Pengajar Filsafat di Unika Atma Jaya,
Jakarta
DI salah satu ruang kelas di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara
Jakarta, Juli 1991. Mahasiswa yang umumnya ialah calon pastor Katolik itu sudah
memenuhi ruang tak berpendingin beberapa menit sebelum kuliah dimulai. Adalah
Franz Magnis-Suseno, SJ, filsuf, dan rohaniwan Yesuit yang akan membawakan
kuliah filsafat sosial yang di dalamnya didiskusikan pemikiran-pemikiran Karl
Marx.
Para mahasiswa yang
hampir 100% laki-laki itu umumnya baru menyelesaikan tahun rohani satu atau dua
tahun sebelumnya. Tahun rohani mengawali tahun pembinaan calon pastor Katolik
di Seminari Tinggi. Selama tahun rohani mereka membangun dimensi
spiritual-religius dengan memberi ruang yang luas bagi pengenalan diri,
pengenalan serikat religius, kehidupan pastoral, dan yang terpenting ialah
membangun relasi personal yang mendalam dengan Tuhan. Kini, di hadapan mereka,
tampil seorang pastor Katolik mengajarkan pemikiran Karl Marx. Apakah filsuf
asal Jerman ini akan mengubah anak-anak muda ini menjadi ateis?
Romo Magnis --begitu
dia sehari-hari disapa-- mengatakan secara eksplisit, ‘mempelajari sesuatu tidak
sama dengan menganutnya’. Itu juga pernah ditegaskan George Santayana, seorang
filsuf Amerika-Spanyol, ‘Pengetahuan yang mendalam membawa seseorang kepada
iman’.
Marxisme dan
analisis sosial
Maka itu, ketika
sekelompok anak muda merazia buku-buku karangan Romo Magnis karena dianggap
menyebarkan Marxisme-Komunisme, para murid dan pembaca karya-karyanya akan
tertawa. Tepatlah kiranya penegasan Romo Magnis bahwa merazia buku-buku
karyanya itu ialah 'tanda kebodohan' dan kita tidak pernah tahu kapan tindakan
bodoh itu akan berakhir di Republik ini.
Sebagaimana yang
juga ditulis dalam buku yang dirazia itu, pemikiran Karl Marx sebagai 'pisau'
analisis sosial harus dimengerti lewat kritik agama yang diajukan Ludwig
Feuerbach dalam karyanya berjudul Das Wesen des Christentums (Esensi Ajaran
Kristiani).
Feuerbach ialah
seorang pengikut Hegel yang 'memberontak' terhadap pemikiran gurunya. Hegel
melihat seluruh peradaban, prestasi, dan pencapaian manusia dalam sejarah bukan
sebagai ekspresi keagungan manusia, melainkan sebagai pemenuhan Roh Absolut,
yakni Tuhan sendiri. Bagi Hegel, manusia hanyalah alat atau semacam wayang di
tangan dalang. Maka dari itu, yang nyata ialah Tuhan, bukan manusia.
Ludwig Feuerbach
menolak tegas pemikiran ini. Bagi dia, Allah dan roh ialah buah pikiran
manusia. Manusia mampu menciptakan realitas yang melampaui dirinya dan
memproyeksikannya sebagai hakikat Allah. Bagi Feuerbach, seluruh entitas Allah
(maha suci, pengampun, penuh cinta, dan seterusnya) tidak lebih dari proyeksi
kesejatian dirinya sendiri. Manusialah yang sejatinya mahacinta, maha
pengampun, suci, dan pantas diagungkan. Gagasan 'agama sebagai proyeksi' begitu
melekat dalam diri setiap mahasiswa yang diajarkan Pater Magnis.
Lewat cara
pengajaran yang sederhana dan sistematis, Romo Magnis mengisahkan bagaimana
Karl Marx mengalami semacam penerangan pikiran seusai membaca karya Feuerbach.
Seperti yang bisa kita baca di buku Pemikiran Karl Marx karya Pater Magnis,
Karl Marx merayakan karya Feuerbach sebagai 'sungai api', aliran api yang
membakar pikirannya dan yang membuatnya memahami realitas sosial secara baru
(Franz Magnis-Suseno, Pemikiran Karl Marx, 2016: 67 dst). Karl Marx setuju pada
Ludwig Feuerbach bahwa agama justru menegaskan dimensi antropologis manusia.
Yang nyata ialah manusia, bukan Tuhan.
Akan tetapi, Karl
Marx menganggap Ludwig Feuerbach sebagai filsafat yang 'gagal' karena belum
berhasil menyingkapkan penyebab mengapa manusia memproyeksikan kemampuan
dirinya pada Tuhan dan melarikan diri ke dalamnya. Karl Marx menunjukkan secara
berhasil bahwa situasi sosial dan struktur yang tidak adillah yang membuat
manusia melarikan diri ke dalam agama. 'Agama hanyalah sebuah pelarian karena
realitas memaksa manusia untuk melarikan diri’.
Buruh dan massa
tidak memiliki modal dan daya tawar di hadapan kekuasaan kapitalisme. Struktur
ekonomi memaksa mereka bertahan hidup dengan menyerahkan satu-satunya milik
mereka kepada industri, yakni tenaganya sendiri untuk dieksploitasi. Kerja yang
seharusnya menjadi momen perealisasian diri, justru mengasingkan.
Agama lalu menjadi
tempat manusia melarikan diri. Seluruh potensialitas dan keagungan dirinya
diproyeksikan sebagai 'milik' Tuhan, dan manusia merayakannya dengan sukacita
dalam berbagai ritual dan perayaan keagamaan. Membaca secara positif sumbangan
pemikiran Karl Marx, agama sebagai pelarian dan proyeksi manusia justru
sekaligus menegaskan pemberontakan manusia pada struktur sosial yang tidak
adil.
Mengutip Marx, Romo
Magnis menulis, "… agama adalah sekaligus ungkapan penderitaan yang
sungguh-sungguh dan protes terhadap penderitaan yang sungguh-sungguh. Agama
adalah keluhan makhluk yang tertekan, perasaan dunia tanpa hati, sebagaimana ia
adalah suatu roh zaman yang tanpa roh. Ia adalah candu rakyat" (1999: 73).
Buku jadi korban
Banyak pihak
mengecam keras tindakan sekelompok orang merazia buku-buku yang dianggap
mengampanyekan komunisme tanpa mereka sendiri membaca isinya. Kecaman warga itu
jangan hanya dimengerti secara legal-formalistis, sebagai tindakan yang
mendahului putusan pengadilan dan mengambil alih tugas penegak hukum. Sama
seperti yang dikatakan Romo Magnis, tindakan itu justru mengekspresikan
kebodohan masyarakat pendukungnya.
Disebut demikian
karena tiga alasan. Pertama, kajian filosofis tidak pernah dilakukan secara
doktriner layaknya pelajaran agama. Siapa pun yang membaca traktat-traktat
filsafat mengerti dengan baik bahwa perdebatan konsep dan saling kritik ialah
bagian integral dari berfilsafat. Dalam arti itu, terlalu naif membayangkan
seorang pembaca filsafat Marxisme akan dengan mudah menjadi seorang Marxis
dalam arti ideologis.
Kedua, jika razia
buku dilakukan sebagai 'pesan' akan eksistensi suatu kelompok penjaga
kebenaran, sikap demikian justru jauh dari semangat pengembangan pemikiran Karl
Marx yang mereka kritik. Karl Marx membantu kita bersikap kritis terhadap
situasi struktur sosial dan budaya, terutama yang menjerat manusia dalam
ketaatan palsu pada doktrin yang sebenarnya merendahkan kemanusiaannya sendiri.
Ketiga, ketakutan
pada pemikiran Karl Marx sebagai yang membahayakan eksistensi agama juga
berlebihan. Sebagai 'pisau' analisis sosial, pemikiran Karl Marx justru
membantu kita beriman dan beragama secara sehat dan bertanggung jawab. Kita
justru diingatkan untuk berani membersihkan penyalahgunaan ajaran agama oleh
kelompok elite agama yang justru merendahkan martabat manusia dengan terus
mempertahankan kebodohan dan ketidaktahuan umat beragama.
Tampaknya kita
butuh gerakan literasi warga secara masif, dan agama serta para aktivis agama
seharusnya memainkan peran sentral. Itu seharusnya juga dibangun di atas
keyakinan bahwa semakin cerdas umat beragama, akan semakin sehat kehidupan
keagamaannya. Lain soal jika agamawan, aktivis agama dan elite-elitenya masih
diliputi rasa takut akan tergusurnya eksistensi dan privilese mereka karena
meningkatnya kesadaran kritis umat beragama.
Itu pun dengan
catatan jika para pemuka, aktivis, dan elite agama memperalat agama sebagai
alat untuk menimbulkan rasa takut pada Tuhan dan ketaatan buta pada mereka.
Jika yang terakhir ini benar, cepat atau lambat agama tidak lebih dari peran
supra struktur yang merendahkan kemanusiaan. Di titik ini kita seharusnya takut
akan kebenaran kritik Karl Marx pada agama sebagai candu masyarakat.
Sumber:
Media Indonesia, 14 Agustus 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!