Headlines News :
Home » » Clara Sumarwati: Yang Perdana Merengkuh Everest

Clara Sumarwati: Yang Perdana Merengkuh Everest

Written By ansel-boto.blogspot.com on Sunday, October 21, 2018 | 10:33 AM

MENDAKI gunung bukan hal mudah. Namun, di atas sana, kita akan tercerahkan. Ada pengalaman batin yang kita dapatkan.

Pernah menonton film Everest? Yang sudah, tentu mafhum bahwa 1996 merupakan salah satu musim pendakian paling tragis di puncak Everest, puncak gunung tertinggi di dunia berketinggian 8.580 meter di atas permukaan laut (mdpl). Total 12 pendaki tewas di tahun itu.

Namun, di tahun serupa pula, bendera Merah Putih perdana diusung di atap dunia tersebut oleh Clara Sumarwati. Namanya tertera di laman adventurestats.com, juga everesthistory.com. Meski tidak sedikit yang masih meragukan itu, Clara tak lagi ambil pusing. Media Indonesia mewawancarai perempuan hebat itu, di rumahnya, Yogyakarta, pada Selasa (16/10). Berikut petikannya.

Bisa ceritakan awal mula gemar mendaki gunung?
Sejak kecil sudah terbiasa dan tidak takut dengan ketinggian. Makam kakek saya di Gunung Jambu, Purworejo, Jawa Tengah. Banyak pohon jambunya. Ayah saya sering mengajak liburan ke sana.

Setelah dewasa, kapan mulai aktif mendaki gunung?
Waktu kuliah di Atma Jaya Jakarta. Saya terlibat di beberapa kegiatan mahasiswa: menwa, mapala, taekwondo. Nah, itu mulai petualangan mendaki gunung. Pertama, saya ke Gunung Rinjani, Lombok, tingginya 3.726 mdpl. Sekitar 1987, bareng anak-anak Edelweis. Persiapan seadanya karena sudah terbiasa latihan taekwondo dan lari-lari. Jadi, spontan ingin jalan-jalan ke Rinjani. Saya bawa ransel dan Rp500 ribu.

Setelah Rinjani?
Sebulan sekali ke Gunung Pangrango (3.019 mdpl) atau Gunung Gede. Terus 1990-an, saya ditawari naik ke Annapurna IV (7.525 mdpl) di pegunungan Himalaya. Waktu itu pas ujian sarjana, tapi saya ambil kesempatan itu. Jadi, saya ujian sambil latihan fisik naik gunung. Lulus kuliah tahun 1990, setelah itu naik Annapurna IV.

Bagaimana persiapan sebelum Everest?
Saya mahasiswa bisa, dari resimen. Bukan militer. Saya juga bukan instan ujug-ujug sampai Everest. Ada proses latihan panjang. Naik Gunung Gede, Semeru, Carstensz.

Pas ke Annapurna, sama teman saya, waktu itu tidak sampai puncak, cuma sampai Annapurna IV. Sebenarnya ingin ke puncak, tapi melihat situasi dan oksigen terbatas, saya relakan, ya sudah kamu saja yang naik. Lah wong sama-sama bawa nama Indonesia, bukan nama pribadi. Terus dia yang naik. Saya juga tidak ambisi ke puncak, saya juga mikir keselamatan.

Habis itu ekspedisi gabungan perguruan tinggi Jakarta, ke Aconcagua (6.962 mdpl), di Argentina perbatasan Cile. Sampai puncak tiga orang. saya dan dua teman saya. Waktu itu saya jadi ketua ekspedisi, dan saya kena dehidrasi karena cuma makan supermi satu, tapi syukur bisa sampai ke bawah juga.

Waktu ke Everest bagaimana?
Saya ke Everest dua kali. Pertama pada 1994, lewat jalur selatan, tapi gagal, tidak sampai puncak. Kondisinya saat itu badai.

Bagaimana persiapan saat itu?
Berenang 3-4 jam, lari-lari, naik turun gunung, latihan panjat tebing, dan fitnes juga. Waktu itu saya bareng dengan Persatuan Pendaki Gunung Angkatan Darat (PPGAD), anggotanya ada yang dari Kopassus. Kami berangkat 6 orang, cuma saya yang perempuan. Uang yang kami bawa Rp200 juta. Kami bonek, uangnya cuma kepakai Rp 120 juta dan sisa Rp 80 juta. (Clara membicarakannya sambil tertawa).

Berangkatnya kami bergabung dengan tim dari Inggris. Karena saya perempuan, kami dapat diskon banyak. Tapi ekspedisi Everest yang pertama itu, gagal. Cuma sampai Camp 3 karena saat itu musim badai, pas di bulan September. Teman-teman sudah pada sakit dan tidak kuat. Mereka menyuruh saya terus naik melanjutkan perjalanan.

Anda nekat naik?
Mereka memintaku terus ke atas, dan waktu itu alasan saya tetap naik karena ingin mengibarkan bendera Merah Putih, nasionalisme. Namun, gagal. Badai. Saljunya seperti es serut, anginnya kencang sekali, seperti digoyang-goyang.

Waktu itu biayanya dari mana?
Perjalanan yang 1994 dari Pak Agum Gumelar. Terus kita bikin laporan ke Pak Agum. Pesannya, tidak berhasil (sampai puncak) tidak apa-apa, yang penting selamat.

Ekspedisi Everest berikutnya pada 1996. Apa yang Anda lakukan dalam jeda dua tahun itu?
Sebenarnya 1995 mau ke Everest lagi, tapi tidak jadi karena badai dan saljunya longsor, banyak yang mati. Jadi, saya punya jeda waktu dua tahun, saya gunakan latihan. Saya naik turun gunung. Ke Carstensz dan gunung-gunung di Indonesia untuk pemanasan.

Anda kembali lagi pada 1996. Tidak takut? Tahun sebelumnya kan banyak yang tewas.
Tidak. Kita waktu masih pencinta alam banget, keadaan apa pun, kalau Tuhan kasih semuanya menjadi mudah. Dan kalau kita sudah berangkat, tak ada kata menyerah.

Bagaimana cerita ekspedisi Everest yang kedua?
Latihan biasa, dan kami pemanasan ke puncak Kala Patthar (5.670 mdpl), saya bisa sampai puncak, waktu itu cuma 2 atau 3 jam ya, saya lupa.

Kami rombongan 12 orang. Dari PPGAD di antaranya ada Gibang Basuki yang juga ikut saat ekspedisi pertama. Kami berangkat lewat jalur utara, bulan Juli-September. Waktu itu badai lagi, anginnya kencang sekali, sampai ada yang tangannya luka terkena tali. Kondisinya berkabut dan jarak pandang cuma 1 meteran. Rasanya seperti di padang pasir. Enggak kelihatan pokoknya. Setiap melihat ke atas dan ada awan datang, rasanya cemas sekali, takut gagal lagi.

Ada dari tim Afrika Selatan naik, tapi tidak sampai puncak. Syukur pas tim kami naik, cuaca tidak begitu ekstrem. Cuma itu tadi, kabut dan saljunya kalau dinjak, suaranya kres... kres... kres...

Teman-teman berhenti. Gibang Basuki berhenti di Camp 1. Saya terus lanjut. Saya seperti mengemban tugas negara, mengibarkan Merah Putih di puncak Everest. Pokoknya semangat dan optimistis sampai puncak, saya juga sudah membawa bendera Merah Putih yang besar. Apalagi, kepergian kami juga dibiayai negara, jadi harus sampai puncak.

Anda sampai puncak?
Iya. Saya dan 5 sherpa dari Nepal.

Tanggal berapa?
26 september. Jam 11 atau 12 waktu sana. Di sini jam 2-an. Waktu itu saya berangkatnya sekitar pukul 1 malam.

Di puncak dunia, apa yang Anda saksikan?
Senyap. Sepi sekali. Telinga rasanya mak ces, seperti tuli. Saya berpikir, kalau kelamaan di atas, bahaya. Maka, saya turun secepatnya.

Berapa lama di atas? 
Sekitar 10 menitan.

Sempat foto?
Iya, difoto Sherpa, tapi hasilnya tidak bagus.

Anda tahu Anda orang pertama di Indonesia, bahkan Asia Tenggara, yang mencapai puncak Everest?
Saya tidak kepikiran itu. Yang saya pikirkan saat itu berhasil mengibarkan bendera dan selamat.

Sampai di bawah, apa yang terjadi?
Di Nepal saya disambut Menteri Olahraga Nepal. Dia mengatakan kalau saya orang Indonesia pertama yang sampai puncak. Dapat piagam dari Nepal Mountaineering Association, terus dari asosiasi agen tracking Nepal.

Bagaimana sambutan pemerintah kita waktu itu?
Pemerintah memberi bintang jasa Nararya. Cuma itu, tidak ada bonus lain. Tapi saya senang sekali berhasil mengibarkan bendera Merah Putih di puncak tertinggi dunia.

Ekspedisi pertama biayanya sekitar Rp 200 juta, yang kedua habis berapa?
Kalau 1996 kita dapat dari panitia peringatan HUT ke-50 RI. Waktu itu saya menghadap Pak Moerdiono. Dia tidak banyak tanya, cuma tanya berapa yang saya minta. Saya minta Rp70 juta untuk pengurusan izin dan lain-lain. Lalu dikasih segitu. Tapi tidak langsung, cuma sebagian dan sisanya diberikan secara bertahap. Waktu ekspedisi belum dibayar semua. Saat usai ekspedisi, kakak saya mengantarkan dana bantuan dari Pak Moerdiono.

Total biaya berapa?
Waktu itu sama panitia peringatan HUT ke-50 RI diberikan dana Rp 478.500.00.

Setelah itu Anda masih aktif di PPGAD?
Iya.

Anda tahu siapa yang ke Everest pada 1997? Apa Prabowo Subianto ikut?
Pak Prabowo tidak pernah naik gunung. Yang sampai puncak anak buahnya. Bukan Pak Prabowo. Berdasarkan data Nepal, setahuku yang sampai puncak Asmujiono.

Bagaimana hubungan Anda dengan Prabowo dan Kopassus?
Saya kenal Pak Prabowo, cuma enggak pernah ngobrol. Saya cuma ke wakil komandan (Idris Gassing). Saya dekat dengan dia, kasihan ia meninggal dalam kecelakaan. Teman-teman saya di PPGAD baik-baik semua.

Beberapa waktu lalu seorang politikus menyebut yang pertama sampai ke puncak Everest adalah Kopassus, 1997. Bagaimana menurut Anda?
Tanya saja ke dia saja, 1996 dengan 1997 duluan mana. Tidak usah berbelit. Kalau orang politik kan dipelintir.

Sampai sekarang Anda masih naik gunung?
Masing dong. Kemarin habis dari Lawu, jalan-jalan.

Sekarang banyak anak muda menyukai kegiatan itu. Ada pesan buat mereka?
Tetap jaga kebersihan, jangan buang sampah sembarangan. Bawa lagi turun sampahnya. Dan bagi yang belum pernah naik gunung, mendaki itu tidak mudah. Jangan latah, ikut-ikutan. Butuh latihan fisik dan psikis. Meski susah naiknya, tapi pas turun kita akan mendapat pencerahan. Ada pengalaman batin yang bisa kita dapatkan. 
Sumber: Media Indonesia, 21 Oktober 2018 
Ket foto: Clara Sumarwati
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger