Headlines News :
Home » » Moralitas Pemimpin dalam Perspektif Sutasoma

Moralitas Pemimpin dalam Perspektif Sutasoma

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, July 31, 2019 | 8:39 PM

Oleh Thomas Koten
Direktur Social Development Center

PEMIMPIN sejati yang memiliki integritas dan moralitas, sebagaimana tertulis dalam buku Sutasoma ialah pemimpin yang tercerahkan dan tercerdaskan lewat pergulatan hidupnya yang penuh tantangan dan ujian. Dengan kecerdasan dan ketercerahan yang dimilikinya, sang pemimpin dapat mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan rakyatnya.

Sosok dan identifikasi pemimpin ala Sutasoma, tidak bisa dinilai dari penampilan citra lahiriah yang gagah perkasa, tetapi dari kesederhanaannya yang memancarkan aura kebesaran dan keagungan jiwa, keluhuran budi dan ketulusan hati, serta kebijakannya yang memesona sebagai ekspresi dari rasa cintanya kepada rakyat.

Kepemimpinan dengan identifikasi ala Sutasoma tersebut merupakan proses tumbuhnya moralitas dan rajutan etika yang bisa mewujud dalam sikap dan tindakannya dalam memimpin rakyat karena keberhasilannya dalam memimpin rakyat merupakan wujud tanggung jawab moral dan cermin integritas yang membentuk kewibawaannya.

Manajemen humanistis

Pemimpin dengan moralitas tinggi menurut Sutasoma, cenderung ditandai kemunculannya dari tengah rakyat, yang biasa berjuang bersama rakyat sehingga dia mengenal betul keadaan rakyat. Dia mengetahui masalah-masalah rakyat sehingga dengan itu ia merasa terpanggil untuk menyelesaikan masalah-masalah rakyat.

Memang, moralitas seorang pemimpin, hakikatnya tumbuh dari pergulatannya yang jujur dan bertanggung jawab bersama rakyat. Karena dari jeritan dan kesulitan rakyat yang didengar dan yang diketahuinya itulah, yang membentuk kepribadian bermoral dalam diri sang pemimpin.

Pemimpin yang hebat tidak bisa ibarat tinggal di menara gading yang jauh dan terasing dari keberadaan rakyat. Pemimpin yang tinggal di menara gading akan melahirkan sindrom dalam dirinya yang membuatnya ingin selalu dihormati dan ditaati perintah-perintahnya. Maka, lahirlah sikap dominatif dan menindas.

Padahal, karakter kepemimpinan yang dibutuhkan dalam sepanjang sejarah kepemimpinan negara mana pun di dunia ialah pemimpin yang berkarakter dan berwatak humanistik dengan kadar dan integritas moral yang mumpuni.

Kenapa? Jawabannya, sebagaimana kata Erich Fromm, pemimpin yang berwatak humanistik akan dengan mudah membangun manajemen kepemimpinan yang humanistik (humanistic management), sebuah bentuk manajemen yang tidak mengasingkan rakyat dari kekuasaan.

Rakyat dengan keanekaragaman dirangkul dan dipimpin tanpa membedakannya dari sisi suku, agama, ras dan golongan.

Manajemen humanistik akan menjalankan perintah atau saran-saran yang bukan dari atas ke bawah dengan gaya komando, melainkan selalu dikompromikan dengan mendengar dan meminta masukan dari bawah. Rakyat diposisikan sebagai subjek dari setiap program kerja.

Dengan itu, segala potensi rakyat ditumbuh kembangkan. Kreativitas rakyat dibangkitkan dan dieksplorasi secara maksimal. Bukankah kesejahteraan rakyat akan tercipta dan akan terus ditingkatkan tatkala rakyat telah sanggup menumbuhkembangkan potensi dan daya kreativitasnya?

Selain itu, dengan sosok dan wajah kekuasaan yang dikendalikan sang pemimpin seperti itu, akan melahirkan pemerintahan antara pemerintah dan rakyat selalu tumbuh dan tersemai spirit saling percaya, saling menghormati, dan saling mendukung.

Dengan demikian, sang pemimpin akan semakin dihormati dan dicintai rakyat. Rasa hormat dan cinta itu bukan saja terjadi pada saat masih menjadi pemimpin, melainkan juga setelah tidak menjadi pemimpin lagi. Sosok kepemimpinannya pun akan tetap dirindukan rakyat.

Pemimpin masa depan

Berkaca dari uraian di atas, dapat dikatakan bahwa pemimpin yang dibutuhkan Indonesia, yaitu pemimpin yang dekat dengan rakyat, yang senantiasa memancarkan karakter dan kepribadian, serta kepemimpinan yang mencerdaskan dan mencerahkan masyarakat.

Ialah pemimpin dengan identifikasi ala Sutasoma, yang tahu akan segala permasalahan yang dihadapi rakyat, yang tahu denyut kehidupan rakyat, yang tahu dan dengar tentang jeritan-jeritan rakyat. Karena dengan itu, dia dapat memberikan pencerdasan dan pencerahan kepada rakyat sehingga rakyat pun dapat mengetahui jalan keluar atau solusi dari masalah-masalah yang dihadapinya.

Presiden Joko Widodo terlihat jelas masuk dalam identifikasi kepemimpinan sebagaimana yang digambarkan Sutasoma dalam buku klasik tersebut.

Jokowi yang selalu tampak sederhana, memiliki integritas dan moralitas yang mumpuni, yang kekuatannya terbentuk oleh ujian berupa cacian, cemoohan, dan berita-berita hoaks, serta bukan sosok yang gagah perkasa secara fisik.

Dia juga lahir dan berasal dari rakyat biasa, dari tukang mebel, yang kemudian dalam kepemimpinannya pun begitu dekat dengan rakyat dengan program-program kerjanya pun begitu nyata sehingga identifikasi ala Sutasoma pun menjadi tak terbantahkan.

Dan tak dapat dimungkiri bahwa rakyat merasakan sosok kepemimpinan Jokowi seperti yang digambarkan Sutasoma, suatu idealitas kepemimpinan masa kini sehingga berani memilihnya lagi untuk periode kedua.

Dengan demikian, sebelum pemilu lalu rakyat begitu terkooptasi dan/atau sudah terkotak-kotak dalam aneka kepentingan politik dan nonpolitik, tetapi mayoritas rakyat tak terpengaruh dan tetap konsisten memilih Jokowi untuk memimpin negeri ini lagi. 

Psikologi rakyat seperti itu memang merupakan sesuatu yang layak disyukuri, mengingat secara rasional psikologis apabila rakyat sudah terkontaminasi aneka kepentingan, hal itu dapat membuat mereka tidak sanggup lagi untuk memilih pemimpin secara cerdas dengan pertimbangan yang jernih-jenial dan rasional.

Kenapa? Karena kecerdasan dan kecerahan politik rakyat sudah dibodohi dan dibutakan kepentingan-kepentingan tersebut.

Kini kita pantas bersyukur bahwa rakyat telah kembali memeteraikan kepercayaannya kepada Jokowi untuk memimpin Indonesia 5 tahun ke depan.

Karena itu, kita berharap agar Presiden Jokowi terus meningkatkan integritas dan moralitas untuk memimpin bangsa ini supaya lebih bermartabat dan terhormat di mata dunia dengan tidak salah memilih menterinya di tengah gencarnya arus pemberitaan seputar pembagian kue legit kekuasaan Kabinet Kerja Jilid 2 dalam selubung rekonsiliasi. 
Sumber: Media Indonesia, 31 Juli 2019
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger