Oleh Freddy Numberi
Tokoh Masyarakat Papua
SEJAK adanya pengamanan
di kawasan bisnis Freeport, selalu muncul masalah dengan masyarakat adat
setempat atau orang asli Papua.
Pendulangan emas
sisa tailing buangan Freeport juga menjadi rebutan antara orang asli Papua
(OAP) dan pendatang. Awal pengamanan di sekitar Freeport dilakukan oleh TNI,
tetapi kemudian digantikan oleh Polri. Pengalaman dari para pendulang di
sekitar area Freeport, saat terjadi konflik antara masyarakat asli Papua dan saudara
pendatangnya, pasti OAP kalah, karena aparat keamanan "membeking"
para pendatang.
OAP yang merupakan
pemilik tanah adat/hak ulayat itu akhirnya tersingkirkan sehingga mereka merasa
didiskriminasi oleh aparat keamanan. Demikian juga dalam konflik yang terjadi
di Kali Kabur antara para pendulang yang akhirnya membuat warga desa Banti dan
Kimbely, Tembagapura, tidak bisa keluar dari desanya.
Kepala Polri
Jenderal (Pol) Tito Karnavian menyatakan bahwa konflik seperti di Kimbeley dan
Banti sudah sering terjadi. Pernyataan tersebut tentunya bersumber pada
pengalaman Kepala Polri yang pernah menjabat sebagai Kapolda Papua pada 2012.
Kapolres Timika
AKBP Victor Dean Mackbon membantah dan menyatakan bahwa 1.300 warga setempat
itu tidak disandera. Mereka bebas, tetapi tidak bisa keluar dari kedua desa
tersebut. Dari informasi yang ada, konflik di Kimbeley dan Banti makin jelas
dan gamblang bahwa motifnya sama seperti konflik-konflik yang lalu di kawasan
bisnis Freeport, yaitu ekonomi.
Cukup banyak
pendatang yang menetap di sana dan selama satu dekade mendulang emas dari
limbah olahan PT Freeport Indonesia bekerja sama dengan OAP. Sangat menarik
juga untuk menyimak pernyataan Komisaris Besar (Kombes) Polisi Ahmad Mustofa
Kamal kepada CNN Indonesia: "Rombongan yang belum lama ini mengepung dua
desa, dipicu rasa tidak puas atau skema bagi hasil, sehingga mereka intimidasi
dan meminta jatah atau bagian".
Melihat perilaku
dari konflik sebagai suatu proses tawar-menawar berguna bagi kita agar tidak
menjadi sibuk secara eksklusif dan terjebak dalam kepentingan-kepentingan
sempit (Thomas C Schelling, 1980). Hal ini sejalan dengan amanat Presiden
Jokowi untuk meraih Papua Tanah Damai.
Merangkul OAP
Harusnya gubernur
melalui Forum Komunikasi Pimpinan Daerah -di mana di dalamnya ada Pangdam dan
Kapolda- merumuskan langkah kebijakan bersama yang diambil dalam rangka proteksi
bagi OAP, tetapi juga membuka ruang bagi saudaranya yang pendatang untuk ikut
menikmati "kue ekonomi" tersebut. Misalnya OAP saja yang mendulang,
kemudian saudaranya yang pendatang hanya membeli dari OAP.
Di samping itu
pendulangan emas yang tadinya ilegal, harus dilegalkan menjadi bisnis rakyat
kecil OAP agar mereka bisa menghidupi keluarganya dalam rangka mengeliminasi
akar masalah yang ada, yaitu kesenjangan ekonomi.
Di sisi lain,
bisnis Freeport meraih keuntungan sangat besar, sementara masyarakat asli Papua
yang tinggal di sepanjang Kali Kabur dan Ajkwa hanya bisa meraup sisa-sisa
tailing untuk bisa bertahan hidup di tanah leluhurnya yang diberikan Tuhan kepada
nenek moyang mereka secara turun-temurun. Mereka tidak pernah merasakan hidup
sebagai rakyat Indonesia dalam alam yang merdeka karena dimarjinalisasi dan
didiskriminasi.
Jangan biarkan
rakyat mencari jalan dalam "rimbanya sendiri", yang akhirnya memicu
konflik dan kemudian aparat keamanan diturunkan, tetapi akhirnya di rekayasa
menjadi isu politik sehingga buntutnya OAP menjadi korban. Akhirnya terkesan
Papua sebagai wilayah yang tidak aman.
Sejak integrasi 1
Mei 1963 hingga 1 Mei 2017, selama 54 tahun, pemerintah tidak berhasil
"meng-Indonesiakan orang Papua dan gagal dalam merebut hati dan pikiran
orang Papua" sebagai bagian dari Indonesia.
Sumber: Kompas, 29 November
2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!