Headlines News :
Home » » "dr Kori": Mandor dari Lembata

"dr Kori": Mandor dari Lembata

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, June 18, 2018 | 10:49 PM

TAHUN 1991 saya tiba di Kupang, Pulau Timor. Tiba di Pelabuhan Tenau, Kupang dari Pelabuhan Larantuka, kota Kabupaten Flores Timur, ujung timur Pulau Flores. Saya bertaruh waktu meraih mimpi -meminjam ayahandaku Petrus Samong (alm) & ibunda terkasih, Maria Ose Klobor- menjadi atadik (orang).

Rasanya kenyang dengan angin laut setelah menempuh perjalanan tiga hari tiga malam dengan kapal barang, setiba di Tenau. Biasanya, kapal Fery yang saya tumpangi tapi jadwalnya tak menentu akibat gelombang laut yang tak kenal kompromi. Jadilah saya bertahan di lambung kapal barang itu..

Jadilah, saya memutuskan naik kapal barang, yang setelah berada di atas geladak ternyata lajunya seperti siput di tempat saya pindahkan kambing di kampung. Tapi, cerita lamanya berlayar di atas kapal Larantuka-Tenau, saya segera kubur dalam hati.

Pertanyaan yang terus berkelebat, bagaimana bisa ikut test di Universitas Nusa Cendana (Undana), kampus negeri paling murah meriah di Kupang kala itu. Dan kalau lulus, bagaimana bisa membayar SPP per semester sebesar Rp. 90 ribu? Modal di sapu tangan dalam bungkusan yang diberikan orangtua hanya Rp. 150 ribu.

Ah, belum lagi membayangkan bagaimana membayar uang kos di kota karang ini sementara hidup-mati uang kuliah, urusan asap dapur, naik bemo ke kampus, hanya bersandar dari daging babi dan rusa hasil buruan ayah?

Tuhan sungguh baik. Dalam permenungan panjang, saya bertemu dengan Korfinus Ero Sakeng. Lelaki yang kini memasuki usia 64 itu tengah menjalani profesi sebagai sub kontraktor proyek-proyek bangunan jalan di kota Kupang dan beberapa kabupaten lain di NTT seperti (kini) Sabu Raijua, Rote Ndao, beberapa kabupaten di Flores daratan dan Pulau Timor.

Dari sini, saya dan beberapa adik, bertemu 'dokter' Kori (nama gaul Korfinus Ero Sakeng). Kami datang dan 'berkonsultasi' dengan 'dokter' bagaimana agar selama tinggal di kos kami tetap 'sehat' dalam urusan biaya hidup dan keuangan kuliah. "Kalau kamu tidak keberatan, ikut saya kita bakar aspal agar kamu punya uang saku pigi pulang kampus," demikian ajak dokter Kori.

Tanpa pikir panjang dan demi 'keselamatan' hidup di kos, kami bertaruh tenaga menjadi buruh kasar pembakar aspal di bawah asuhan 'dokter'. Proyek perdana kami ikut bakar aspal di belakang gedung TVRI, Oepoi. Lumayan, sekali proyek kami bisa menganyongi uang belanja dua bulan lebih.

Kali ini, saya dan 'dokter' sua kembali. Maxx Coffee di jantung kota karang, kisah kami: eks mandor dan buruh kasar aspal di kota karang, kami runut dalam cerita. Ya, belasan tahun berpisah dalam tugas. Saya memilih berada di rantau. Ia mengurus kebun tak jauh dari Bandara Internasional El Tari Kupang.

Ia pensiunan porter sekaligus cleaning service di bandara itu. Saya juga 'pensiunan' buruh kasar usai menunaikan tugas saya sebagai mahasiswa. Sembari menikmati kopi panas, cerita kami terhenti. Malam merambat di kota ini.

Terima kasih, kaka 'dokter'. Pengalaman tempo doeloe terasa sesuatu banget. Menempel dalam dinding memori. Dan saya bawa ke rantau. Dalam doa kita saling mendukung. Selalu.....
Ansel Deri
Kupang, 18 Juni 2018
Penulis bersama ‘dr Kori” Sakeng
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger