Oleh Ansel Deri
Anak kampung asal Kluang
Desa
Belabaja (Boto), Lembata, NTT
STANIS Deri Burin (92). Lahir pada 1 Juli 1927.
Ia orang kampung. Persisnya di Puor. Kampung ini berada di lereng Labalekan,
selatan Pulau Lembata, Nusa Tenggara Timur. Puor meliputi Desa Puor dan Puor B,
persis dk Kecamatan Wulandoni, Kabupaten Lembata. Tambahan: sebelum
"merdeka" sebagai sebuah kecamatan baru, Wulandoni masuk wilayah
kecamatan Nagawutun beribukota Boto, sebelum akhirnya pindah ke Loang saat ini.
Tahun 1980-an, saat
saya masih duduk di bangku sekolah dasar Katolik Boto di kampungku, nama gur
Stani sudah terkenal. Ia sudah beken. Disapa dengan Bapa gur (guru) Stani. Di
lingkup pendidikan, sudah pasti. Ia seorang guru tua. Berwibawa. Asyik kalau
diajak ngobrol apa saja.
Di bidang seni, ia
maestronya. Lagu-lagu grejani lahir dari gur Stani. Ema Maria, Teti Kajo Kerus, O Tuan, O Raja, Tite
Persaja, Pana Tai Sambo, dan sejumlah tembang rohani lokal
lahir dari hasil olah seni seorang gur Stani. Lagu-lagu rohani karyanya kala
itu akan mengisi ruangan-ruangan gereja-gereja Katolik di wilayah selatan
Lembata. Bakat anak muda asal Puor di bidang seni juga mengalir. Ada Conrad
Floresman Botoor, penyanyi reggae berambut gimbal pentolan Matahari Band atau
Acong Raden Wijaya, penyanyi dan pemain keyboard tunanetra adalah anak-anak
asal Puor berbakat di dunia musik.
Bagi kami anak-anak
SD Paskah dan Natal menjadi momentum menikmati alunan suara merdu umat stasi
yang ambil bagian dalam koor di gereja. Suara melodi gitar steel (kami menyebut
begitu) yang dimainkan bapa guru Aloysius Tana Botoor (belakangan jadi mertua
saya) adalah daya tarik lainnya. Bila perayaan dipusatkan di gereja Paroki Boto
atau stasi, gur Stani kerap tampil sebagai dirigen menyemarakkan Misa. Ia yang
-kata kami anak kampung kala itu- pukul mat. Ya, dirigen.

Club tangguh dari
Puor yang juga melahirkan banyak putra-putri asal desa ini mengharumkan nama
daerah di bidang bola kaki. Bahkan pula mengharumkan nama club di luar NTT.
Sebut saja dua bersaudara: Anton Kia Botoor, mantan pemain PSK yang saat ini
bermukim di kota Kupang. Atau Polce Kia Botoor, yang mengharumkan club Barito
Putra, Kalimantan.
Saya menyempatkan
diri mengikuti prosesi peresmian Puor B menjadi desa definitif lepas dari
induknya, Puor. Dipanggil dengan melambaikan tangan (kasi kode) ke saya, tanpa
ba bi bu, langsung merapat. "Duduk di samping saya, naja. Saya agak lama
memastikan apakah benar kamu. Mata saya sudah agak kabur," kata gur Stani.
Ia menyebut "naja" atau nama. Maklum nama kampung kami sama: Deri.
Persoalan nama jadi
bahasan kami kala itu. Apakah kesamaan nama kampung kami "Deri"
berasal dari kampung saya atau kampung beliau, itulah letak diskusi kami.
Diskusi singkat itu mengisi waktu senggang kami sembari menyaksikan tarian
lokal di Puor menyambut Wakil Bupati Lembata Andreas Nula Liliweri bersama
rombongan turun dari Wulandoni, kota Kecamatan Wulandoni. Wakil Bupati Liliweri
berkenan meresmikan Puor B untuk menambah koleksi desa di wilayah kecamatan
Wulandoni.
Di sela-sela
diskusi soal asal usul nama kami itu, ia pun mengaku bangga. Kehidupan ekonomi
masyarakat kala itu yang pas-pasan dan kebayakan petani, toh banyak anak didik
mereka dar(a) atadik, jadi orang, di hampir semua bidang. Ada yang jadi petani
sukses, tukang kayu dan batu profesional, supir oto, pengacara, wartawan, ada
yang jadi imam, suster, bruder, frater hingga guru.
Guru menjadi
profesi yang membanggakan gur Stani. Saya mencatat baik. Beberapa anaknya
adalah guru saya di kelas dan guru dalam bidang profesi yang saya tekuni selama
ini. Belum lagi beberapa anak dan bekas muridnya bersentuhan dengan
jurnalistik. Sekadar menyebut beberapa nama yaitu, putrinya, ibu Edel Burin dan
suaminya adalah guru mata pelajaran Bahasa Indonesia.
Mereka ini yang
mengajarkan kami, termasuk deklamasi (berpuisi) di tengah lapangan bola di
bawah terik matahari. Atau putranya, Hyasinthus Tibang Burin, guru yang
mendirikan SMP PGRI Labalekan Puor. Sintus Burin belakangan terjun di dunia
politik dan pernah menjadi anggota DPRD Lembata dan kini didapuk jadi Ketua DPC
PDI Perjuangan Lembata. Dari tangan Sintus, putra gur Stani, lahir pula ratusan
anak didik yang berkarya di berbagai bidang, termasuk pastor, suster, dan
bruder yang tak hanya jadi misionaris dalam negeri tapi menyasar dunia baik di
Eropa maupun Afrika.

Satu kebiasaan
saya, tatkala berlibur ke kampung dan lanjut di Puor, rumah sederhana gur Stani
akan saya sambangi. Ke Puor selain mengunjungi mertua dan kerabat kami, gur
Stani menjadi orangtua dan narasumber. Semangat kerja, adat istiadat, etos
kerja, resep untuk eksis dalam tugas bakal dikupas tuntas gur Stani. Saya
sadar, teladan, pengalaman, semangat, dan jiwa kerja tempo doeloe adalah
warisan berharga gur Stani yang perlu saya teruskan sebagai orang yang lahir di
kebun, di tengah hutan belantara di kaki Labalekan.
Beberapa tahun
lalu, usai meletakkan ransel di rumah mertua, saya berjalan ke rumah gur Stani.
Tak jauh dari rumahnya, di tikungan kali, saya bersua dengan gur Stani. Ia
asyik mencincang batang pisang untuk makanan babi, piaraannya. "Nene gur,
selamat siang," saya menyapanya. Kaget, ia bertanya. "Naja, mo sampe
jema?" Artinya, kira-kira begini: "Nama (Deri), kapan tiba".
Saya mencium
tangannya sebagai tanda seorang anak kampung, yang besar dari tata krama dan
penghormatan kepada otangtua. "Saya lagi cincang batang pisang tuk kasi
makan babi," katanya. Tubuhnya masih kuat untuk bekerja. "Kalau tidak
sibukkan diri begini (cincang makanan babi), badan rasa sakit," katanya.

Tahun lalu,
lagi-lagi saya mampir di rumahnya. Ia berada di atas kursi roda. Masih bisa
jalan tapi harus diawasi. Sang isteri dan seorang putri setia menemani gur
Stani. "Kri go tak kuat labi mas ale, naja. Go persajanga Ata Raja saja
jema mai Nan grat kai seruma," ia berujar. Artinya, saat ini saya tidak
lagi kuat berjalan. Saya percayakan kapan Allah memanggil menghadap-Nya.
Ditemani isterinya,
Fransiska Botoor, kami menyanyikan bersama Tite Persaja dan O Tuan, O
Raja dua lagu karyanya. Hari ini gur Stani menjawab Tuhan, Sang Raja. Ia
berpulang Sabtu 3 Agustus 2019 sekitar pukul 13.00 WITA di usia 92 tahun lebih
sebulan. Sedih, tentu. Tapi bagi saya, ia kembali ke rumah-Nya dan membiarkan
orang-orang terkasih bergembira. Ia membiarkan isteri, anak-anak, cucu, dan
cicit serta orang-orang terkasih mengalami cinta Tuhan paling nyata melalui
peristiwa kematiannya.
Masyarakat dan umat
di lereng Labalekan, terutama dunia pendidikan tentu merasa kehilangan
bapa/nene gur Stani, guru multi talenta yang berjasa bagi masyarakat dan gereja
di masanya hingga ajal menjempunya. Selamat jalan, naja. Bahagia selalu bersama
para kudus di Surga. Doakan kami semua dari sana.
Catatan ini mengenang alm.
Stanis Deri Burin
yang berpulang pada 3 Agustus 2019
Ket foto: Penulis bersama Stanis
Deri Burin dan (dari kiri) Aloysia Beribin Burin, putrinya serta mama Fransiska
Botoor, isteri Stanis Deri Burin
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!