Oleh Adi Prayitno
Dosen Ilmu
Politik Fisip UIN Jakarta;
Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia
DALAM
paparan Visi Indonesia Presiden Joko Widodo (Jokowi) menebalkan keyakinan bahwa
menjadi oposisi ialah perkara mulia. Asal jangan oposisi yang menimbulkan
dendam dan memupuk kebencian.
Dalam sistem politik demokratis, eksistensi oposisi
memang suatu keniscayaan. Diktum Lord Acton soal kekuasaan cenderung korup
(power tends to corrupt) penting selalu diingat untuk mengontrol pemerintah
yang sedang berkuasa.
Sistem presidensialisme multipartai ekstrem di
Indonesia sejak lama mengidap cacat bawaan akut, yakni tiadanya tembok tebal
antara penguasa dan oposisi. Potret pemilu pascareformasi mendemonstrasikan
secara telanjang parpol sengit bersaing hanya saat pilpres.
Namun, jelang pembentukan kabinet, parpol yang
semula berselisih berjibaku menentukan postur kabinet bersama. Satu fenomena sumir
dalam logika kontestasi elektoral.
Tesis Kuskrido Ambardi, Mengungkap Politik Kartel
(2009), menyebut fenomena semacam itu bagian politik kartel yang salah satu
indikatornya menihilkan kompetisi dan menghilangkan perbedaan ideologi parpol.
Setelah pemilu usai, parpol tak lagi terlibat konfrontasi. Parpol kalah tanpa
rasa malu menunjukkan gelagat kuat ingin berkoalisi dengan pemenang.
Pada saat bersamaan, pemenang digelayuti dilema soal
bagaimana membangun desain ideal pola relasional penguasa dan oposisi. Satu
sisi ingin menciptakan oposisi yang kuat, sisi lain cenderung akomodatif
terhadap pihak kalah karena budaya politik gotong royong yang tak memungkinkan
pemenang mengambil semua jatah kekuasaan (the winner takes all).
Siapa pun presidennya, godaan merangkul parpol kalah
sangat kuat. Mestinya Pilpres 2019 menjadi momen pengadilan sejati bagi parpol
yang berkompetisi. Ada rewards and punishment setiap kompetitor. Pemenang
automatically menjadi penguasa, sedangkan yang kalah harus dipaksa menjadi
oposisi.
Tak perlu mengulang budaya politik akomodatif yang
kerap dipraktikkan sebelumnya. Hal ini perlu dilakukan sebagai eksperimen
demokrasi jangka panjang untuk menjaga level persaingan yang lebih kuat.
Pilihan menjadi oposisi selalu tak mudah. Jalan yang
harus ditempuh cukup sunyi, berliku, bahkan mendaki. Dua periode SBY berkuasa
hanya PDIP konsisten menempuh jalur oposisi.
Begitupun fase pertama pemerintahan Jokowi, hanya
PKS dan Gerindra yang tetap istikamah berada di luar kekuasaan. Sementara itu,
Golkar, PAN, dan PPP yang semula mendukung Prabowo, mendadak lompat pagar.
Fenomena serupa terjadi pada pilpres kali ini. Hanya
PKS yang sejauh ini telah memantapkan hati tekad beroposisi. Gerindra, PAN, dan
Demokrat menebar jala kemungkinan merapat ke Jokowi. Bahkan dalam banyak hal,
sikap politik tiga parpol itu bersayap. Menegaskan kesiapan beroposisi, tapi
siap pula membantu pemerintah jika dibutuhkan. Ambiguitas sikap politik yang
nyaris tak masuk akal.
Sparring partner
Realitas politik elektoral terkini memosisikan
oposisi berada di jalan sunyi, sepi peminat. Parpol yang kerap agresif
menghujat Jokowi terlihat enggan beroposisi. Posisi penyeimbang dinilai tak
lagi seksi. Padahal, kerja politik oposisi bagian penting dari keseluruhan
hidup berdemokrasi. Aneh memang karena kompetisi terjadi sesaat. Seakan-akan
pembelahan politik hilang tanpa bekas.
Dalam demokrasi yang terkonsolidasi, konstruk ideal
oposisi diproyeksikan sebagai teman tanding (sparring partner) setara untuk meningkatkan
kualitas kinerja pemerintah. Urgensinya terletak pada keinginan menjaga
keseimbangan politik yang berkesinambungan.
Oposisi bisa membentuk kabinet bayangan (shadow
cabinet) untuk mengontrol kinerja pemerintah di semua lini kehidupan. Proposal
politiknya jelas memberikan kontrol dengan narasi bermutu. Bukan nyinyiran atau
propoganda politik lainnya yang justru membuat suasana batin kebangsaan gaduh.
Menjadi oposisi konstruktif tentu merupakan pilihan mulia bagi parpol pengusung
Prabowo.
Problemnya, oposisi sering kali terjerembap dalam
paradigma lama yang lokus utamanya didasarkan pada perasaan suka tak suka (like
or dislike). Efeknya hitam-putih melihat persoalan politik.
Apa pun yang datang dari penguasa pasti ditolak. Ke
depan, oposisi mesti diproyeksikan sebagai pilihan politik rasional
bermartabat. Kerangka operasional kerjanya juga harus berubah agar jauh lebih
konstruktif, bukan cacian, melainkan kritik membangun disertai basis argumen
ilmiah dan solutif.
Secara normatif kerja politik oposisi sama beratnya
dengan penguasa. Itu karena harus menampilkan performa meyakinkan dalam
mengkritik dan memberi masukan pemerintah. Bukan oposisi kaleng-kaleng tak
substansial asal protes. Kerja oposisi juga mulia karena merekam denyut nadi
kehidupan rakyat yang luput dari jangkauan pemerintah.
Penguasa dan oposisi tujuannya serupa mengaksentuasi
kehidupan rakyat yang lebih baik.
Oleh karena itu, tak ada alasan berkecil hati meniti
jalan sunyi oposisi. Sejatinya, oposisi ialah kerja politik kemanusiaan. Bukan
politik pamrih, bukan pula politik permusuhan. Ada segmentasi kehidupan rakyat
yang membutuhkan sentuhan kinerja oposan sebagai kanal aspirasi kelompok yang
berada di luar pemerintahan.
Koalisi Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo dan
Sandiaga Uno resmi bubar setelah Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan
kecurangan pemilu. Prabowo memberikan keleluasaan parpol pengusung menentukan
takdir politik masing-masing. Satu sinyalemen buruk bagi eksistensi oposisi
karena Prabowo terlihat tak mau lagi mengambil alih komando oposisi seperti
2014.
Meski koalisi bubar, pemilih Prabowo berharap parpol
penyokong menguatkan iman politik berada di luar pemerintahan. Satu bentuk
aspirasi politik yang tak bisa dianggap sepele mengingat mereka terlanjur
menjadi ‘kayu bakar politik’ sepanjang proses pemilu berlangsung.
Jika diringkus sederhana ada sejumlah argumen
kontekstual tentang urgensi parpol oposisi. Pertama, sebagai kanal kelompok
yang selama ini ingin mengganti presiden. Biarkan mereka menyuarakan aspirasi
politik kritis dengan tidak fitnah, hoaks, dan sentimen primordial. Tugas
parpol memberikan edukasi untuk berada di koridor demokrasi. Parpol juga harus
menyadarkan mereka bahwa pilpres sudah usai, Jokowi dan Prabowo sudah
rekonsiliasi, serta menghentikan narasi pemilu curang.
Kedua, memelihara ceruk pemilih untuk kepentingan
politik jangka panjang. Data KPU menunjukkan pemilih Prabowo relatif signifikan
di kisaran angka 68,6 juta suara. Pilpres boleh usai, tapi level kontestasi
pada momen politik elektoral lainnya terus berlanjut, misalnya, Pilkada
Serentak 2020 mendatang.
Atau untuk kepentingan Pemilu 2024 yang basis
konstituennya perlu dirawat dari sekarang.
Ketiga, secara moral parpol pengusung Prabowo mesti sadar diri tidak
merapat ke Jokowi.
Pembelahan rakyat yang begitu ekstrem tak lepas dari
peran mereka yang menyediakan ruang terbuka bagi penunggang gelap berselancar
bebas menarasikan politik primordial berbasiskan agama penuh kebencian. Mereka
yang mulai, mereka pula yang harus bertanggung jawab meredam friksi politik
itu.
Sumber: Media Indonesia, 19 Juli 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!