Oleh Noor Huda Ismail
Pendiri Yayasan Prasasti Perdamaian
SEBANYAK
18 warga negara Indonesia yang melarikan diri dari NIIS di Suriah telah
diserahkan ke BNPT oleh pihak Kementerian Luar Negeri (Kompas, 14/8).
Masyarakat pun bertanya: "Kenapa negara harus repot-repot menyelamatkan
mereka? Bukankah mereka pergi meninggalkan Indonesia karena keinginan mereka
sendiri? Tidak cukupkah kita belajar dari kasus Syawaludin Pakpahan yang pernah
bergabung dengan NIIS dan kembali ke Tanah Air melakukan aksi terorisme?"
Masalah pendukung
Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) di atas jadi semakin pelik jika kita
melihat bahwa negara juga terbebani dengan proses integrasi sosial 430 deportan
yang hari ini belum berjalan maksimal karena alasan klasik, seperti kurangnya
sumber daya dan lemahnya koordinasi antar-lembaga terkait isu ini. Para
deportan ini adalah WNI yang mayoritas telah dideportasi oleh Pemerintah Turki
karena tertangkap di beberapa kota berbatasan dengan Suriah karena diduga akan
bergabung dengan NIIS. Berdasarkan informasi paling mutakhir, paling tidak ada
dua di antara deportan ini telah diamankan Densus 88 karena keterlibatan mereka
dalam jaringan terorisme.
Barangkali,
berdasarkan pertimbangan inilah, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu
berpendapat, lebih baik mereka tidak usah kembali ke Indonesia dan berjuang
saja sampai mati di sana (Kompas, 17/7). Namun, sesederhana inikah tawaran yang
bisa diberikan negara untuk kasus yang sangat kompleks ini? Tidakkah kita
sadar, sebagian dari mereka adalah anak-anak yang jadi korban dari ideologi
orangtua mereka? Lalu, di mana rasa kemanusiaan kita melihat jerit tangis dan
masa depan mereka?
Untuk menjawab
beberapa pertanyaan di atas, seharusnya kita mendudukkan masalah pendukung NIIS
ini secara proporsional. Dengan demikian, solusi yang negara berikan pun tidak
akan menciptakan masalah baru di kemudian hari.
Pembuka kesadaran
Menurut hemat
penulis, langkah pertama yang perlu dilakukan adalah dengan memahami gambar
besar kondisi NIIS hari ini. Setelah rontoknya kota Mosul, Irak, dari
cengkeraman NIIS dan dalam waktu dekat jatuhnya kota Raqqa, Suriah, ibu kota
NIIS, pendukung NIIS —termasuk dari Indonesia— akan kocar-kacir ke kota-kota
terdekat. Bahkan, tidak menutup kemungkinan mereka kembali ke negara asal untuk
melakukan penyebaran ideologi NIIS yang sering kali diikuti dengan aksi
terorisme.
Dengan skenario di
atas, pertarungan selanjutnya adalah pertarungan ideologi yang tak lagi terjadi
di pusaran konflik seperti di Raqqa atau Mosul, tetapi justru di negara asal
para pendukung NIIS ini. Untuk melawan sebaran ideologi NIIS, negara tak cukup
hanya mengandalkan pendekatan lama, seperti menangkap, memenjarakan, atau
bahkan mematikan mereka. Negara perlu "amunisi" baru untuk menembak
titik lemah ideologi NIIS.Lalu dari mana amunisi bisa didapatkan?
Meminjam teori
rehabilitasi para pencandu narkoba, kita tahu bahwa tidak ada suara yang lebih
bisa dipercaya bagi para pencandu narkoba kecuali dari mulut para pengguna yang
sudah sadar bahaya narkoba. Namun, kesadaran setelah mendengarkan penuturan
para eks pengguna ini tak akan berlangsung lama jika mereka tidak mendapatkan
dukungan dari pihak keluarga terdekat dan masyarakat luas. Artinya, hadirnya
sebuah lingkungan yang positif sangatlah diperlukan demi tercapainya upaya kesembuhan
para pencandu ini.
Pola yang sama
dapat kita lakukan dengan para pendukung NIIS. Kepada penulis, para pendukung
NIIS selalu menolak berita kebrutalan NIIS. Mereka berdalih berita tersebut
datang dari media sekuler Barat, seperti CNN atau BBC. Apalagi mereka telah
dibutakan oleh kerinduan hadirnya khilafah Islam. "Ibarat orang jatuh
cinta, kita sudah buta. Kita ingin hidup dalam naungan khilafah. Itulah cinta
kami. Titik!" jelas salah satu pendukung NIIS kepada penulis.
Namun, penulis
berharap "cinta buta" para pendukung NIIS ini bisa tergoyahkan jika
mereka mendengarkan kesaksian langsung dari sesama pendukung NIIS yang kecewa
dengan janji- janji palsu NIIS. Kesaksian tulus mereka yang dikemas secara
sistematis inilah "amunisi" ampuh negara untuk menembak jantung
ideologi NIIS yang hari ini masih terus berdetak di negara kita.
Dalam kajian
deradikalisasi, tahapan ini disebut cognitive opening atau pembuka kesadaran
awal bagi para pencinta buta ini. Sesungguhnya, bagi masyarakat luas pun kisah
kebobrokan NIIS ini dapat jadi pelajaran penting agar kita tidak mudah
terpesona oleh janji-janji para perekrut NIIS, yang secara selektif memilih
ayat atau hadis untuk kepentingan politik sesaat tanpa melihat konteks kapan,
kenapa, dan di mana ayat dan hadis tersebut muncul dalam sejarah Islam.
Modus perekrutan
Berdasarkan
wawancara penulis dengan para pendukung NIIS, proses perekrutan menjadi sangat
efektif karena tiga hal. Pertama, target sasaran biasanya memang
individu-individu yang sedang mengalami masalah pribadi. Biasanya terkait
dengan isu sosial, politik, dan ekonomi.
Mereka ini sedang
dalam proses mencari solusi cepat dari masalah mereka itu. NIIS memberikan
janji manis solusi masalah mereka ini. Proses ini mirip proses jual-beli di
pasar tradisional di mana ada pihak penjual, yaitu perekrut NIIS, dan pihak
pembeli, yaitu individu-individu pencari solusi hidup mereka. Seorang pendukung
NIIS yang sedang mencari jodoh (pembeli) tergiur dengan janji (penjual) NIIS
yang memberi iming-iming istri atau suami idaman jika mereka bersedia berhijrah
ke dalam khilafah.
Kedua, sang
perekrut membungkus pesan-pesan mereka dengan istilah agama yang menakutkan,
terutama bagi orang yang sedang belajar agama Islam. Salah satu pendukung NIIS
bercerita bahwa ia ditakut-takuti akan jadi kafir (tidak jadi bagian dari
Islam) atau fasik (menolak kebenaran) atau murtad (keluar dari Islam) jika
menolak ajakan perekrut NIIS berbaiat kepada Al Baghdadi, sang khalifah.
Ketiga, para
perekrut ini sering kali menggunakan simbol- simbol kesalehan yang diyakini
secara umum masyarakat kita, seperti pemakaian sorban, baju gamis, dan adanya
tanda hitam (bekas salat) di jidat mereka. Ironisnya, penggunaan simbolsimbol
ini sangat efektif menarik korban perekrutan. Padahal, sorban dan gamis ini juga
dipakai para sopir taksi (yang belum tentu seorang Muslim) di negara-negara
Timur Tengah, seperti Mesir, Jordania, dan Lebanon.
Oleh karena itu,
agar kerepotan negara menyelamatkan 18 WNI yang pernah bergabung dengan NIIS di
Suriah ini dapat menjadi amunisi yang efektif untuk melawan ideologi NIIS,
negara harus sadar bahwa mereka yang pulang ini berada di persimpangan jalan.
Artinya, mereka belum sepenuhnya terderadikalisasi. Negara perlu bekerja
keras dengan menggandeng keluarga dan masyarakat dalam mengawal proses
reintegrasi sosial mereka.
Dengan proses ini,
di kemudian hari mereka bisa jadi juru bicara yang efektif untuk melakukan
counter-narrative terhadap propaganda NIIS dengan secara sukarela menguak
janji-janji palsu NIIS. Untuk mencapai tujuan rekayasa sosial ini, hal-hal
teknis, seperti perlindungan saksi dan masa depan anak-anak, haruslah menjadi
prioritas utama.
Sumber: Kompas, 28 Agustus 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!