Oleh J Kristiadi
Peneliti senior CSIS
SKANDAL korupsi dana
desa merupakan akibat dari pelestarian eksploitasi desa oleh para penguasa
sejak zaman prakolonial, kolonial, prakemerdekaan, sampai zaman normal
(kemerdekaan). Eksistensi, peranan, dan status desa sekadar obyek permainan
dari struktur kekuasaan negara yang amat besar. Sejarawan, antara lain Hans
Antlov dan Sven Cederroth (1996), Denys Lombard (1996), serta Frans Husken
(1998), menegaskan, penguasa sepanjang zaman menindas rakyat desa, mengeksploitasi
lewat kebijakan monetasi dengan melakukan penetrasi kapital di perdesaan, serta
memasung rakyat desa dengan kesewenang-wenangan struktur kekuasaan otoritarian.
Bahkan, dalam
tertib politik yang manteranya rakyat, adalah pemegang kedaulatan, demokrasi,
nasib desa tidak beringsut dari posisi yang harus siap diperkosa oleh nafsu
para pembiak politik kekuasaan (Cherian George, Hate Spin, 2016). Demikian pula
pada masa Reformasi, kedaulatan rakyat semakin redup karena dalil-dalil yang
mengagungkan rakyat sebagai pemegang supremasi kekuasaan telah dilibas para
pembiak kekuasaan, kebebasan dan kesetaraan dipelintir oleh nafsu kuasa dan
kapital. Imbas perilaku para pembiak kekuasaan merayap pula dalam menyusun regulasi
tentang desa.
Pertarungan elite
politik mulai memanas sejak muncul gagasan beberapa tahun menjelang Pemilihan
Umum (Pemilu) 2014. Retorika elite adalah meningkatkan kualitas pembangunan
desa dengan menjanjikan Rp 1 miliar pada setiap desa. Elite politik bertarung
berebut pengakuan, bahwa dirinyalah pemrakarsa otentik gagasan mulia itu.
Pertarungan kepentingan politik kekuasaan mengakibatkan Undang-Undang Nomor 6
Tahun 2014 tentang Desa dipersepsikan identik dengan bantuan Rp 1 miliar ke
setiap desa.
Kalkulasi politik
para pembiak kekuasaan sangat sederhana. Desa yang jumlahnya lebih dari 75.000
dan tersebar di seluruh pelosok Nusantara merupakan basis konstituensi yang
amat besar kontribusinya dalam pemilu. Akibat paling tragis, desa semakin
kehilangan karakter otentiknya sebagai paguyuban (gemeinschaft); kelompok
sosial yang memiliki ikatan batin yang murni, bersifat informal, alami, dan
merawat kelestarian. Karakter desa semakin berciri patembayan (gesellschaft);
kelompok sosial yang memiliki ikatan lahir jangka pendek, formal, orientasi
ekonomi, sesaat, kalkulasi pragmatis, dan utilitarian.
Memberikan dana
desa, tetapi mengabaikan karakter desa mengakibatkan desa semakin kecanduan
bantuan dan memperlemah desa itu sendiri. Pengalaman masa Orde Baru dengan
skema dana bantuan pembangunan desa (Inpres Bandes) dan sejenisnya lebih kurang
selama 30 tahun disertai kontrol ketat penguasa mengakibatkan desa tidak
leluasa menentukan penggunaan dana desa. Hasilnya dapat dikatakan sia-sia
karena tidak mengangkat martabat, kesejahteraan, dan memperkukuh kemandirian
desa. Hal tersebut juga berseberangan dengan pengakuan atas otonomi asli
sebagai komunitas yang memiliki hak mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri
berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat (self governing community).
Ancaman megaskandal
korupsi dana desa akan semakin memorakporandakan masyarakat desa karena UU No
6/2014 tentang Desa dijabarkan dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 11
Tahun 2015 tentang Kementerian Dalam Negeri (Kemdagri) serta Perpres Nomor 12
Tahun 2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi. Berdasarkan perpres tersebut, desa dikelola oleh dua kementerian
itu.
Kemendagri
mengelola urusan pemerintahan desa, sementara Kementerian Desa menangani urusan
pembangunan serta pemberdayaan. Sebenarnya pengelolaan desa oleh dua
kementerian tidak menjadi persoalan kalau kebijakan itu tidak diintervensi
kepentingan politik kekuasaan. Namun, karena sejak awal regulasi tentang desa
sudah terkontaminasi dengan transaksi politik, pelaksanaan undang-undang
tersebut bias dari niat politik yang mulia.
Bagi para elite
politik, desa ibarat gadis yang molek dan ranum yang harus diperebutkan. Jumlah
desa sekitar 75.000 dengan segala perangkatnya merupakan mesin politik yang
sangat ampuh. Kebijakan pemerintahan yang menggeser desa dari paguyuban menjadi
patembayan mengakibatkan desa sebagai medan pertarungan politik paling dekat
antara masyarakat dan pemegang kekuasaan. Pada titik ini megaskandal sulit
dikendalikan.
Ke depan, paradigma
pengaturan mengenai desa harus memberikan dasar menuju kemandirian. Artinya,
memberikan landasan yang kuat menuju terbangunnya suatu komunitas yang mengatur
dirinya sendiri. Rute pengelolaan diawali dengan pembentukan Kementerian Desa
yang mempunyai otoritas pemberdayaan masyarakat desa sebagai basis ideologi dan
demokrasi serta pembangunan desa. Oleh sebab itu, Presiden harus cermat memilih
menteri desa karena berkaitan dengan ideologi bangsa dan negara, Pancasila. Ia
harus mempunyai kompetensi menanamkan nilai-nilai Pancasila sesuai dengan
budaya desa yang amat beragam.
Terobosan yang
dapat dilakukan adalah merevisi Perpres No 11/2015 tentang Kementerian Dalam
Negeri dan Perpres No 12/2015 tentang Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal,
dan Transmigrasi. Orientasinya, pengelolaan desa ke depan diawali dengan
pembentukan Kementerian Desa yang mempunyai otoritas pemberdayaan masyarakat
sebagai basis ideologi dan demokrasi serta pembangunan desa. Desa harus
dibebaskan dari pertarungan politik kepentingan para pembiak kekuasaan.
Berhentilah "memerkosa" desa sekarang juga!
Sumber: Kompas, 8 Agustus
201
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!