Oleh Dadi Krismatono
Pengamat Komunikasi &
Direktur Opapaci Strategic,
Jakarta
BAK petir di siang bolong, Presiden Amerika Serikat Donald Trump
mengumumkan pemerintahannya mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel.
Pengakuan disusul rencana pemindahan kedutaan besar AS di negara itu.
Kontan pernyataan itu
menyulut reaksi di berbagai belahan dunia. Namun, jika kita telusuri lebih
dalam, pengakuan itu hanya soal waktu. Kebetulan Trump yang mengumumkan, seolah
menggenapkan sekian banyak kontroversi selama ini.
Mengapa hanya soal
waktu? Sejak 1995, Kongres AS telah meloloskan Jerusalem Embassy Act, sebuah
undang-undang untuk menginisiasi dan mendanai pemindahan Kedubes AS di Israel
dari Tel Aviv ke Jerusalem. Dalam UU tersebut, Kongres AS dengan jelas
menyatakan bahwa Jerusalem adalah ibu kota negara Israel sejak 1960 dan menjadi
tempat kedudukan presiden, parlemen, mahkamah agung, dan lembaga-lembaga
penting lain.
Disebutkan juga,
pada 1996 Israel merayakan 3.000 tahun kehadiran Yahudi di Jerusalem sejak
kedatangan Nabi Daud (tertulis: King David).
Presiden AS sebelum
Trump —Bill Clinton, George W Bush, dan Barrack Obama— memilih melakukan
pengabaian (waiver) setiap enam bulan sesuai dengan mekanisme. Trump sendiri
menandatangani pengabaian pada Juni tahun ini sebelum membuat pengumuman awal
Desember.
Tiga hipotesis
Dalam perspektif
komunikasi politik, klaim Trump dibaca dalam tiga hipotesis. Pertama, Trump
sedang menguji siapa sekutu sejati AS saat ini. Inggris bersikap mendua.
Walaupun Perdana Menteri Inggris Theresa May adalah pemimpin pertama yang
mengunjungi Trump di Gedung Putih, balasannya tak setimpal ketika Trump
berkunjung ke London. Majelis Rendah (House of Commons) menolak Trump bicara di
majelis itu.
Sikap Jerman yang
makin berani kepada AS seiring menguatnya posisi Jerman di Eropa membuat Trump
gusar. Kanselir Angela Merkel tidak segan-segan mengkritik proteksionisme Trump
dan mengatakan sudah waktunya Barat tidak bergantung pada kepemimpinan AS.
Konstelasi juga
bergeser karena Trump semakin dekat dengan Rusia. Bahkan, sejumlah pihak
menduga Trump menang pemilu dengan "bantuan" Moskwa. Namun, kedekatan
Trump dengan Vladimir Putin masih menyisakan tanda tanya bagi perdamaian Timur
Tengah. AS berbeda posisi dengan Rusia dan sekutunya (terutama Iran) terhadap
kepemimpinan Presiden Bashar al Assad di Suriah. Serangan AS ke Suriah awal
April memantik kritik dan pembelaan yang keras dari kedua belah pihak.
Dengan pernyataan
yang kontroversial ini, Trump ingin melihat siapa teman sejatinya. Namun, kita
sudah melihat bahwa Inggris, Jerman, dan Perancis menolak klaim Trump, begitu
pun Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Uni Eropa. Di kawasan Arab; Lebanon, Qatar,
Mesir, dan Jordania menyampaikan keberatan yang sama, juga Turki dan Iran.
Hipotesis kedua,
Trump sedang mengingatkan Israel dan dunia bahwa Paman Sam masihlah kekuatan
terbesar di dunia. Langkah ini mirip bermain bola biliar karena yang disodok
sebenarnya adalah menguatnya China dan makin mesranya Negeri Paman Mao itu
dengan Israel dan Palestina sekaligus.
China yang
menjulang sebagai kekuatan ekonomi dan politik baru mulai berkomentar tentang
kondisi politik dunia, tak terkecuali Timur Tengah. Dalam isu Jerusalem,
Beijing tegas mendukung negara Palestina merdeka dengan Jerusalem Timur sebagai
ibu kota dan mendesak semua pihak menyikapi langkah Trump dengan hati-hati.
Kemesraan itu
terlihat dari data ekonomi. Ekspor Israel ke China terus meningkat hingga 3,3
miliar dollar AS pada 2016, didominasi ekspor teknologi untuk pertanian. Tak
bertepuk sebelah tangan, investasi China di Israel juga menderas.
Pada tahun yang
sama, penanaman modal langsung (FDI) China di Israel mencapai 16,5 miliar
dollar AS, khususnya ke bisnisstartup, keamanan siber, dan alat kesehatan
(Thomson Reuters). Negeri Panda itu juga berinvestasi dalam pembangunan
transportasi metro Tel Aviv dan pelabuhan supermodern Haifa di Laut
Mediterania.
Simbol kemesraan
itu akan menguat jika rencana penawaran saham perdana (IPO) sebuah perusahaan
teknologi Israel di bursa saham China terealisasi dalam waktu dekat —bukan di
NYSE atau Nasdaq.
Pada saat yang sama,
China "bermain mata" dengan Palestina. Dalam pertemuan dengan
Presiden Palestina Mahmoud Abbas pada bulan Juli, Presiden China Xi Jinping
tidak hanya menegaskan dukungan terhadap solusi dua negara, tetapi juga
menawarkan dukungan finansial, termasuk pembangunan kawasan industri dan
pembangkit listrik tenaga surya.
Kemesraan ini
sangat mengusik Trump yang sudah sejak kampanye membuat pernyataan kasar
terhadap China.
Terakhir, langkah
Trump bisa dibaca sebagai manuver memperkuat posisinya di dalam negeri.
Pengakuan Jerusalem adalah janji kampanye Trump dan ia memenuhinya. Ini penting
untuk mengonsolidasikan kembali basis konstituen dan barisan Partai Republik.
Dengan langkah ini pula, Trump sedang mendiferensiasi dirinya dengan
pendahulunya, terutama Obama.
Trump berniat
menggusur warisan Obama, khususnya Obamacare, dan ini adalah langkah pertama
bagi serangkaian proses "de-Obama-isasi".
Tentu tidak ada
faktor tunggal dalam peristiwa politik. Selalu ada kepentingan dan perhitungan
yang berkelindan. Ketiga hipotesis di atas adalah bacaan situasi makro atas
langkah Trump.
Sikap Indonesia
Pernyataan tegas
Presiden Joko Widodo terhadap langkah gegabah AS patut diapresiasi. Terutama
karena pernyataan itu mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dan antipenjajahan,
seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945.
Indonesia harus
memenuhi salah satu janji konstitusinya, yaitu ikut melaksanakan ketertiban
dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
Sumber:
Kompas, 21 Desember 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!