Saat diutus ke
Polandia, Suster Neno Maria Yosefina SSpS, terdiam. Sempat muncul pertanyaan
dalam hati, apakah Polandia negara misinya. Pertanyaan berkelebat dalam dinding
memori kepala.
PADAHAL, dalam
formasi awal Suster Neno -sapaan akrab Suster Neno Maria Yosefina SSpS- dan
para calon lainnya sudah dibekali sejarah, visi, dan misi kongregasi sehingga
ia sendiri enjoy mau menjadi misionaris di luar negeri. Ia baru tahu saat
menerima kabar dari Provinsial SSpS Timor Suster Kristin Maria Nahak, SSpS
bahwa Suster General dan para anggota Dewan General mengutusnya ke Polandia.
Saat itu, ia hanya terdiam. Perasaannya campur aduk: menolak, bersyukur, sedih
bahkan merasa tidak sanggup. “Jika itu kehendak Tuhan, saya terima,” kata
Suster Neno di hadapan suster provinsial.
Kehendak Tuhan
terjadi. Saat ini Suster Neno bertugas di sebuah rumah untuk anak di Polandia,
negeri mendiang Santo Paus Yohanes Paulus II. Rumah ini merupakan salah satu
unit kerasulan kongregasi. Pengaruh rezim komunis yang kuat di masa lalu
menyulitkan para suster dan kongregasi membangun unit kerja sendiri seperti
sekolah dan rumah sakit untuk karya sosial. Pilihannya, hanya rumah untuk anak.
“Rumah ini menjadi tempat penitipan anak dari keluarga pecandu alkohol, broken
home, dan kurang mampu untuk belajar. Setiap hari mereka datang untuk dibantu
menyelesaikan pekerjaan rumah dan menyiapkan materi baru untuk keesokan
harinya,” kata Suster Neno saat dihubungi melalui surat elektronik (e-mail)
dari Polandia, beberapa waktu lalu.
Menurut Suster
Neno, ia mulai tertarik menjadi biarawati saat duduk di bangku sekolah menengah
pertama di Mamsena, Keuskupan Atambua. Saat itu ia senang dan bangga melihat
suster-suster yang mengenakan pakaian putih-putih. “Seingat saya saat itu ada
aksi panggilan. Hanya saja saya juga tidak tahu apa kongregasi mereka. Saya
berpikir mungkin mereka itu suster SSpS karena di Kiupukan ada komunitasnya.
Apalagi, jarak Kiupukan dengan rumah kami di Sekon sekitar 7 kilo meter,” ujar
Suster Neno mengenang.
Seiring perjalanan
waktu ketertarikan menjadi suster selalu muncul. Tapi tak pernah terlintas
kelak menjadi misionaris. Pikirannya hanya jadi suster. Ketertarikan itu kian
terbuka saat ia sekolah di SMA St Joseph Dili, Timor Leste. Saat itu para siswa
SMA St Joseph juga belajar bersama frater-frater. Kebetulan letak biara
susteran di depan sekolah sehingga dengan mudah melihat kegiatan harian para
suster. Dari sinilah ia makin tertarik.
Suster Neno pun
meminta ijin orangtuanya untuk tinggal di Asrama Susteran Canosian, Dili. Ia
pamit pada saudaranya untuk tinggal di asrama. Cuma, sang ayah khawatir jangan
sampai Neno malah memantapkan keinginannya jadi suster. “Di asrama engkau hanya
ikut pembinaan menjadi sahabat Magdalena De Cannosa. Bukan pembinaan untuk
calon suster,” kata Suster Neno menirukan ayahnya. Peringatan sang ayah bagi
Neno beralasan. Ibu asrama juga setuju. Saat itu, menurutnya, Roh Kudus
membimbing dirinya dalam mewujudkan impiannya itu.
Mulanya, ia melamar
ke Provinsi SSpS Timor dengan bantuan para suster SSpS di komunitas Kiupukan.
Pada 17 Juli 1995, ia bersama sekitar 34 calon memulai masa aspiran selama
setahun di Besikama, Keuskupan Atambua. Setahun kemudian ia menjalani masa
postulan dan dua tahun masa novisiat di Halilulik. Ia lalu menjalani masa
praktek novisiat selama enam bulan di Lahurus, Atambua. “Sesudah itu baru
memutuskan bergabung bersama suster-suster dalam Kaul Pertama pada 2 Juli 1999
di Halilulik. Tugas pertama saya itu membantu Provinsial SSpS Timor di Atambua
sebagai sekretaris provinsial. Tugas ini saya jalani selama setahun. Tahun
kedua saya memulai tahun yuniorat di Kiupukan,” kata Suster Neno, biarawati
kelahiran, Sekon, TTU tanggal 27 Maret 1973 ini.
Sesudah itu ia
diutus studi komunikasi di Universitas Katolik Widya Mandira Kupang sambil
membantu administrasi komunitas. Setelah tamat, ia memulai masa probasi di
Hokeng, Flores Timur, Keuskupan Larantuka. Selanjutnya, menjalani masa
persiapan sebagai misionaris di Provinsi SSpS Jawa. “Saya probasi di Hokeng
bersama delapan suster lainnya. Saat probasi kami harus mengajukan lagi
permohonan untuk misi di tiga negara di mana ada karya kongregasi,” ujar Suster
Neno.
Menurutnya,
Polandia merupakan pilihan kedua selain Amerika Serikat dan Inggris. “Saya
tidak punyai gambaran tentang Polandia. Dalam benak hanya terpikir bahwa Paus
Yohanes Paulus II itu orang Polandia. Begitu juga sosok Santa Faustina Kowalska
yang berjumpa dengan Tuhan Yesus beserta Doa Koronka (Kerahiman Ilahi) setiap
jam tiga,” jelas Suster Neno.
Setelah Kaul Kekal
dan persiapan sebelum terbang ke Polandia, Suster Neno mengikuti kursus singkat
selama sebulan di Batu, Malang, Jawa Timur. Kursus ini untuk menambah
pengetahuan yang sudah dimulai sejak bergabung dengan SSpS. Kursus itu juga ada
sharing pengalaman para suster yang pernah bertugas di negara tujuan. “Selesai
dari Batu, saya menuju Irlandia sebelum ke Polandia. Di Irlandia saya tinggal
selama setahun lebih untuk belajar Bahasa Inggris.” jelas Suster Neno, anak
ketujuh dari delapan bersaudara pasangan petani kecil Dominikus Ele dan Maria
Nese.
Dalam menunaikan
tugas-tugas di rumah khusus anak-anak di Polandia, Suster Neno merasakan
kebaikan hati umat. Umumnya, orang Polandia juga murah hati pada gereja. Mereka
tak segan menyumbang atau membantu. Mereka terbuka pada misionaris asing. Kesan
ini ia tangkap saat menghadiri pertemuan-pertemuan yang diadakan. Atau saat
bersama rombongan umat ziarah ke tempat-tempat suci dan bersejarah. “Mereka
bangga karena ternyata jendela telah terbuka bagi Polandia dengan hadirnya
misionaris asing. Bukan hanya orang Polandia menjadi misionaris di negara
lain,” katanya. Saat ini di Polandia baru ada tiga misionaris asing asal
Indonesia. Dua orang suster SSpS dan seorang lagi dari Kongregasi Santa Birgita
dengan rumah pusat di Italia.
Umat Polandia juga
sangat antusias dan menerima kalau misionaris asing berbicara dalam bahasa
setempat. Kebaikan hati umat juga dialami dalam sharing bersama. “Saya pernah
hadir dalam doa malam di Santuarium Black Madona di Częstochowa. Saya diminta
sharing pengalaman. Saya sedikit gugup karena ditayangkan TVTRAM dan ditonton
masyarakat Polandia. Stasiun televisi Katolik ini milik pastor Redemptoris,”
katanya.
Selain itu, dalam
menunaikan tugas di rumah khusus anak-anak, ia tetap menjaga relasi yang
harmonis agar anak-anak merasa senang. Anak-anak pun kerap menyapa ia suster
coklat karena warna kulitnya. Namun, hal itu tak membuatnya tersinggung. Ia
hanya mengatakan, kalau coklat pasti enak. “Saya kadang guyon. ‘Kamu itu putih
jadi bisa diminum seperti susu.’ Akhirnya, kami semua tertawa. Inilah suasana
yang sengaja kami hadirkan untuk menumbuhkan saling percaya dan menghargai satu
sama lain,” jelas Suster Neno, yang memilih motto Kaul Tinggallah Dalam
Kasih-Ku yang dikutip dari Injil Yohanes, 15:9.
Kini, Suster Neno
makin menyadari arti panggilannya bahwa semua itu untuk Tuhan. Tatkala
mengalami kesulitan dalam pelayanan, ia berserah dalam doa di hadapan Sakramen
Maha Kudus. Tak lupa, ia sharing dengan pimpinan dan rekan-rekannya agar
membantu mengatasi kesulitan yang dihadapi. “Saya melakukan devosi kepada Santu
Yosef pelindung saya dan novena khusus Kerahiman Allah agar tetap merasa
sanggup di hadapan Tuhan,” ujarnya.
Ansel Deri
Sumber: berandanegeri.com, 14 September
2019
Ket foto: Suster Neno sedang belajar bersama anak-anak TK di rumah anak
milik kongregasi SSpS di Polandia.
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!