Headlines News :
Home » » Meneguhkan Keindonesiaan

Meneguhkan Keindonesiaan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Tuesday, October 23, 2018 | 12:32 PM

Oleh Abd a’la
Guru Besar UIN Sunan Ampel, Surabaya

MEMASUKI usia yang ke-74 saat ini, Indonesia telah berhasil menghadapi beberapa tantangan —bahkan ancaman— yang menghadangnya. Di antaranya pada 30 September 1965, terlepas dari kontroversi siapa dalang dan tujuannya, Indonesia terselamatkan dari tragedi kehancuran. 

Sebelumnya, pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) Madiun tahun 1948, dan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di beberapa daerah, antara 1951 sampai 1962, tak mampu merobek keutuhan bangsa Indonesia. Sampai saat ini keutuhan negara Indonesia tetap terjaga dengan kokoh. Kehidupan berbangsa pun secara prinsip mencerminkan kondusivitas yang memadai.

Keutuhan negara dan bangsa Indonesia ini niscaya disyukuri oleh seluruh elemen bangsa. Demikian pula dengan kehidupan yang relatif damai dengan segala turunannya yang dialami bangsa dan masyarakat. Semua ini merupakan anugerah Tuhan yang tentu tidak diberikan secara tiba-tiba dan tanpa perjuangan.

Pancasila pemersatu

Realitas mengajarkan kepada kita betapa tidak mudah menjaga keutuhan negara dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat. Sejarah juga memperlihatkan dengan telanjang mata, ada negara besar yang dianggap sebagai salah satu negara adikuasa akhirnya berkeping-keping jadi beberapa negara. Ada pula negara yang di masa lalu menjadi pusat peradaban dunia, tetapi hari-hari ini dipenuhi dengan konflik kekerasan —vertikal maupun horizontal— yang tidak berkesudahan.

Kalau kita mau jujur, karunia sang Pencipta berupa daya tahan, kesatuan, dan kondusivitas kehidupan bangsa ini —sampai derajat tertentu— terkait erat dengan ideologi Pancasila yang menjadi dasar negara dan anutan bangsa. Ideologi yang bersumber dari nilai-nilai agama, kearifan lokal, dan budaya bangsa ini mampu mengikat para pendiri bangsa dalam kontrak sosial yang teguh dan perjanjian luhur yang dapat menyatukan pandangan mereka, tanpa harus melepaskan perbedaan yang ada. Perbedaan etnis, suku, budaya, dan lainnya bukan lagi dijadikan hambatan, melainkan justru wahana memperkaya keindonesiaan.

Meminjam ungkapan RE Elson dalam bukunya, The Idea of Indonesia, ia menyimpulkan, sejarah, budaya, dan geografi tidak memberi garis pemisah alami maupun kentara atau menimbulkan (sampai batas tertentu — Pen) calon-calon negara sendiri. Sebagian besar bangsa Indonesia telah bersedia dan berhasil memasukkan keindonesiaan ke dalam tatanan identitas mereka.

Kuatnya dukungan pada Pancasila tak terlepas dari, salah satunya, pandangan mayoritas umat Islam Indonesia sebagai bagian terbesar elemen bangsa yang meyakini (berdasar ijtihad mereka) bahwa Pancasila sebagai dasar negara sudah final. Pancasila tidak hanya sesuai dengan nilai ajaran Islam, tetapi bersumber juga pada agama yang dibawa Nabi Muhammad (SAW).

Karena itu, dasar negara ini, selain harus dijaga, yang tak kalah penting diimpelementasikan dalam kehidupan bernegara, berbangsa, dan bermasyarakat. Tentu mayoritas penganut agama lain memiliki keyakinan dan pandangan serupa dengan Muslim mayoritas.

Itu dapat dilihat dari pemikiran dan kiprah tokoh semisal Frans Seda dan Hanriette T Hutabarat yang Kristen, atau Romo Mangun dan Romo Magnis yang Katolik, serta tokoh-tokoh agama lain dari Hindu dan Buddha.

Sejalan dengan itu, masyarakat sipil Indonesia, khususnya masyarakat Muslim sipil¸ sebagaimana dinyatakan Hefner dalam Civil Islam —terlepas dari kelemahannya dalam culture of civility pada masa-masa awal— memainkan peran signifikan dalam keberadaan negara Indonesia.

Mereka meninggalkan mitologi negara Islam dan menganut jalan tengah, yang direpresentasikan ke dalam bentuk negara Indonesia yang ada hingga saat ini.

Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, misalnya, selalu mengawal negara Republik Indonesia dalam menghadapi tantangan yang mempersoalkan keberadaannya. Mereka selalu berada di garis terdepan dalam melawan pemikiran dan gerakan yang merongrong keabsahan negara.

Pada saat yang sama, masyarakat Muslim sipil ini bersama masyarakat sipil lain, dan kelompok lain, mendorong dan mengembangkan penguatan demokratisasi di tengah-tengah masyarakat. Dengan demikian, partisipasi masyarakat dalam mengontrol pemerintah dan komitmen mereka untuk membela negara kian menguat.

Tantangan dan respons

Kendati sejauh ini Indonesia selalu berhasil melewati tantangan, dan selamat dari ancaman yang menghadangnya, bukan berarti jalan ke depan sudah mulus. Akhir-akhir ini Indonesia sedang disibukkan oleh menguatnya pandangan keagamaan hitam-putih, yang selain dimunculkan oleh orang yang memiliki pemahaman keagamaan yang kurang memadai, juga demikian mudah —sebagai dampak dari keterbatasan literasi informasi— diterima dan ditelan mentah-mentah oleh masyarakat awam.

Tak berhenti sebatas itu, pola semacam itu pada saat yang sama dijadikan alat politik kekuasaan oleh para petualang politik yang mulai berkecambah di negeri ini. Melalui jaringan media sosial dan sejenisnya, para petualang dengan simbol agama yang mereka kibarkan menggambarkan Indonesia sebagai negara yang gagal.

Nyaris tidak sedikit pun kebaikan yang tersisa di bumi Indonesia. Bagi orang dan kelompok semacam itu, yang tersisa hanyalah kebencian yang kemudian dipupuk melalui penyebaran fitnah dengan beragam cara.

Sejatinya hal itu berpulang pada ambisi kekuasaan yang membakar hati dan pikiran petualang politik tersebut. Ambisi menjadikan mereka lupa segalanya.

Padahal, sejarah mengajarkan kepada kita betapa karena ambisi kekuasaan Umar ibnu Abd Aziz, khalifah kedelapan dari Dinasti Bani Umayyah yang sangat saleh, tahun 720 tewas diracun oleh salah satu familinya dari klan yang sama. Betapa karena ambisi kekuasaan, Hulagu pada 1258 membunuh hampir seluruh keluarga Dinasti Abbasiyah dan menghancurluluhkan kota Baghdad.

Demikian pula, di bawah kendali nafsu berkuasa, Philip II pada 1609 mengusir semua orang Kristen baru, orang Islam, dan Yahudi dari bumi Spanyol. Amalgamasi agama dan kekuasaan yang terlepas dari visi moralitas luhur dan misi kemaslahatan masyarakat merupakan tantangan bukan hanya bagi Indonesia, melainkan juga dunia global.

Persoalan ini niscaya ditekankan untuk diperhatikan karena masyarakat Indonesia terkenal keterikatannya dengan agama, tapi pada saat yang sama masyarakat masih banyak yang sangat awam pemahamannya.

Selain itu, tentu banyak tantangan lain yang berpotensi merenggangkan solidaritas dan kohesi sosial, atau bahkan menceraiberaikan kebangsaan di Indonesia ke depan manakala tidak diantisipasi dan dicari jalan penyelesaian dengan penuh komitmen dan tuntas. Beberapa persoalan itu dapat dilacak dari hukum yang belum sepenuhnya mencerminkan keadilan, hingga masalah ekonomi yang masih menyisakan kecemburuan pada sebagian masyarakat.

Merespons semua persoalan itu, Pancasila mutlak dijadikan ideologi yang benar-benar hidup. Untuk itu, tawaran revolusi Pancasila dari Yudi Latif signifikan untuk dicermati.

Program transformasi Pancasila yang dapat melayani kepentingan horizontal (masyarakat) dengan cara melibatkan segala unsur dan kekuatan dalam penafsiran, pengisian, dan penyebarluasan Pancasila niscaya untuk dijabarkan dan diturunkan ke dalam kegiatan konkret.

Demikian pula halnya dengan penguatan demokrasi permusyawaratan, dan program lainnya yang ditawarkan. Semua itu perlu didiskusikan, dikritisi, dan diagendakan tindak lanjutnya.

Bersamaan dengan itu, para tokoh yang tidak diragukan kapabilitas dan komitmen kebangsaan mereka —seperti KH Said Aqil Siroj, KH Maimoen Zubair, Haedar Nasir, Syafii Maarif, Azyumardi Azra, dan tokoh-tokoh lain dari Katolik, Kristen, Buddha, Hindu, dan Konghucu— perlu duduk bersama membangun semacam think tank untuk kepentingan negara, bukan sekadar untuk kepentingan pemerintah.

Dalam forum tersebut, mereka menggagas masa depan Indonesia sesuai dengan cita-cita bangsa, dan merajut strategi, atau bahkan programnya. Inilah inti makna syukur yang perlu dilakukan bangsa ini. 
Sumber: Kompas, 22 Oktober 2018
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger