LEWOKUMA. Tahun
1987-1990 setiap akhir pekan, saya jalan kaki sejauh 24 kilo meter rute Kluang
(Boto), kampungku menuju Lewoleba, kota Kabupaten Lembata, Nusa Tenggara Timur.
Kurun waktu itu, 87-90, saya sempat masuk sekolah di SPG Kemasyarakatan Lewoleba
tapi menamatkan sekolah di SMA Kawula Karya Lewoleba.
Ini rute langganan
kalau saya dan rekan-rekan penghuni kos mengambil jalur lain:
Lewoleba-Uruor-Liwulagang-Boto, meski rute ini menantang dengan mendaki atau
menurun bukit di tengah kepungan padang atau hutan. Salah seorang rekan
penghuni kos Emanuel Kia Belan Tokan (Kian Okan). Eman Tokan baru saja dilantik
jadi Kapolsek Adonara, Kabulaten Flores Timur.
Menempuh rute
Boto-Lewoleba kami akan menyinggahi beberapa kampung atau desa. Selepas Boto,
masuk kampung Lamalewar (kini Desa Ile Boli), Bata (Desa Ile Boli. Belakangan
Bolibean setelah mekar) di Kecamatan Nagawutun, kampung Belang (Desa Watokobu),
Kecamatan Lebatukan (kini Kecamatan Nubatukan).
Dari Bata bisa
mendaki bukit melewati Puo (Desa Ile Boli, kalau tak salah) sebelum turun
Belang. Dari Bata sebelum Belang, di bagian kiri kami akan melihat samar-samar
satu dua rumah tua di "kampung" bernama Lewokuma, kampung yang
belakangan masuk wilayah Nubatukan.
Lewokuma berada di
antara himpitan padang dan hutan. Salah satu dusun di Desa Bour, Kecamatan
Nubatukan. Kampung Lewokuma masuk dusun 1 Desa Bour. Dihuni lima kepala
keluarga dengan lima rumah plus satu rumah adat marga Wolor, marga Maxi,
penulis memoar ini.
Kala itu kampung
tua ini tak ada dalam bayangan saya. Terlalu ndeso, bisa juga.
Bersejarah, ya? Lewokuma atau dalam sebutan kampung kami: Lef Kumas. Lef Kumas,
Kapes Or, Adum, Klebo, Bau Tafa Meran, dan beberapa lokasi asal usul dan tempat
nenek moyang kami bertani dan berburuh binatang hutan.
Cerita tutur
beberapa tua adat di kampung menyebut, leluhur dan nenek moyang kami berasal
dari Lewokuma, Lef Kumas (kisah ini mungkin debatable). Kabarnya, sebagian
nenek moyang dari keturunan kami orang Kluang, berasal dari Lewokuma atau Lef
Kumas. Leluhur kami ke Boto untuk membantu orang Boto dalam perang melawan
orang Painara, seteru orang Boto dalam perang. Entahlah.
Peperangan yang
berakhir kemenangan itu akhirnya dihargai orang kampung Boto. Leluhur kami dari
Lef Kumas kabarnya dimotori tiga anak muda gagah yang bertindak sebagai
panglima perang membantu orang Boto.
Mereka adalah
Useng, Bako Lakar, dan Narek. Sebagai hadiah orang Boto kepada ketiga leluhur
kami, maka mereka boleh menempati areal Boto bagian tengah menghadap matahari
terbit.
Lewokuma atau Lef
Kumas kala itu tak ada dalam bayangan. Seperti apa wajah "kampung"
kecil itu. Selama menuntut ilmu di Lewoleba pun tak pernah terbayang berapa
banyak penghuni, bagaimana bahasa seharian yang digunakan orang Lewokuma.
Sebagai anak kampung, saya hanya ingat Belang, Bata, Puo, dan Lamalewar.
Kampung-kampung ini menjadi area peesinggahan sementara melepas lelah.
Maxi Wolor adalah
salah orang udik dari kampung Lewokuma. Tak pernah bersua langsung selama
bahkan sampai merampungkan sekolah di Kupang. Namanya hanya saya baca di Harian
Pos Kupang dan Harian Surya di Surabaya. Apakah Maxi Wolor seorang wartawan
dari kampung ini, saat itu juga gelap di mata saya yang mulai
"gara-gara" jadi penulis lepas Dian, surat kabar mingguan milik SVD Flores
berbasis di Ende.
Saat itu, beberapa
nama wartawan & kontributor asal Lembata, terutama wartawan-wartawan dari
pulau ini sudah familiar. Ada Alex Beding SVD, Bosko Beding SVD, John Lake, B
Micahel Beding, Melkhior Koli Baran, Vianey Burin, Karel Burin, Bosko
Blikololong, Benidau, Hilarius Laba Blikololong, Musa Lebao, Philipus Peten,
dan lain-lain. Begitu juga beberapa nama wartawan asal Lembata yang ada di luar
seperti Marcel Beding, Alo Liliweri, termasuk Maxi Wolor.
Maxi baru saya
kenal setelah berkomunikasi via medsos. Ia ternyata lama menghabiskan waktu
sebagai wartawan di Sulawesi Selatan. Ia setahu saya seorang wartawan senior
hebat, setelah belakangan tahu sepak terjangnya sebagai pekerja media.
Ia wartawan sarat
pengalaman setelah malang melintang menjelajahi sejumlah kota besar di
Indonesia. Ia banyak pula terjun dalam tugas jurnalistik di sejumlah daerah
konflik. Lama mengabdi di jalur media, ia pun tak lupa Lewokuma, kampung
leluhurnya.
Beberapa waktu
lalu, ia menulis buku, Leluhur & Tanah Ulayat Suku Lamawolor di
Lewokuma-Lembata. Buku berisi sejarah tanah ulayat dan suku itu ia kirim dari
Makassar, kota di mana ia resmi bebas sebagai kuli tinta sebelum pulang
kampung. Ia masuk bursa caleg 2014 dan meraih suara urutan kedua. Kini, Maxi
menjadi anghota DPRD PAW menggantikan Bediona Philipus.
Melalui penerbit
miliknya, De La Macca, Maxi mengulas sejarah tanah leluhurnya dan orang-orang
terkasih di Lewokuma, kampung yang sebagian sudah bergeser dan menetap di Bour,
di bibir pantai antara Lewoleba ke Loang, kota Kecamagan Nagawutun.
Pagi ini, saya
mendapat kabar Maxi meluncurkan buku memoar perjalanan jurnalistik, Nyawa Terancam di Jalan Lurus. Buku
ini merupakan memoar perjalanan Maxi sebagai wartawan. Bagi saya, buku karya
senior ini adalah capaian membanggakan seorang jurnalis. Dua buku itu tentu
juga bisa menambah referensi bagi anak-anak terutama dari kampung halaman.
Cerita gerakan
literasi Lembata tentu juga tak lepas dari bagaimana setiap orang yang
berkehendak baik menghasilkan karya-karya terbaikya dalam bentuk buku. Hemat
saya, senior Maxi Wolor sudah memulainya.
Pagi ini, buku
memoar Maxi dibedah Stef Tupeng Witin, pastor yang juga wartawan kelahiran
Ataili, Wulandoni. Selamat tuk ama Maxi, wartawan kampung dari Lef Kumas,
Lewokuma. Foto terakhir, Maxi bersama Sr Nicodema, Kepala SD Don Bosco Lewoleba
di sela-sela bedah buku di Hotel Palm Lewoleba.
Jakarta, 27 Agustus 2019
Ansel Deri
orang udik asal kampung Kluang (Boto), Lembata
Kef toto: dok. Fb Maxi
Wolor & Fransiska Sabu Wolor
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!