Oleh Ulil Abshar Abdalla
Pengajar di Universitas Nahdlatul Ulama
Indonesia, Jakarta
JUDUL di atas saya ambil dari sebuah artikel dalam Journal
of Democracy edisi Juli 2019.
Artikel ditulis
oleh Milan Svolik, ahli ilmu politik, dosen di Yale University. Ia dikenal
melalui studinya yang "keren" tentang bagaimana kemunculan kekuasaan
yang otoriter serta tipe-tipenya ("The Politics of Authoritarian
Rule", Cambridge, 2012). Artikel yang ditulis oleh Svolik di atas langsung
menarik perhatian saya karena apa yang ia tulis sedikit-banyak
"nyambung" dengan keadaan di Indonesia saat ini.
Tesis Svolik
sederhana saja: sekarang telah terjadi "democracy breakdown",
merosotnya demokrasi di berbagai negara, dan ini diakibatkan antara lain oleh
polarisasi politik yang tajam dalam masyarakat. Jika dihadapkan kepada dua
pilihan antara demokrasi di satu pihak dan "kepentingan politik" di
pihak lain, biasanya publik yang sudah mengalami polarisasi akan lebih
mendahulukan kepentingan politik mereka ketimbang membela nilai-nilai
demokrasi.
Dalam situasi yang
normal, tanpa ada dilema harus memilih antara demokrasi dan kepentingan
politik, publik biasanya akan cenderung mengatakan bahwa mereka mendukung
demokrasi. Namun, dalam keadaan yang mendesak dan dilematis, mereka akan tak
segan-segan mengorbankan demokrasi demi mendukung kepentingan politik mereka.
Dahulu, ancaman
demokrasi umumnya datang dari kudeta militer. Di era pasca-Perang Dingin,
ancaman justru datang dari arah lain, yaitu polarisasi dalam masyarakat yang
begitu mendalam, di mana "political cleavages", pembelahan politik
dalam masyarakat, begitu akut sehingga sulit dijembatani.
Dalam situasi
seperti ini, publik yang semula —dalam keadaan normal— mendukung demokrasi tak
segan-segan memilih kepentingan politik yang diperjuangkan oleh kandidat dan
tokoh politik mereka ketimbang membela nilai-nilai demokrasi yang cenderung
"netral" dan "abstrak" itu. Demikian secara singkat tesis
yang dikemukakan oleh Svolik.
Artikel Svolik ini
pantas kita renungkan, terutama jika kita percaya bahwa demokrasi adalah
benar-benar "the only game in town", satu-satunya sistem yang kita
anggap relatif paling pas untuk keadaan sekarang, dengan segala kekurangan dan
cacat-cacatnya; atau dengan bahasa fikih, jika kita percaya bahwa demokrasi
adalah "akhaffud dararain", sistem yang mengandung kelemahan paling
sedikit dibandingkan dengan sistem-sistem lain, termasuk dan terutama sistem
khilafah.
Burung-burung
merpati terbang di depan poster besar bergambar Presiden Turki Recep Tayyip
Erdogan di Bursa, Turki, Sabtu (6/4/2019). Kekalahan Partai Keadilan dan
Pembangunan (AKP) di kota-kota besar pada pemilu lokal, 31 Maret lalu,
merupakan lampu kuning bagi masa depan AKP dan Erdogan.Pemicu kemunduran
demokrasi
Artikel Svolik ini
mengungkap banyak hal menarik. Pertama, setelah berlalunya era Perang Dingin,
sebagian besar democracy breakdown terjadi bukan melalui kudeta militer,
melainkan apa yang dia sebut sebagai executive take-over, kudeta sistem yang
dilakukan justru oleh presiden atau kepala pemerintahan yang sedang berkuasa.
Dengan kata lain, kudeta oleh petahana.
Dia mengemukakan
data yang menarik: dari 197 kasus terjadinya kemunduran demokrasi periode
1973-2018, terdapat 88 kasus yang disebabkan oleh executive take-over itu.
Salah satu kasus yang menarik dan masih dekat dengan kita saat ini adalah
Turki. Setelah berhasil berkuasa melalui proses yang demokratis dan bertahan
dalam kekuasaan selama lebih dari satu dekade, PM dan kemudian Presiden Recep
Tayyip Erdogan pelan-pelan melakukan "kudeta sistem" dari "dalam"
dengan mengadopsi kebijakan yang justru berlawanan dengan demokrasi.
Watak Erdogan yang
kian otoriter makin tampak akhir-akhir ini, terutama kebijakannya yang amat
brutal dalam menghadapi lawan-lawan politiknya. Lawan politik yang menjadi
korban kebijakan Erdogan saat ini tentu saja adalah kelompok Fethullah Gulen.
Kedua, kenapa
publik mau memilih petahana yang sudah jelas-jelas memiliki tendensi
antidemokrasi? Di sini Svolik membawakan suatu tesis yang menarik. Kemunduran
demokrasi dalam era media sosial bisa terjadi bukan karena "kudeta dari
atas", melainkan karena ada "gerak dari bawah" berupa dukungan
dari publik. Karena "kepincut" oleh janji-janji politik pemimpin
populis, publik tak segan-segan memilihnya walau ia terang-terang memiliki kecenderungan
antidemokrasi. Kita bisa menyebut ini sebagai semacam "kudeta dari
bawah".
Kasus terpilihnya
Presiden Donald Trump di Amerika Serikat adalah contoh terbaru yang masih
segar. Sudah tentu Trump terpilih melalui prosedur yang demokratis, melalui
pemilu terbuka.
Namun, setelah terpilih,
Trump mulai menunjukkan tendensinya yang antidemokrasi. Para pendukung Trump
yang fanatik tetap memberikan sokongan meski Trump melakukan tindakan-tindakan
yang melawan keadaban politik.
Kasus terakhir
adalah twit Trump yang dengan brutal mem-bully Elijah Cummings, seorang anggota
DPR dari sebuah distrik di Maryland. Trump naik ke puncak kekuasaan tentu bukan
karena ia melakukan kudeta militer, melainkan melalui cara lain: menunggangi
polarisasi politik masyarakat Amerika. Bukan hanya itu. Ia kemudian memperdalam
dan mengambil keuntungan dari polarisasi itu untuk memenangi pertarungan
politik.
Di Indonesia, kita
mengalami kondisi yang nyaris serupa: kita menyaksikan polarisasi politik yang
tajam antardua kubu: "cebong" dan "kampret". Dalam
polarisasi semacam ini, posisi tengah yang sedikit agak netral bisa diserang
oleh kedua belah pihak yang sedang berseteru.
Dalam situasi
semacam ini, setiap pihak bisa mendukung secara militan platform atau kebijakan
politik kandidat yang ia pilih, karena platform itu menguntungkan kepentingan
kelas mereka, walau dilihat dari segi lain kebijakan itu bisa saja mengandung
ancaman atas demokrasi.
Salah satu tesis
Svolik yang menarik dalam artikel itu ialah dalam situasi yang polaristik ini,
seorang pemilih yang telah mendukung kubu politik tertentu dengan fanatik,
lebih siap untuk mengorbankan nilai-nilai demokrasi demi membela kepentingan
politik mereka sendiri ketimbang pemilih lain yang netral, tidak menjadi bagian
dari kubu ini atau itu.
Salah satu
kelemahan artikel Svolik itu: tidak menyebut secara jelas kenapa terjadi
polarisasi yang tajam dalam perkembangan demokrasi sekarang. Menurut saya,
salah satu penyumbang terbesar dalam polarisasi ini adalah media sosial.
Ancaman dari dalam
Pelajaran penting
dari artikel Svolik adalah ancaman terbesar atas demokrasi saat ini bukan
datang dari kudeta militer, melainkan justru dari "dalam" demokrasi
itu sendiri, yaitu pertentangan dan polarisasi yang tajam di masyarakat.
Seorang ilmuwan politik
senior Seymour Martin Lipset sebetulnya telah mengingatkan hal ini sejak lama
dalam bukunya yang telah klasik, Political Man (1959): "Inherent in all
democratic systems is the constant threat that the group conflicts which are
democracy's lifeblood may solidify to the point where they threaten to
disintegrate society".
Dalam setiap sistem
demokrasi, selalu ada ancaman inheren, yaitu konflik antargolongan dalam
masyarakat. Dalam kadar yang normal, konflik ini menjadi "lifeblood",
darah yang menghidupi demokrasi agar segar-bugar. Akan tetapi, jika konflik ini
"dipelintir" secara masif melalui percakapan media sosial atau
platform lain yang penuh dengan kebencian dan caci-maki, ia bisa berubah
menjadi ancaman disintegrasi.
Sumber: Kompas, 6 Agustus 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!