SUATU waktu, tahun 90-an, langkah saya terhenti di depan
kampus Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang. Suasana lebih ramai
di depan perguruan tinggi swasta milik Serikat Sabda Allah atau Societas Verbi
Divini (SVD) itu. Tak seperti hari lainnya.
Saya agak
terburu-buru. Masuk ke kios majalah dan koran saya berburu majalah dan koran
bekas. Tapi teman saya setengah memaksa agar saya bisa ikut hadir di sebuah
ruang di dalam kompleks kampus. "Ada diskusi dengan wartawan Paulus,"
kata seorang teman mahasiswa.
Bayangan saya,
Paulus itu, nama tambahan Gerson Gubertus Poyk, sastrawan Indonesia asal NTT,
orang Namodale, Pulau Rote. Bayangan saya juga tertuju ke John Dami Mukese.
Apakah pastor yang juga penyair asal Manggarai ini punya nama tambahan Paulus
di depan Yohanes (John).
Setelah beli
dua majalah bekas di kios depan Unika, saya menyeberang ke dalam kompleks
kampus. Naik ke lantai dua ruang diskusi sudah ada Paulus, penulis besar,
wartawan, dan sastrawan yang dimaksud teman saya. Nama Paulus ini juga baru
saya dengar. Kok Paulus?
Nara sumber,
orang yang ikut duduk lesehan ini namanya Arswendo Atmowiloto atau mas Wendo.
"Namanya Paulus," kata teman tadi. "Kau tau dari mana? Dia itu
namanya Arswendo Atmowiloto. Dorang di Jawa sana biasa panggil dia mas Wendo.
Lu jangan karang-karang dia punya nama," kata saya ke teman dan kami dua
ketawa. Duduk paling pojok, kami mengikuti sesi tanya-jawab dengan mas Wendo.
Urusan
"polemik" nama antara saya dan teman, menjadi jelas setelah mas Wendo
perkenalkan diri. "Jadi kau benar. Saya juga benar. Kau bilang namanya
Paulus, tanpa embel-embel Arswendo Atmowiloto. Saya juga sebut namanya Arswendo
Atmowiloto tanpa kasi tamba nama baptis 'Paulus'. Setahu saya, beliau wartawan
terkenal. Itu saja," kata saya.
Sebelum masuk
diskusi, mas Wendo -bernama asli Sarwendo- perkenalkan diri. Katanya, ia cukup
disapa mas Wendo atau Arswendo. Meski lengkapnya Paulus Arswendo Atmowiloto
setelah dibaptis secara Katolik. Ia orang Solo. Mas Wendo mungkin wong deso,
sama seperti saya ata kifan, (b)lefun (orang kampung). Saat ini mas Wendo
menjadi wartawan di Jakarta dan kerap keliling Indonesia bila mendapat tugas
dari medianya.
"Saya
senang berada di Kupang. Orangnya ramah-ramah. Bemonya bersih, musik di bemo di
jalanan seperti diskotik. Kalau saya mau bertemu langsung Madonna, Jon Bon
Jovi, Bill Clinton dan penyanyi dunia lainnya, cukup saja ke Kupang. Tak perlu
ke luar negeri," kata mas Wendo. Saya dan teman di samping, ikut tertawa.
Benar juga mas Wendo.
Bemo (angkutan
kota) Kupang "dibaptis" dengan nama pesohor dunia. Semisal Madonna,
Jon Bon Jovi, Mick Jagger, Bill Clinton, dan lain-lain. Nama-nama bemo ini yang
rupanya jadi pengalaman baru mas Wendo. Begitu juga Kupang. Meski kotanya panas
namun warga kotanya yang ramah menjadi daya pikat lainnya bagi pengunjung baru
seperti mas Wendo.
Saat itu mas
Wendo berbagi pengalaman bagaimana menjadi wartawan dan penulis yang baik.
Bagaimana juga pembaca punya tambahan informasi dan pengetahuan baru. Satu hal
lagi: mas Wendo kagum dengan para penulis dan wartawan asal NTT yang berkarya
di media-media besar di Pulau Jawa, terutama Jakarta. Mereka sangat potensial.
Dengar cerita
tentang penulis atau wartawan asal NTT di Pulau Jawa, saya sesungguhnya tak
punya banyak informasi. Maklum. Saya orang udik, orang kampung, yang tak banyak
bersentuhan dengan koran atau majalah. Sekolah SD sampai SMA di Pulau Lembata
kala itu, hanya puas mengakrabi DIAN. Surat kabar mingguan ini terbit di Ende.
Kami anak-anak
kala itu juga jarang baca karena tergolong media elite yang hanya dimiliki
guru-guru yang mampu berlangganan atau beli eceran kalau ke Lewoleba, kota
pembantu Bupati Flores Timur wilayah Lembata, yang berjarak 24 kilo meter dari
kampung.
Di Kupang pun
mulai sedikit dibantu dengan banyak koran yang terbit di Jawa dan Bali seperti
KOMPAS, SUARA PEMBARUAN, SURYA, BALI POS, dan beberapa majalah serta tabloit.
Menemukan nama-nama wartawan asal NTT yang menjadi penulis atau wartawan juga
masih terbatas.
Tapi pengakuan
mas Wendo membuat saya bertanya dalam hati. Siapa penulis atau wartawan hebat
asal NTT yang begitu dikagumi mas Wendo. Seingat saya banyak juga. Sejumlah
nama penulis atau wartawan asal NTT kerap muncul di koran terbitan Pulau Jawa.
Engah sebagai penulis opini, sastra, reportase, dan lain-lain. Ada Gerson Poyk,
Gorys Keraf, Jan Riberu, Pius Caro, Peter Apollonius Rohi, Marcel Beding, dan
lain-lain (sekadar menyebut beberapa nama).
Jumat, 19
Juli, saya memenuhi undangan Ketua Pusat Studi Kajian Papua UKI, Dr Antie
Solaiman hadir di aula utama kampus Universitas Kristen Indonesia. Ada acara
diskusi dan peluncuran buku, Konflik Nduga: Tragedi Kemanusiaan
Papua karya Markus Haluk, sahabat baik, aktivis lulusan Sekolah Tinggi
Teologi Fajar Timur, Papua.
Sekembali
rumah, kabar tak sedap itu hadir. Paulus Arswendo Atmowiloto berpulang. Mas
Wendo menutup mata pada pukul 17.30 WIB di Jakarta. Saat ini, jenazah mas Wendo
disemayamkan di rumah duka, Komplek Kompas B-2, Jalan Damai, Petukangan
Selatan, Jakarta Selatan.
Misa Requiem
sekaligus pelepasan jenazah akan dilaksanakan di Gereja Santo Matius Penginjil,
Bintaro, Pondok Aren, Jakarta Selatan, pada Sabtu, 20 Juli 2019, pukul 10.00.
Usai Misa, jenazah akan dibawa ke tempat peristirahatan terakhir di Sandiego
Hill, Karawang. Mas Wendo menikah dengan Agnes Sri Hartini dan dikaruniai tiga
anak: Albertus Wibisono, Pramudha Wardhana, dan Caecilia Tiara.
Selamat jalan,
mas. Terima kasih untuk pengalaman dan pengabdianmu selama ini. Karya-karyamu
terutama di bidang sastra adalah warisan mahal bagi Indonesia. Selamat jalan,
mas Paulus. Selamat jalan, mas Wendo. Damailah di sisi Tuhan, Sang Sabda.
Jakarta, 20 Juli 2019
Ansel Deri
Ket foto: Mas
Wendo dan film Keluarga Cemara dari novel Arswendo Atmowiloto.
Sumber foto: viva.co.id &
kompasiana.com
kompasiana.com
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!