sosial, misalnya fenomena persekusi atau tindakan memburu secara liar
orang lain di media sosial yang dianggap melecehkan atau menodai pihak lain
ataupun ajaran agama tertentu. Warga yang jadi target persekusi biasanya
dipublikasikan profilnya, didatangi, ditekan, dipermalukan dengan memviralkan
video persekusinya serta menggelandang targetnya ke polisi dan umumnya
dilaporkan dengan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) dan
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Bisa jadi, warga yang menjadi target
perburuan memang status media sosialnya melanggar, tetapi tindakan sweeping
ataupunmenggeruduk rumah warga dengan cara sewenang-wenang juga mengancam
ketidakteraturan sosial.
Southeast Asia
Freedom of Expression Network (SAFENET) mencatat sejak Januari-Mei 2017, telah
terjadi 47 persekusi terhadap akun-akun media sosial yang dituding menghina
agama atau ulama di media sosial. Bisa jadi, realitasnya lebih banyak lagi. Hal
ini, bisa menjadi bagian skenario menghadirkan isu di mana-mana, selain sejumlah
cara lain, misalnya menyebar provokasi lewat grup Whatsapp, menulis status dan
membagikan foto serta video di ragam media sosial.
Kedua, skenario
kumulasi. Maksudnya, mengelola pertentangan kumulatif antarwarga sampai di
momentum tertentu agar tujuannya tercapai. Hal ini, bisa kita baca dari gegap
gempitanya isu yang merusak kohesi sosial meski pilkada serentak 2017, terutama
di Pilkada DKI sudah usai. Ada potensi, politisasi SARA dan politik identitas
akan dipakai ulang di daerah-daerah lain yang berpilkada serentak tahun 2018.
Terlebih tahun depan, ada beberapa daerah yang menjadi battle ground politik
nasional, seperti Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Puncak skenarionya,
sangat mungkin terjadi pada tahun 2019. Sisi gelap pertarungan pilkada dan
pilpres yang mengeksploitasi isu SARA bisa jadi membentang panjang ke masa
depan.
Ketiga, konsensus
yakni skenario bersepakat untuk bahu-membahu bekerja sama antara mereka yang
punya kepentingan elektoral dengan mereka yang sudah lama teridentifikasi sebagai
kelompok intoleran, pengusung konservatisme, dan bahkan bisa saja bermain mata
dengan organisasi-organisasi yang sesungguhnya tak sepenuhnya bersepakat dengan
Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi pilar politik
kebangsaan.
Demokrasi elusif
Retrogresi politik
kebangsaan jika dibiarkan akan melahirkan resesi demokrasi (democratic
decline). Meminjam istilah dari Alberto J Olvera dalam tulisannya, "The
Elusive Democracy: Political Parties, Democratic Institutions, and Civil Society
in Mexico", dalam Latin American Research Review, Volume 45 (2010), resesi
ini bisa menyebabkan elusive democracy, yakni keadaan yang ditandai dengan
penurunan kualitas demokrasi sebagai konsekuensi dari melambatnya konsolidasi,
baik soal pemantapan kapasitas institusi demokrasi maupun kematangan budaya
politik.
Salah satu yang
penting dalam memaknai demokrasi adalah etos demokratik. Tak cukup hanya
membangun sistem demokratik, seperti birokrasi, hukum serta sistem
penyelenggaraan pilpres dan pilkada. Para politisi, kandidat dan siapa pun yang
punya kepentingan dalam pertarungan politik harus memiliki tanggung jawab
sosial untuk senantiasa merawat rumah besar Indonesia yang telah didirikan
secara susah payah oleh para pejuang republik ini.
Secara faktual,
Pancasila merupakan faktor perekat yang bisa menyatukan bangsa Indonesia. Oleh
karena itu, sila-sila Pancasila bisa menjadi mata air nilai luhur yang sangat
penting dalam menguatkan etos demokratik.
Para elite politisi
sah-sah saja berebut kuasa politik, tetapi jangan merusak tatanan konsolidasi
demokrasi yang sedang diupayakan banyak pihak. Strategi melegitimasi dirinya
dan mendelegitimasi orang lain jangan sampai mewujud dalam bentuk
"bom" perusak yang memorak-porandakan kekitaan warga. Media massa wajib
memainkan peran sebagai partisipan demokrasi melalui kerja jurnalismenya. Warga
pun memperkuat kapasitas diri sekaligus memiliki sikap jelas untuk turut
menjadi bagian dari gerbong politik berkeadaban.
Sumber: Kompas, 13 Juni 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!