DI DEPAN komputer, saya fokus menyelesaikan feature dari PT Tabun Tirta
Mathonis. Itu tahun 92 atau 93-an. Di tingkat 1, belakang kampus FKIP Undana,
tak jauh dari Jalan Soeharto, Kupang. Beberapa rekan wartawan senior lalu
lalang dalam ruang rapat redaksi. Saya berusaha fokus. Ini pertaruhan nasib.
Apakah masih bertahan sebagai reporter lepas FLOBAMORA, tabloit yang seingat
saya dikawal kaka Alo Liliweri, penulis senior kala itu. Alo saat ini adalah
guru besar yang dikoleksi Undana, almamater saya Karena itu, saya tengah
membayangkan apa judul yang pas untuk feature kecil ini. Paling kurang sebagai
reporter pemula saya tidak bikin malu senior tatkala artikel itu sudah tayang
di tabloit yang terbit era Gubernur Herman Musakabe. “Tabun Tirta Mathonis,
Pelepas Dahaga Masyarakat NTT. Beta juga lagi pikir apakah bisa juga pake judul
Viquam, Pelepas Dahaga Masyarakat NTT. Kalau eja baca judul dan isinya, tinggal
mainkan mana yang lebih pas. Dua judul itu tak bakal lari dari konten,” kata
saya kepada Silvester Sega, redaktur yang biasa membaca naskah saya. Viquam
adalah air minum dalam kemasan (gelas). Diproduksi Tabun Tirta Mathonis dan
booming kala itu. Saya tertarik menulis viquam. Maklum. Selama di kos, kami
minum air pake timba di sumur. Viquam “barang” baru.
Tak lama berselang
muncul seorang pria dengan rambut dikuncir. Saya segera menyapanya. Mengenalkan
nama. Juga asal sesuai pertanyaan si pria berambut yang dikuncir. Saya kemudian
mulai akrab kemudian tahu namanya, Peter A Rohi. “Om pinjam komputer sekitar 20
atau 30 menit. Baru saja diminta Pemred Pos Kupang menulis satu artikel opini
untuk diterbitkan besok. Beta buru-buru karena sebentar ke Oebobo terus naik
bis ke Dili, Timor Timur,” kata om Peter A Rohi. “Penulis ini pake sulap naskah
kah? Mantap juga kalau beliau tinggal satu dua hari di Kupang. Mangkali betong
(barangkali kita) bisa korek banyak resep menjadi penulis yang baik. Beliau
juga bisa cerita perjalanan menjadi penulis dan dunia wartawan yang membawanya
jadi orang top,” kata saya kepada Sil Sega. Benar saja. Tak lama kata “terima
kasih” meluncur dan ia segera beranjak. Jalan kaki lagi ke redaksi Pos Kupang,
di samping Silvya, toko fotocopy tak jauh dari kampus saya. Toko yang juga jadi
tempat saya jilid skripsi saya. Besoknya, naskah om Peter Rohi nongol di Pos
Kupang. “Itu wartawan asyik juga. Tapi beta meloi baitua itu sonde ada buku di
samping saat menulis opini. Macam kamus berjalan saja,” kata saya polos.
Sungguh pengalaman pertama bertemu dengan seorang wartawan yang menulis opini
tak lebih dari satu jam.
Pada 18 Desember
2010, pengalaman perjumpaan dengan penulis brilian dan wartawan senior asal NTT
Peter A Rohi saya sampaikan via inbox facebooknya, Peter Apollonius Rohi. Saya
menghubunginya di sela-sela ia tengah berada di Rangkasbitung, Banten. Tak lama
ia respon. Bahagia juga. “Makasih Ansel, masih ingat walau sudah lebih sepuluh
tahun. Ia, om masih jalan-jalan untuk nulis macam-macam. Gimana Tabloit
FLOBAMORA sekarang?,” kata om Peter bertanya. Setelah ngobrol sejenak, ia
pamit. Tapi satu hal yang membekas dalam dinding memori saya. Ia bercerita
perjalanan jurnalistik menuju kampung Waiteba, Kecamatan Atadei, Lembata
sebelum bencana air pasang yang melumatkan kampung itu tahun 1979. “Saya
kembali lewat Wulandoni, Lamalera, Puor, Boto dan lanjut Lewoleba. Laporan saya
langsung direspon pihak provinsi dan pusat. Orang Lembata tentu tahu. Pernah
Wakil Presiden Adam Malik ke Loang melihat langsung pengungsi Waiteba.
Belakangan saya dengar isteri Pak Adam Malik meminta dibangun TK Nely Adam
Malik. Semoga hingga saat ini TK itu masih ada. Banyak orang Lembata
pintar-pintar. Dalam beberapa tugas ke luar selalu saja saya jumpai orang
Lembata jadi misionaris. Gereja Katolik punya kontribusi besar bagi dunia. Saya
juga mengenal baik alm Pak Marcel Beding, wartawan senior KOMPAS. Beliau salah
seorang wartawan yang menerjemahkan dokumen-dokumen penting bagi Gereja di
Indonesia. Satu lagi kesan saya, Lembata itu pulau yang sangat indah,” kata om
Peter Rohi.
Waiteba ternyata
juga pernah disambangi Peter A Rohi, jurnalis yang lahir di Timor, 14 November
1942. Kisah ringkas perjalanan jurnalistik om Peter ke Waiteba juga pernah
disampaikan kepada Saba Paul Sinakai, mantan Camat Wulandoni. Om Peter menulis
‘surat mini’ itu berikut ini. Saya mengutip kembali dalam laman facebook reu
Paul Sinakai (kalau tak salah), kini salah seorang staf dari staf ahli Bupati
Lembata.
Terima kasih Bung
Saba Paul, yang telah mengingatkan kembali kisah sedih yang menimpa hampir
seribu jiwa di Waiteba, Juli 1979. Saya ingin mengambil bagian dalam mengenang
bencana itu, walau baru sehari meninggalkan rumah sakit. Seorang jurnalis harus
merasa terpanggil untuk langsung berada di lapangan melaporkan apa yang
dilihatnya, apa yang sudah terjadi, atau apa yang bakal terjadi. Berawal dari
informasi yang saya terima dari adik saya, Welhelmus Rohi, seorang vulcanolog
lulusan Jepang, tentang Gunung Hobal di dasar laut Sawu yang berhadapan dengan
Pulau Lembata. Adik saya adalah satu di antara dua vulcanolog di dunia yang berhasil
menanggulangi bencana besar dengan menciptakan gunung api baru. Seorang
vulcanonolog lainnya menciptakan hal yang sama di Mexico. Tetapi hal ini akan
saya tulis kemudian karena sedang mengedit bukunya.
Mendengar peristiwa
besar yang akan menimpa Kota Waiteba, saya bergegas ke sana, dengan biaya
sendiri sebagaimana kebiasaan saya kala melakukan hal-hal yang berkaitan dengan
kemanusiaan.
Di Larantuka,
kebetulan saya bertemu dengan dua pejabat daerah, yang kebetulan juga ketika
kuliah di Kupang kost di rumah saya. “No Piet, sebaiknya jangan pergi ke sana,
gempa sudah sering terjadi. Berbahaya”, ujar keduanya. Tapi justru itulah yang
membuat saya “bernafsu” ke Waiteba. Kapal motor yang menuju Lewoleba hanya ada
pada hari pasar. Tetapi di pantai saya menyewa sebuah perahu berlayar satu,
yang saya kemudikan sendiri menuju pantai terdekat, Loang. Hari telah malam,
saya menginap di rumah Camat Hillarius(Hilarius Hali Ruing BA). Pagi subuh camat yang berbaik hati
mengirim seorang pegawainya membawa surat-surat ke Lewoleba, tetapi sebenarnya
ia ingin agar saya tidak berjalan sendiri. Hampir siang kami berhenti di tenda
para penyelam mutiara. Kami makan siang di situ dengan daging kerang mutiara.
Lezat sekali. Saat berpamitan saya dihadiahi sebuah mutiara kecil dari mereka
sebagai kenangan. Beberapa jam berjalan menyusuri pantai, tampak beberapa
perempuan membawa ember menuju pantai. Ternyata mereka menimba air tawar pada
beberapa mata air yang muncul saat air laut surut. Tentu saja saya merasakan
air tawar Lembata yang memang nyaman apalagi saat sedang haus.
Malam itu juga saya
menemui Pembantu Bupati Sumarmo mengatakan niat saya ke Waiteba. Pagi hari ia
mengutus pegawainya Michael, mantan bruder di Solo menemani saya sambil
memantau kondisi Waiteba dan Gunung Hobal. Kami mengambil jalan memotong yang
harus mendaki tiga gunung terjal mirip kerucut. Ketika dahaga sudah tidak
tertahankan, kami singgah di kampungnya mantan Ketua DPRD NTT Jan Kiapoli. Kami
disuguhi tuak asam (laru). Hari mulai senja kami bertemu Camat Atadei Yusuf
Doru ditemani seorang pegawainya yang akan menuju Lewoleba. Kami hanya bercakap
sebentar. Malam hari di rumah Kepala Desa Waiteba saya heran karena disediakan
air panas di kamar mandi. “Sumur-sumur di sini sudah mendidih,” kata Kepala
Desa menjelaskan. Keesokan harinya Hari Minggu, perempuan-perempuan menuju ke
gereja menyusuri pantai sambil di tangannya pemintal benang menari-nari. Di
pantai tampak ikan-ikan besar terdampar bagai sudah direbus.
Sejak semalam gempa
terus-menerus. Saya dan Michael mendaki bukit untuk membuat foto-foto. Tetapi
bukit itu pun longsor dan kami berguling-guling bersama bebatuan. Saya hanya
menjaga tustel Canon FTB agar tidak lepas dan tenggelam di antara batu-batu.
Hari itu juga kami bergegas pamit. “Jangan lupakan kami, pesan seorang ibu.
Kami juga Golkar,” Saya tidak tahu makna pesan itu, tapi tentu ia mengharapkan
pemerintah agar segera turun tangan. Kali ini memilih menyusuri pantai dan
mendaki menuju sebuah desa, di mana kami bermalam di rumah Kepala Desa. Ia baru
tiba dari Jakarta dan menyarankan kami pagi-pagi bergegas ke desa pantai di
sana ada sebuah kapal motor menuju Lewoleba.
Dari Lewoleba saya
dengan kapal motor yang memuat masyarakat dari pasar menuju Larantuka. Penuh
sesak. Saya sudah tidak sabar lagi memberitakan apa yang saya saksikan dan
menyatakan keprihatinan agar mesyarakat Waiteba segera diungsikan. Gubernur Ben
Mboy marah besar membaca berita saya. ia datang ke sana dengan serombongan
orang dan KNPI NTT. Ia memberikan kecaman pada berita saya, setelah mencabut
sebatang ubikayu di ladang petani. “Ini tanah sangat subur. Jangan percaya pada
itu wartawan”, kata Ben Mboy, KNPI pun ikut berjanji “kalau terjadi apa-apa,
kami yang akan menyelamatkan saudara-saudara.”
Beberapa bulan
kemudian bencana besar itu sungguh-sungguh terjadi. Gubernur diam, dan KNPI pun
tak pernah datang menyelamatkan mereka. Waiteba sudah senyap, di bukitnya
tinggal pohon-pohon eukaliptus yang memutih dan meranggas. Tiada siapa-siapa,
kecuali saya yang menangis sendirian karena tak bisa meyakinkan negara untuk
segera menyelamatkan saudara-saudara saya itu. Semoga Tuhan menyertai mereka di
alam sana.
Itu kisah om Peter
A Rohi kepada rekan Paul Saba. Tentang beliau saya agak menyesal juga karena
beberapa kali janjian bertemu di Taman Ismail Marzuki, Cikini, selalu gagal.
Peter Rohi selalu bertaruh waktu mengerjakan banyak tugas terutama menulis
kisah-kisah sejarah. Namun, rasa rindu terobati tatkala diberi buku Pak Irjen
Pol (Purn) Drs Y. Uly Jacki, MH, kolega om Peter Rohi dari tanah Raihawu, Sabu
Raijua. Buku berjudul Polisi di Wilayah Konflik karya Pak Jacki Uly. Jacki
adalah salah seorang perwira tinggi polisi asal NTT yang lama berkecimpung di
bidang Resimen Gegana Brimob dan mengemban tugas-tugas di luar negeri dalam
Misi Perdamaian Dunia PBB. Buku karya Pak Jacki dikawal om Peter A Rohi sebagai
editor.
Siapa Peter A Rohi?
Peter lahir di Timor pada 14 November 1942. Ia adalah wartawan senior dan
anggota veteran. Ia adalah purnawirawan KKO-Angkatan Laut. Tahun 1971-1985
bekerja sebagai jurnalis Sinar Harapan. Pernah pula didapuk jadi Redaktur
Pelaksana/Redpel SUARA INDONESIA Malang, Redpel JAYAKARTA, Redpel Harian SURYA
Surabaya, Wakil Pemimpin Redaksi SUARA BANGSA Jakarta, Litbang Harian SINAR
HARAPAN Jakarta, Pemred KARAWANG BEKASI. Ia juga pernah menjabat Ketua Dewan
Redaksi Majalah INTERVIEW PLUS Jakarta, Ketua Dewan Pakar Majalah INDEPENDENT
Surabaya, dan Produser WARTA TV.com. Beberapa film dokumenter karyanya antara
lain Tragedi Rawagede, Lansia-lansia Gerson Poyk dan Jugu Ianfu di Pulau Buruh.
Sedangkan buku karyanya: Selamat Pagi Surabaya, Riwu Gah, Natuna: Kapal Induk
Amerika dan Soekarno Sebagai Manoesia.
Pagi ini, kabar
duka datang dari Joaquim Rohi di Moskow. Amatana Joaquim, putra om Peter Rohi
mengabarkan sang ayah berpulang. “Papa kami, Peter Apollonius Rohi, pulang ke
rumah Bapa di surga, pukul 06.45 di RKZ Surabaya, 10 Juni 2020,” katanya.
Joaquim mengisahkan, sejak ibunda terkasih meninggal akhir Januari 2020 lalu,
kondisi ayahnya semakin menurun. Seakan kehilangan semangatnya. Jiwanya yang
kuat, runtuh seketika, saat ditinggal mama. “Bapa di sorga kini telah
mempertemukan mereka berdua kembali. Kali ini dalam kekekalan sorgawi. Terima
kasih atas segala perhatian buat beliau selama ini. Mohon dimaafkan jika ada
salah,” kata Joaquim Rohi dalam laman Facebook-nya. Selamat jalan, om Peter A
Rohi. Terima kasih atas dedikasimu bagi bangsa dan negara melalui semangat dan
karyamu. Terima kasih sudah memberi saya tentang arti terdalam pengabdianmu di
jalur media. “Ansel, menulis dengan hati sesungguhnya adalah mewakili juga
emosi dan sentimental, semangat dan roh banyak orang. Itu yang om lakukan
sepanjang masa,” kata Om Peter Rohi kepada saya via inbox Facebook pada 14
November 2015 pukul 21.13 WIB. Terima kasih juga pernah singgah di Waiteba dan
Lembata. Kami anak-anak kampung tentu mengenangmu selalu sebagai jurnalis hebat
dan rendah hati. Selamat jalan, amatana. Bahagia di rumah Bapa di Surga.
Jakarta, 10 Juni 2020
Ansel Deri
Orang udik dari kampung Kluang;
Mengenang wartawan Peter
A Rohi
Sumber: radarntt.co, 10 Juni 2020
Saya sangat mengapresiasi ulasan menarik dari Kaka Ansel Deri terkait "Peter A Rohi dan Waiteba" yang sangat menginspirasi saya selaku anak kampung dari Kalikasa Desa Katakeja Kecamatan Atadei, dan artikel ini juga memberikan pesan moral di Tahun 1979 bagi kita semua anak-anak Lembata yang berada di tanah rantau untuk senantiasa memberikan sumbangan gagasan dan materil terkait bencana banjir pada Minggu Paskah,04 April 2021, di mana Kajian Pemberitaan dari Wartawan Peter A Rohi untuk mengingatkan Pengambil Kebijakan Pemerintah NTT saat itu sebelum Bencana Tsunami Waiteba 1979, tidak ditanggapi serius oleh Penguasa NTT saat itu dan di Tahun 2021 ini, banyak warga masyarakat kita di Ileape mengalami dampak langsung bencana banjir...lantas apakah Kemauan Politik dari Pemerintah Lembata dan NTT dalam hal pencegahan bencana ataupun program pemulihan dan Reboisasi atau Relokasi atau kajian atas kondisi Topografi Pulau Lembata mulai dari Tahun 1980 sampai 2020? ini hanya sekedar catatan sederhana dan intropeksi buat saya selaku anak Kampung Kalikasa yang sekarang merantau di Kabupaten Pulau Morotai Provinsi Maluku Utara. Salam Harum_Lembata
ReplyDelete