Oleh Arya Fernandes
Peneliti Departemen Politik & Perubahan Sosial CSIS
PERTEMUAN Jokowi- Prabowo di MRT beberapa waktu lalu masih menyisakan tanda
tanya bagi publik. Benarkah Gerindra akan bergabung ke pemerintahan?
Bila benar,
seberapa strategiskah bagi Jokowi menerima koalisi tambahan? Akankah koalisi
gemuk membuat pemerintah lebih stabil dan seberapa mampu Jokowi mengendalikan
ritme politik di internal koalisi bila Gerindra atau partai lain di koalisi 02
masuk? Pertanyaan ini mengemuka setelah mencermati perkembangan politik
mutakhir yang menunjukkan terjadinya reposisi politik di internal partai
koalisi 01 merespons rencana koalisi baru Jokowi.
Senin (22/7) lalu,
beberapa ketua umum partai koalisi 01 minus PDI-P melakukan pertemuan politik.
Dalam beberapa hari ke depan, rencananya para sekjen partai itu juga bertemu.
Di tengah pertemuan itu, tersiar kabar akan terjadi pertemuan antara Jokowi dan
Prabowo.
Harian Kompas
(22/7/2019) menurunkan artikel Djayadi Hanan "Soliditas Koalisi
Presidensial". Di situ, Djayadi memberikan alasan pentingnya Jokowi
menambah partai koalisi di pemerintahan. Diungkapkan, meski Jokowi sudah
mengantongi 60 persen dukungan di parlemen, dengan menambah koalisi partai,
agenda pemerintahan dapat berjalan tanpa ada rintangan berarti di parlemen.
Djayadi bahkan mengingatkan terlalu riskan bagi Presiden untuk tetap melaju
(tanpa tambahan koalisi) bila ada satu partai membelot.
Meski mendorong
agar Jokowi menambah partai koalisi, Djayadi juga berpendapat pentingnya
keberadaan partai oposisi agar Presiden mendapatkan kritik substantif.
Keberadaan oposisi menurutnya juga dapat menghindari terjadinya imperial
president, di mana presiden dapat membuat apa saja karena mendapat dukungan
parlemen.
Saat ini terbuka
beberapa opsi koalisi Jokowi. Skenario satu, Jokowi membentuk koalisi gemuk
terdiri dari koalisi 01 plus Gerindra, PAN dan Demokrat. Koalisi ini akan
mendominasi, sekitar 90 persen kursi di parlemen. Bila ini terjadi akan
menciptakan kiamat politik di parlemen dan demokrasi jadi mati suri karena tak
signifikannya partai oposisi.
Skenario kedua,
Jokowi hanya akan menambah satu atau dua partai dari Gerindra, PAN atau
Demokrat. Bila Gerindra masuk, PAN atau Demokrat bisa saja memilih berada di
barisan oposisi untuk dapat insentif politik dari pemilih non-Jokowi. Skenario
ketiga, Jokowi tak membentuk koalisi baru, tetap mempertahankan koalisi sebelum
pemilu yang diisi partai-partai di 01. Bila Jokowi memilih skenario 1 dan 2,
jelas ia akan dibayangi kerepotan dan risiko politik.
Kerepotan Jokowi
Koalisi baru yang
gemuk mengandung risiko politik yang tak menguntungkan baik bagi Jokowi ataupun
publik. Saat ini, tak ada kebutuhan khusus bagi Jokowi menambah dukungan partai
di koalisi. Dengan mengefektifkan koalisi sebelum pemilu dan memberikan alokasi
yang proporsional kepada partai pendukung, posisi politik Jokowi sebenarnya
sudah cukup aman.
Koalisi politik
yang gemuk akan membuat Jokowi kerepotan bernegosiasi tentang kebijakan dan
program dengan partai-partai koalisi. Dengan kemampuan pemerintah yang rendah
dalam meloloskan RUU di DPR, pemerintah sulit untuk punya daya tawar yang kuat
saat mengusulkan RUU.
Koalisi yang gemuk
juga tak memberikan jaminan akan membuat pemerintahan stabil. Dengan koalisi
gemuk akan banyak tarik-ulur antara partai kepada Jokowi. Bila tak sependapat
dengan Jokowi, partai akan mudah membangun aliansi baru di internal koalisi
yang bisa saja akan menyulitkan posisi pemerintah.
Kerepotan lain yang
akan dihadapi Jokowi adalah melakukan sinkronisasi terhadap program dan
kebijakan. Dalam debat capres lalu, kita menyaksikan betapa terjadi perbedaan
tajam antara Jokowi dan Prabowo terkait kebijakan investasi, perdagangan,
utang, pengelolaan SDA, dan isu-isu strategis lain.
Perbedaan platform
politik ini akan menyulitkan pada level sinkronisasi kebijakan pemerintahan.
Isu lain yang mesti diperhatikan Jokowi adalah soal citra dan kredibilitas
Jokowi. Kredibilitas Jokowi akan jadi taruhan bila benar terjadi koalisi gemuk
yang sarat bagi-bagi kursi.
Jokowi juga harus
mewaspadai risiko atau efek politik yang bisa muncul bila terbentuk koalisi
baru. Tak ada alasan strategis yang membuat Jokowi butuh tambahan anggota
koalisi. Justru koalisi gemuk akan membuat potensi terjadi resistensi di internal
partai koalisi 01. Hal ini sudah terlihat dari tak ikutnya PDI-P dalam
pertemuan para ketua umum partai 01. Jokowi juga diperkirakan akan menghadapi
instabilitas politik internal bila menambah koalisi baru.
Dalam periode
pertama, koalisi gemuk tak memberikan jaminan bagi Jokowi untuk mampu
meloloskan RUU. Secara teori, idealnya dengan dukungan mayoritas di parlemen
akan mudah bagi pemerintah mendorong kebijakan, program, atau meloloskan RUU
tertentu. Namun, dukungan mayoritas di parlemen tak linear dengan kinerja
legislasi pemerintahan.
Kemampuan legislasi
pemerintahan Jokowi lebih rendah dibanding pemerintahan sebelumnya. Dari 52 RUU
usulan pemerintah (di luar RUU Kumulatif) yang masuk dalam Prolegnas 2015-2019,
hanya enam berhasil disahkan menjadi UU.
Tahun pertama
pemerintahan (2015) dan tahun terakhir (2019) tak ada RUU disahkan. Pada 2016
dan 2018 disahkan masing-masing tiga RUU. Dari enam RUU ini, tiga berstatus RUU
baru, dan tiga lainnya sudah masuk dalam Prolegnas 2010-2014. Data ini
menunjukkan pemerintah tak punya kebijakan legislasi (state-legislative
policies) yang jelas dan terukur. Data ini juga menunjukkan rendahnya kemampuan
pemerintah melobi partai koalisi.
Sementara dilihat
dari usulan RUU Prolegnas 2015-2019, produktivitas pemerintah juga rendah. Dari
52 RUU yang masuk prolegnas, hanya 17 RUU (33 persen) berstatus RUU baru; 28
RUU (54 persen) sudah masuk dalam RUU prolegnas yang diusulkan pemerintahan
sebelumnnya; dan 7 RUU berstatus revisi terhadap UU lama.
Argumen koalisi
Pasca-Pemilu 2019
terjadi perubahan komitmen politik Jokowi terhadap koalisi yang dibentuk
sebelum pelaksanaan pemilu. Perubahan komitmen ini bisa saja mengandung risiko
politik bagi Jokowi, di antaranya, terjadinya perubahan komitmen partai-partai
dalam berkoalisi. Bisa jadi mereka akan jadi liar dan tak bisa dikendalikan.
Perubahan Jokowi terjadi karena adanya kekhawatiran atau ketidakpercayaan
terhadap anggota koalisi dan bisa jadi Jokowi tidak mau repot dalam melakukan
lobi ke parlemen.
Bila tujuan koalisi
adalah agar terjadi stabilitas politik dan pemerintah merasa aman dari gangguan
dari DPR, periode pertama Jokowi justru menunjukkan bahwa sebenarnya
permasalahan politik pemerintah bukan berasal dari luar, tetapi sebagian besar
dari dalam. Potensi instabilitas justru terjadi dari dalam akibat terjadinya
dinamika internal antar-menteri di dalam pemerintah yang berujung pada
perombakan kabinet.
Tugas pemerintah
adalah memastikan koalisinya solid bukan memborong semua dukungan partai agar
aman dari ancaman pembelotan. Untuk itu Jokowi perlu meyakinkan bahwa
pemerintah memberikan insentif yang seimbang terhadap pembentukan koalisi. Bila
akhirnya ada yang membelot terhadap satu atau dua kebijakan, itu menunjukkan
kemampuan pemerintah untuk menjaga disiplin koalisi lemah, atau pemerintah tak
punya kemampuan dalam mengelola koalisi.
Agar koalisi solid,
tentu ada harga yang harus dibayar Jokowi. Bila proses pembentukan koalisi
dilakukan secara adil potensi untuk membelot diperkirakan akan kecil. Untuk itu
pemerintah harus menjelaskan komitmen politiknya ke setiap anggota koalisi.
Partai-partai yang
berkoalisi dan mendukung pencalonan Jokowi di pemilu serentak kemarin
sebenarnya mendapatkan risiko politik tertentu di kalangan pemilih. Dengan
menguatnya politik identitas dalam pemilu lalu, tak tertutup kemungkinan
partai-partai tertentu akan mendapatkan disinsentif dari dukungannya kepada
Jokowi pada sejumlah daerah pemilihan tertentu.
Untuk itu saya
kira, Jokowi memang harus komit pada skema awal koalisi pra-pemilu. Apalagi
desain pemilu serentak kemarin salah satunya bertujuan agar terbentuk koalisi
jangka panjang baik sebelum dan sesudah pemilu. Dengan begitu, partai-partai
sudah memikirkan opsi koalisi jauh sebelum pemilu dilaksanakan.
Bila akhirnya
Jokowi memilih membentuk koalisi gemuk, tentu mustahil akan terjadi diskursus
kebijakan publik yang intens dan akan menjadi cacat dalam perjalanan demokrasi
kita. Demokrasi bagaimanapun butuh dua hal: eksekutif yang kuat dan legislatif
yang kuat.
Lembaga legislatif
yang kuat hanya dimungkinkan bila ada partai oposisi yang cukup signifikan.
Begitu juga diskursus publik soal kebijakan hanya mungkin bila parlemen diisi
partai oposisi yang juga kuat. Untuk memperkuat demokrasi, sebaiknya Jokowi
membatalkan rencana bentuk koalisi gemuk.
Sumber: Kompas, 3 Agustus 2019
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!