Oleh Otto Gusti
Alumnus Hochschule für Philosophie Muenchen, Jerman;
Dosen
Filsafat dan HAM di STFK Ledalero, Maumere, Flores
RENCANA penyelenggaraan
Perayaan Natal Bersama di Lapangan Monas dengan biaya anggaran pendapatan dan
belanja daerah (APBD) Provinsi DKI Jakarta sempat memicu kontroversi (Media
Indonesia, 21/12). Sejumlah warga mangajukan protes atas rencana ini.
Alasannya, sekali lagi agama di sini dipakai sebagai instrumen di tangan
penguasa untuk kepentingan politik pencitraan dan kontestasi demokrasi
elektoral pada 2019.
Tentu aneh dan
seharusnya patut dicurigai jika negara berpura-pura dermawan untuk mengatur
perayaan Natal. Secara historis dalam peristiwa Natal, umat Kristen
memperingati kelahiran seorang bayi yang kehadiran-Nya ditolak negara. Bayi
tersebut bernama Yesus Kristus dan umat Kristen dalam cahaya iman memandang-Nya
sebagai putra Allah. Sejak awal kehadiran di tengah dunia, bayi Yesus dianggap
sebagai ancaman bagi para penguasa politik, ekonomi, dan agama.
Berbela rasa dan
provokasi
Esensi dari pesan
Natal ialah peristiwa Allah menjelma menjadi manusia. Dalam peristiwa Natal,
umat kristiani merayakan Allah yang meninggalkan kebesaran dan masuk ke
kerapuhan sejarah manusia yang fana. Natal adalah simbol radikalitas
solidaritas Allah dengan manusia dan terutama dengan para korban yang
terpinggirkan.
Keterlibatan Allah
dalam sejarah manusia bertujuan mengangkat martabat manusia dan memancarkan
sinar pengharapan. “Bangsa yang berjalan dalam kegelapan telah melihat terang
yang besar.” Harapan ini dinubuatkan Nabi Yesaya beberapa abad sebelum Yesus
lahir.
Nubuat ini ibarat
tetesan embun bagi bangsa Israel yang berada di tengah prahara ketakutan dan
penjajahan di tempat pembuangan Asiria. Putra raja yang dijanjikan itu saleh
seperti Musa dan para bapa bangsa, berani seperti Daud, dan bijaksana serta
cinta damai seperti Salomo.
Kehadiran Yesus
dipandang sebagai ancaman bagi para penguasa dunia lantaran cara hidup-Nya yang
dipandang terlalu provokatif untuk dunia. Provokasi Yesus tidak bersifat
kategorial, tapi total (Jon Sobrino, 2008). Bersifat total karena bertumbuh
dari sebuah inkarnasi ke tengah dunia yang dikuasai kejahatan dan kegelapan
dosa. Dalam dunia seperti ini tak mungkin Yesus bersikap netral, sebab bersikap
netral berarti membiarkan kejahatan berkuasa. Atas nama Kerajaan Allah, Yesus
beroposisi terhadap kerajaan kekelaman.
Penyaliban dan
kematian Yesus merupakan konsekuensi logis dari cara hidup dan keberpihakan-Nya
yang radikal kepada orang-orang miskin. Pewartaan dan praksis hidup Yesus
adalah ancaman besar bagi para pemimpin agama dan politisi masa itu. Yesus
adalah seorang figur kontroversial, bahkan provokatif. Hidupnya mengganggu
kemapanan para penguasa, maka ia dibenci dan dihukum mati. Provokasi Yesus
tidak bersifat artifisial untuk sebuah pencitraan, tapi eksistensial. Yesus
atas nama Allah yang membebaskan dan berpihak pada orang-orang miskin
membongkar berhala-berhala para pemuka agama yang berkolusi dengan para
pengusaha hitam serta politisi korup berlagak santun dan saleh pada masanya.
Logos dan politik
Allah yang menjelma
menjadi manusia dalam peristiwa Natal itu oleh penginjil Yohanes disebut sabda,
bahasa, atau logos. Tanpa bahasa tak ada komunikasi antarmanusia, tak ada
komunitas, agama, dan negara. Pemikir politik zaman Yunani Kuno, Aristoteles
(384/383-322 SM), mengartikan manusia sebagai ‘zoon logon echon’–‘makhluk yang
memiliki logos atau bahasa’. Bagi Aristoteles, manusia adalah makhluk
berbahasa. Bahasa bagi Aristoteles adalah sarana komunikasi yang mempertemukan
manusia dan membangun komunitas kolektif.
Aristoteles
membedakan tiga tingkatan bahasa. Pada tingkatan pertama terdapat bahasa
binatang berupa bunyi atau suara (phone). Lewat gonggongan, seekor anjing
misalnya memberi tanda. Bahasa binatang hanya mengandung bunyi dan
mengekspresikan nafsu atau rasa sakit. Pada level kedua dan ketiga terdapat
bahasa manusia yang mengungkapkan asas manfaat (utilitarisme) dan kerugian,
diskursus tentang yang baik dan buruk, yang adil dan ketidakadilan. Pada
tingkat inilah muncul esensi dari yang politis pada manusia. Kesamaan pandangan
bermuara pada lahirnya komunitas ekonomi dan politik.
Sebagai makhluk
politis, manusia seharusnya melampaui gonggongan animalis ekspresi syahwat
kekuasaan seperti dipertontonkan politisi. Politik harus mampu membangun
komunikasi dan deliberasi rasional humanistis guna mencari kebenaran dan
bertindak untuk kesejahteraan bersama. Dengan demikian, kebahagiaan sebagai
tujuan akhir politik dapat tercapai. Untuk itu, logos atau bahasa politik harus
steril terhadap manipulasi serta kebohongan publik. Bahasa politik adalah
ekspresi kebenaran dan cahaya penuntun untuk bertindak etis. Kebenaran dan
kebaikan sejati itu dalam bahasa Penginjil Yohanes hanya ditemukan dalam logos
(Allah) yang merupakan sumber dan pencipta segala bentuk komunikasi yang
memungkinkan terbangunnya solidaritas antarmanusia.
Dalam peristiwa
Natal, logos itu menjelma menjadi manusia, mengangkat martabat manusia, dan
menjadi terang yang menuntun perjalanan sejarah bangsa-bangsa. Semoga perayaan
Natal dapat melampaui kesalehan privat-ritualistis, dan menjadi bara api
spiritualitas yang membakar semangat guna menuntaskan masalah-masalah etika,
sosial, dan moral yang tengah mendera bangsa Indonesia.
Sumber: Media Indonesia,
23 Desember 2017
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!