Headlines News :
Home » » Risiko Koalisi Gemuk

Risiko Koalisi Gemuk

Written By ansel-boto.blogspot.com on Saturday, August 03, 2019 | 10:57 PM

Oleh Arya Fernandes
Peneliti Departemen Politik & Perubahan Sosial CSIS

PERTEMUAN Jokowi- Prabowo di MRT beberapa waktu lalu masih menyisakan tanda tanya bagi publik. Benarkah Gerindra akan bergabung ke pemerintahan?

Bila benar, seberapa strategiskah bagi Jokowi menerima koalisi tambahan? Akankah koalisi gemuk membuat pemerintah lebih stabil dan seberapa mampu Jokowi mengendalikan ritme politik di internal koalisi bila Gerindra atau partai lain di koalisi 02 masuk? Pertanyaan ini mengemuka setelah mencermati perkembangan politik mutakhir yang menunjukkan terjadinya reposisi politik di internal partai koalisi 01 merespons rencana koalisi baru Jokowi.

Senin (22/7) lalu, beberapa ketua umum partai koalisi 01 minus PDI-P melakukan pertemuan politik. Dalam beberapa hari ke depan, rencananya para sekjen partai itu juga bertemu. Di tengah pertemuan itu, tersiar kabar akan terjadi pertemuan antara Jokowi dan Prabowo.

Harian Kompas (22/7/2019) menurunkan artikel Djayadi Hanan "Soliditas Koalisi Presidensial". Di situ, Djayadi memberikan alasan pentingnya Jokowi menambah partai koalisi di pemerintahan. Diungkapkan, meski Jokowi sudah mengantongi 60 persen dukungan di parlemen, dengan menambah koalisi partai, agenda pemerintahan dapat berjalan tanpa ada rintangan berarti di parlemen. Djayadi bahkan mengingatkan terlalu riskan bagi Presiden untuk tetap melaju (tanpa tambahan koalisi) bila ada satu partai membelot.

Meski mendorong agar Jokowi menambah partai koalisi, Djayadi juga berpendapat pentingnya keberadaan partai oposisi agar Presiden mendapatkan kritik substantif. Keberadaan oposisi menurutnya juga dapat menghindari terjadinya imperial president, di mana presiden dapat membuat apa saja karena mendapat dukungan parlemen.

Saat ini terbuka beberapa opsi koalisi Jokowi. Skenario satu, Jokowi membentuk koalisi gemuk terdiri dari koalisi 01 plus Gerindra, PAN dan Demokrat. Koalisi ini akan mendominasi, sekitar 90 persen kursi di parlemen. Bila ini terjadi akan menciptakan kiamat politik di parlemen dan demokrasi jadi mati suri karena tak signifikannya partai oposisi.

Skenario kedua, Jokowi hanya akan menambah satu atau dua partai dari Gerindra, PAN atau Demokrat. Bila Gerindra masuk, PAN atau Demokrat bisa saja memilih berada di barisan oposisi untuk dapat insentif politik dari pemilih non-Jokowi. Skenario ketiga, Jokowi tak membentuk koalisi baru, tetap mempertahankan koalisi sebelum pemilu yang diisi partai-partai di 01. Bila Jokowi memilih skenario 1 dan 2, jelas ia akan dibayangi kerepotan dan risiko politik.

Kerepotan Jokowi

Koalisi baru yang gemuk mengandung risiko politik yang tak menguntungkan baik bagi Jokowi ataupun publik. Saat ini, tak ada kebutuhan khusus bagi Jokowi menambah dukungan partai di koalisi. Dengan mengefektifkan koalisi sebelum pemilu dan memberikan alokasi yang proporsional kepada partai pendukung, posisi politik Jokowi sebenarnya sudah cukup aman.

Koalisi politik yang gemuk akan membuat Jokowi kerepotan bernegosiasi tentang kebijakan dan program dengan partai-partai koalisi. Dengan kemampuan pemerintah yang rendah dalam meloloskan RUU di DPR, pemerintah sulit untuk punya daya tawar yang kuat saat mengusulkan RUU.

Koalisi yang gemuk juga tak memberikan jaminan akan membuat pemerintahan stabil. Dengan koalisi gemuk akan banyak tarik-ulur antara partai kepada Jokowi. Bila tak sependapat dengan Jokowi, partai akan mudah membangun aliansi baru di internal koalisi yang bisa saja akan menyulitkan posisi pemerintah.

Kerepotan lain yang akan dihadapi Jokowi adalah melakukan sinkronisasi terhadap program dan kebijakan. Dalam debat capres lalu, kita menyaksikan betapa terjadi perbedaan tajam antara Jokowi dan Prabowo terkait kebijakan investasi, perdagangan, utang, pengelolaan SDA, dan isu-isu strategis lain.

Perbedaan platform politik ini akan menyulitkan pada level sinkronisasi kebijakan pemerintahan. Isu lain yang mesti diperhatikan Jokowi adalah soal citra dan kredibilitas Jokowi. Kredibilitas Jokowi akan jadi taruhan bila benar terjadi koalisi gemuk yang sarat bagi-bagi kursi.

Jokowi juga harus mewaspadai risiko atau efek politik yang bisa muncul bila terbentuk koalisi baru. Tak ada alasan strategis yang membuat Jokowi butuh tambahan anggota koalisi. Justru koalisi gemuk akan membuat potensi terjadi resistensi di internal partai koalisi 01. Hal ini sudah terlihat dari tak ikutnya PDI-P dalam pertemuan para ketua umum partai 01. Jokowi juga diperkirakan akan menghadapi instabilitas politik internal bila menambah koalisi baru.

Dalam periode pertama, koalisi gemuk tak memberikan jaminan bagi Jokowi untuk mampu meloloskan RUU. Secara teori, idealnya dengan dukungan mayoritas di parlemen akan mudah bagi pemerintah mendorong kebijakan, program, atau meloloskan RUU tertentu. Namun, dukungan mayoritas di parlemen tak linear dengan kinerja legislasi pemerintahan.

Kemampuan legislasi pemerintahan Jokowi lebih rendah dibanding pemerintahan sebelumnya. Dari 52 RUU usulan pemerintah (di luar RUU Kumulatif) yang masuk dalam Prolegnas 2015-2019, hanya enam berhasil disahkan menjadi UU.

Tahun pertama pemerintahan (2015) dan tahun terakhir (2019) tak ada RUU disahkan. Pada 2016 dan 2018 disahkan masing-masing tiga RUU. Dari enam RUU ini, tiga berstatus RUU baru, dan tiga lainnya sudah masuk dalam Prolegnas 2010-2014. Data ini menunjukkan pemerintah tak punya kebijakan legislasi (state-legislative policies) yang jelas dan terukur. Data ini juga menunjukkan rendahnya kemampuan pemerintah melobi partai koalisi.

Sementara dilihat dari usulan RUU Prolegnas 2015-2019, produktivitas pemerintah juga rendah. Dari 52 RUU yang masuk prolegnas, hanya 17 RUU (33 persen) berstatus RUU baru; 28 RUU (54 persen) sudah masuk dalam RUU prolegnas yang diusulkan pemerintahan sebelumnnya; dan 7 RUU berstatus revisi terhadap UU lama.

Argumen koalisi

Pasca-Pemilu 2019 terjadi perubahan komitmen politik Jokowi terhadap koalisi yang dibentuk sebelum pelaksanaan pemilu. Perubahan komitmen ini bisa saja mengandung risiko politik bagi Jokowi, di antaranya, terjadinya perubahan komitmen partai-partai dalam berkoalisi. Bisa jadi mereka akan jadi liar dan tak bisa dikendalikan. Perubahan Jokowi terjadi karena adanya kekhawatiran atau ketidakpercayaan terhadap anggota koalisi dan bisa jadi Jokowi tidak mau repot dalam melakukan lobi ke parlemen.

Bila tujuan koalisi adalah agar terjadi stabilitas politik dan pemerintah merasa aman dari gangguan dari DPR, periode pertama Jokowi justru menunjukkan bahwa sebenarnya permasalahan politik pemerintah bukan berasal dari luar, tetapi sebagian besar dari dalam. Potensi instabilitas justru terjadi dari dalam akibat terjadinya dinamika internal antar-menteri di dalam pemerintah yang berujung pada perombakan kabinet.

Tugas pemerintah adalah memastikan koalisinya solid bukan memborong semua dukungan partai agar aman dari ancaman pembelotan. Untuk itu Jokowi perlu meyakinkan bahwa pemerintah memberikan insentif yang seimbang terhadap pembentukan koalisi. Bila akhirnya ada yang membelot terhadap satu atau dua kebijakan, itu menunjukkan kemampuan pemerintah untuk menjaga disiplin koalisi lemah, atau pemerintah tak punya kemampuan dalam mengelola koalisi.

Agar koalisi solid, tentu ada harga yang harus dibayar Jokowi. Bila proses pembentukan koalisi dilakukan secara adil potensi untuk membelot diperkirakan akan kecil. Untuk itu pemerintah harus menjelaskan komitmen politiknya ke setiap anggota koalisi.

Partai-partai yang berkoalisi dan mendukung pencalonan Jokowi di pemilu serentak kemarin sebenarnya mendapatkan risiko politik tertentu di kalangan pemilih. Dengan menguatnya politik identitas dalam pemilu lalu, tak tertutup kemungkinan partai-partai tertentu akan mendapatkan disinsentif dari dukungannya kepada Jokowi pada sejumlah daerah pemilihan tertentu.

Untuk itu saya kira, Jokowi memang harus komit pada skema awal koalisi pra-pemilu. Apalagi desain pemilu serentak kemarin salah satunya bertujuan agar terbentuk koalisi jangka panjang baik sebelum dan sesudah pemilu. Dengan begitu, partai-partai sudah memikirkan opsi koalisi jauh sebelum pemilu dilaksanakan.

Bila akhirnya Jokowi memilih membentuk koalisi gemuk, tentu mustahil akan terjadi diskursus kebijakan publik yang intens dan akan menjadi cacat dalam perjalanan demokrasi kita. Demokrasi bagaimanapun butuh dua hal: eksekutif yang kuat dan legislatif yang kuat.

Lembaga legislatif yang kuat hanya dimungkinkan bila ada partai oposisi yang cukup signifikan. Begitu juga diskursus publik soal kebijakan hanya mungkin bila parlemen diisi partai oposisi yang juga kuat. Untuk memperkuat demokrasi, sebaiknya Jokowi membatalkan rencana bentuk koalisi gemuk. 
Sumber: Kompas, 3 Agustus 2019
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger