Oleh Frano Kleden
Alumnus STFK Ledalero
INDONESIA
kini berusia 74 tahun. Di usianya yang tak lagi muda ini, kita sebagai bangsa Indonesia pantas bersyukur dan berterima kasih atas segala kerja keras dan
usaha kita dalam membangun Indonesia. Suka dan duka bangsa sudah dialami dari
tahun ke tahun, dari generasi ke generasi. Namun proses menjadi bangsa atau
mem-bangsa (a nation in being) masih
panjang. Perjalanan tersebut tentunya merupakan sebuah perjalanan yang tak
kunjung selesai (a never ending journey)
karena proses menjadi bangsa yang bersatu, bermartabat dan kuat ialah suatu
proses dialogis yang harus terus-menerus berlangsung baik dalam lintas suku,
agama maupun generasi.
Pada momen
ini, Indonesia sebagai satu bangsa yang berbahagia patut merefleksikan
pengalaman-pengalaman yang sudah dan hendak mencederai makna 'meng-Indonesia'.
Narasi-narasi benci berbalut politik identitas menyebar bak virus di setiap
lini, tindak teror dan intimidasi bermunculan, kelompok-kelompok radikal yang
bangkit memanipulasi dan menggiring publik menuju pecahnya persatuan dan rasa
berbangsa yang memiliki dasar kuat pada Pancasila.
Kita, dengan
itu, dihadapkan pada tantangan-tantangan terhadap dasar negara Pancasila.
Pancasila ditantang dan diuji oleh beberapa kelompok yang militan dan cukup
konsisten untuk mengguncang dasar negara dan bangsa kita. Kepala negara Jokowi,
misalnya mengambil langkah membubarkan ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang
disinyalir semakin melebarkan agenda-agenda politiknya. Ia berani, tegas dan
tidak kompromi dengan kelompok-kelompok masyarakat yang tidak mengakui
Pancasila.
Rentetan
peristiwa anti-Pancasila yang mencuat memacu Pancasila mau tidak mau harus
digemakan kembali. Ormas-ormas radikal yang tidak mau mengakui Pancasila
sebagai alat pemersatu bangsa perlu ditolak. Pancasila harus dibumikan agar
melekat dalam sanubari dan perhatian bersama masyarakat Indonesia. Karena
Pancasila ialah dasar hidup berbangsa, bermasyarakat serta bernegara, ia
menuntut sikap hidup baik bersama maupun pribadi.
Pancasila itu
prestasi
Pancasila
ialah salah satu pencapaian peradaban, buah tekad yang menyatukan manusia
Indonesia sebagai satu bangsa dan satu negara. Ia dengan demikian menjadi hasil
refleksi kritis rasional tentang dasar negara dan kenyataan budaya bangsa.
Pancasila membuktikan diri saat mendapat bentuk akhir dalam UUD kita pada 18
Agustus 1945. Pada tanggal itu, para wakil Islam –85% rakyat Indonesia –
bersedia menerima bahwa tujuh kata “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam
bagi pemeluk-pemeluknya” hasil perundingan dalam Panitia Sembilan dicabut.
Dengan
kesediaan menerima Pancasila tanpa acuan pada agama mayoritas, para wakil
bangsa menyepakati bahwa Indonesia ialah milik semua, tanpa membedakan antara
mayoritas dan minoritas. Sumpah Pemuda dapat menjadi kenyataan karena dengan
Pancasila, semua satuan etnik, kultural dan religius bangsa Indonesia merasa
sama-sama memiliki Indonesia (Suseno, 2018). Pancasila dengan demikian tidak
hanya menjadi dokumen kunci bangsa Indonesia saja, tetapi ia ialah sungguh
sebuah prestasi yang dicapai dalam sejarah bangsa Indonesia. Ia mempersatukan
masyarakat Indonesia yang majemuk dan menjadi penyambung antargenerasi.
Ketika
semangat Pancasila mulai melemah, ikatan antarmanusia Indonesia pun menjadi
lemah. Hal ini yang membuat para pengamat luar negeri tidak pernah memasukkan
Indonesia dalam kelompok negara kuat, tetapi negara yang punya kecenderungan
untuk menjadi negara gagal (failing
states). Di mata mereka, Indonesia ialah negara yang sangat rapuh,
seakan-akan kehancuran Indonesia tinggal menunggu waktu dan kondisi yang tepat.
Indonesia masuk dalam kelompok negara lemah karena tidak bisa melayani
kebutuhan warganya dengan cara yang memuaskan dalam semua bidang, misalnya
ekonomi, keamanan, pendidikan, kesejahteraan, dan layanan kesejahteraan rakyat
lainnya (Laksana, 2018).
Jika ditelisik
lebih jauh, sebetulnya ada banyak sebab sebuah negara lemah menjadi negara
gagal (failed) atau bahkan hancur (collapsed), antara lain konflik
horizontal yang parah dan lumpuhnya lembaga-lembaga negara. Kalau sampai sekarang
Indonesia tidak pernah sungguh-sungguh menjadi negara gagal, ini terjadi bukan
hanya karena peran pemerintah, tetapi juga karena sikap warga negara sendiri,
yang ternyata memiliki ikatan yang cukup kuat satu sama lain dan loyal terhadap
prinsip-prinsip hidup berbangsa yang mereka yakini. Indonesia yang empunya
Pancasila telah berprestasi merajut dan merawat ke-Indonesiaan. Ia menjamin
masa depan Indonesia yang lebih baik daripada semua bentuk kenegaraan yang bisa
menggantikannya.
Gigi Pancasila
di tengah kemerdekaan
Merayakan 74
tahun usia kemerdekaan menyiratkan sebuah tanggung jawab imperatif:
merefleksikan perjalanan bangsa Indonesia pada tahun-tahun silam. Indonesia
yang lalu yang hadir dengan rupa-rupa ketidakadilan sosial, fenomena kekerasan
atas nama agama, ketidakmerataan pembangunan, ketidakseimbangan akses terhadap
aset-aset ekonomi, gerakan kaum fundamentalis dan terorisme, dehumanisasi
rakyat, penelantaran TKI, gerakan disintegratif, ketimpangan politik, kerusakan
ekologi perlu ditelaah kembali. Semua fenomena ini terjadi karena Pancasila
sebagai payung pelindung masyarakat tampak berkurang signifikansinya.
Pancasila
ialah kita. Kalimat ini bukan saja dibaca sebagai sebuah semboyan yang bagus,
melainkan suatu komitmen yang kuat. Bahwasanya gigi-gigi Pancasila harus lebih
kuat melawan gigi-gigi mereka yang ingin mengubah Republik kita menjadi negara
lain. Pancasila harus diposisikan di depan saat Indonesia semakin dilanda
semangat pragmatisme yang menggerus nilai-nilai yang menjadi dasar dan muatan
hidup berbangsa dan bernegara. Di saat politik menggeser nilai-nilai luhur yang
ada dalam cita-cita luhur bangsa dan negara yang didirikan dengan berasaskan
Pancasila dan UUD 45, Pancasila menjadi nilai pokok yang penting untuk
dipromosikan kembali.
Di usia
Indonesia yang baru, ketergerusan pengamalan Pancasila terbukti menebarkan
ancaman bagi disintegrasi bangsa. Menolak disintegrasi berarti sepakat
mengembalikan Pancasila menjadi milik kita sepenuhnya. Pancasila yang diamalkan
dengan benar akan menjadi daya kritik dan suar penyuluh terhadap demokrasi dan
pengejawantahannya dalam ruang publik.
Membumikan dan menghidupi Pancasila berarti merevitalisasi mentalitas,
cara berpikir (mindset) dan tindakan
(action) kita seturut nilai-nilai
Pancasila.
Pendidikan
Pancasila terutama bagi generasi muda perlu dipikirkan secara serius. Pancasila
tidak cukup bila hanya berhenti pada wacana abstrak, sekadar hafalan atau
aktivitas pengajaran di ruang kelas. Pendidikan bersifat lebih luas dari
pengajaran. Ia memuat unsur pembudayaan, implementasi, internalisasi dan
konkretisasi nilai-nilai Pancasila. Institusi pendidikan menyiapkan lahan yang
subur untuk menyebarkan benih-benih Pancasila (Toding dan Prabowo, 2018).
Sejak dini,
budaya perjumpaan dan dialog (the culture
of encounter and dialogue) yang bermuara pada penerimaan akan keberagaman,
sikap inklusif dan nasionalis perlu juga dibangun. Pendidikan Pancasila dapat
diwujudkan secara interaktif, bukan indoktrinasi, dengan memberi kebebasan
sekaligus pendampingan pada orang muda untuk menanggapi isu keindonesiaan
secara kritis. Dalam konteks hukum kenegaraan, Pancasila sebagai dasar negara,
pandangan hidup dan paradigma ilmu juga harus berani meninjau dan mengoreksi
undang-undang yang bertentangan dengan Pancasila.
Hanya dengan
demikianlah Pancasila mampu mengunjukkan giginya: membentuk manusia-manusia
yang bersatu, adil dan beradab. Kita bersatu bukan karena yang banyak
mendominasi yang sedikit atau yang kuat mendominasi yang lemah melainkan karena
satu Pancasila benar-benar menjiwai hidup seluruh kita. Di usia yang ke-74 ini,
Pancasila harus bisa menjadi suatu filsafat yang indah dengan gigi-gigi yang
masih tajam dan berguna: menjamin masyarakat Indonesia yang majemuk dapat hidup
bersama secara positif, kondusif dan bermartabat.
Sumber: Media Indonesia, 21
Agustus 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!