Headlines News :
Home » » Pilkada dan Kontraktor Politik

Pilkada dan Kontraktor Politik

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, February 08, 2010 | 6:59 PM


Max Regus
Rohaniwan Keuskupan Ruteng, Alumnus Pasca Sarjana Sosiologi UI, tinggal di Jakarta

HARIAN Pos Kupang menurunkan tulisan dengan judul menarik, Jangan Persoalkan Peringkat IPM NTT (21/1/2010). Ini merujuk pada pendapat Gubernur Frans Lebu Raya berkaitan dengan posisi Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang mendekam di urutan 31 dari 33 propinsi se Indonesia.

Benar, saat Pak Gubernur mengatakan bahwa kondisi IPM ini harus melahirkan motivasi untuk mengusahakan kesejahteraan rakyat. Namun, beliau keliru saat mengungkapkan bahwa kita tidak perlu mempersoalkan posisi IPM NTT yang sedemikian buruk itu.

Hal kedua yang menjadi pendapat Pak Gubernur berpeluang menjadi alasan munculnya pembusukan politik dan kekuasaan. Dalam artian, prestasi IPM yang selalu mendekam di urutan terbawah merupakan refleksi atas kinerja para penguasa lokal. Yang paling bertanggungjawab adalah pemerintah. Institusi yang mempunyai kewajiban menyelenggarakan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat (publik). Mereka harus memastikan bahwa rakyat memiliki tingkat kesejahteraan yang secara berangsur naik kualitasnya.

Urusan politik publik tidak sama dengan urusan rohani yang lebih menekankan orang melakukan introspeksi diri. Apa yang diungkapkan Pak Gubernur berlawanan dengan esensi politik yang selalu mempunyai hasrat membongkar serba keanehan sosial. Termasuk kondisi IPM masyarakat NTT. Ini hanya sebuah contoh bahwa penyelewengan tidak hanya berkaitan dengan penggunaan keuangan negara, melainkan terutama cara pandangan sempit para penguasa. Parahnya, pandangan itu berusaha disuarakan di hadapan publik. Di seberang kultur politik kekuasaan ini, dengan lekas muncul kegalauan membangun proses politik lokal konstruktif, terutama dalam perhelatan pilkada pada sejumlah daerah, seperti Kabupaten Manggarai dan Manggarai Barat, di NTT pada tahun ini. Keseluruhan proses Pilkada yang dapat memunculkan bupati dan wakil bupati yang dedikatif dalam tindakan dan ucapan mereka.

Konfigurasi

Sesuatu yang menentukan arah mengenai pembangunan pada pencapaian kemakmuran rakyat adalah konstelasi elite kekuasaan lokal. Komunitas elite kekuasaan, dengan jaringan pada kekuatan partai politik dan birokrasi lokal, memiliki posisi kunci untuk membangun suasana pembangunan yang mendukung kehidupan publik. Bukan hanya citra politik personal pejabat publik, melainkan politik pelayanan yang memperjuangkan desah hasrat rakyat ke panggung pembangunan.

Merujuk pada pendapat Mattei Dogan (2003) dalam buku Elite Configuration At the Apex of Power, proses politik pada level mana pun pada muaranya adalah pembentukan konfigurasi elite. Di sini, ada pertukaran kepentingan antar kelompok elite yang menentukan bandul politik. Namun, dalam konteks lokal, implikasinya dapat terjadi pada kebuntuan demokrasi. Setidaknya, para elite cenderung hanya memperkuat barisannya. Dengan tujuan meraup keuntungan ekonomi-politik untuk klan politik terbatas.

Risikonya, publik tidak mengalami sentuhan-sentuhan yang lebih maju, prospektif dan revolusioner dalam kerangka strategi dan pilihan kebijakan lokal. Situasinya akan bertambah runyam manakala para penguasa yang dihasilkan dari sebuah proses politik akan menganggap diri sebagai 'puncak' strata sosial politik yang harus diikuti semua kata-katanya dan disetujui semua tindakannya.

Konfigurasi elite lokal dikendalikan semangat mengutamakan kepentingan diri, kelompok, dan keluarga sendiri. Maka, tidak mengherankan manakala jaringan famili seorang pejabat publik akan menganggap jabatan yang ada menjadi milik keluarga. Tidak mengherankan orang-orang yang masuk dalam jaringan keluarga dekat seorang kepala daerah merasa seperti pejabat juga. Kebijakan pembangunan dengan turunannya pada proyek-proyek pembangunan seolah menjadi milik mereka sendiri. Yang dapat diatur peruntukannya sesuai dengan kebutuhan sendiri. Matei Dagon memimpin riset politik dan demokrasi lokal di Asia untuk memastikan peta elite lokal yang cenderung mencari keuntungan sendiri.

Rubah-Singa

Proses politik seperti pilkada yang akan dilaksanakan tahun ini merupakan format pembentukan sirkulasi elite lokal. Pusat proses politik ini tetap berada di lingkaran elite lokal. Rakyat akan memilih pejabat publik yang akan memimpin daerah mereka sesuai dengan standar kebutuhan publik. Mereka yang akan bergerak secara politik dengan mutu kepemimpinan tertentu di tengah cerita suramnya IPM NTT. Mereka yang dipercaya memiliki kapasitas untuk mengeluarkan rakyat (daerah) dari penjara kemiskinan.

Namun, sinyalemen pemikir politik klasik Vilfredo Pareto bahwa sirkulasi elite merupakan pergantian kultur dan perilaku elite, dengan karakter 'rubah' yang rakus dan 'singa' yang kejam, cenderung mendapatkan pembenaran dalam praktek politik kita. Lebih parah lagi, gambaran elite lokal yang merupakan kombinasi dua karakter ini. Tak salah jika kita meminjam gagasan tajam Pareto untuk melihat bagaimana elite lokal memproduksikan kelakuan kekuasaan yang meminggirkan kepentingan publik. Pilkada potensial memunculkan 'para rubah' yang rakus, sekaligus 'para singa' yang kejam dan kasar. Saat tersadar, kita langsung menyaksikan bahwa para pejabat yang menerima mandat politik rakyat tidak lebih daripada sekedar 'kontraktor politik' yang mengurus pembangunan lokal di atas perhitungan untung rugi kelompok, keluarga, dan jejaringnya.

Ini memperkuat sebuah kenyataan yang menyisakan kerisauan bahwa teori demokrasi dan pengalaman demokrasi bagaikan jurang yang teramat lebar. Sebetulnya, kita sudah cukup pandai memproduksikan banyak terobosan penting dalam politik. Namun, kepiawaian itu belum sepenuhnya terdorong energi positif-konstruktif. Demokrasi belum menjadi bagian dari perilaku kekuasaan. Itulah ysng kadang tersaksikan dalam panggung politik kekuasaan lokal. Dapat dibayangkan bagimana nasib publik (rakyat) berhadapan dengan pola pembentukan lingkaran elite yang justru menumpulkan ketajaman intuisi sosial mendongrak kemajuan warga politik. Rakyat hanya berhadapan dengan polesan pembangunan minimalis yang sudah membeku, sekadar sebagai rutinitas program turun-temurun, dari satu rezim kekuasaan, ke rezim berikutnya.

Kreator

Dengan itu, amat penting menjembatani tegangan -- meminjam apa yang ditulis pemikir politik Robert A. Dahl - The Democratic Theory and Democratic Experience (1996), ideal pilkada dan pemimpin daerah yang dihasilkannya. Bukan hanya bicara tentang demokrasi. Bukan hanya bicara soal keunggulan lokal. Melainkan seorang bupati yang mampu menciptakan suasana politik, sosial, ekonomi baru yang menyelamatkan warganya. Kepala daerah yang mengerti betapa mendesaknya membangun kemandirian lokal, mengejar ketertinggalan kualitas manusia, dan praktik pembangunan berkelanjutan dengan harga mati pada perlindungan ekologi (lingkungan hidup).

Untuk mengerjakan ini memang dibutuhkan tidak sekedar pengurus partai politik, politikus, birokrasi dan wakil rakyat. Tidak juga segera percaya pada seorang bupati (incumbent) yang berjuang membangun citra politik untuk meraih kembali kursi kekuasaan, di tengah kemandekan proses menuju kemandirian lokal. Jika kita menganggap seorang bupati sudah tampil sebagai 'rubah' atau 'singa' yang rakus, namun mampu mendikte kesadaran warga politik sebagai bupati yang dekat dengan rakyat, di tengah banyak kehancuran yang terungkap, maka para intelektual, akademisi, aktivis pro demokrasi harus berdiri paling depan membongkar 'kesenyapan' geliat politik warga.

Ini menegaskan sebuah prinsip demokrasi bahwa rakyat (publik) dan segenap elemen civil society seperti lingkungan akademik, institusi agama, LSM, kelompok penekan lainnya merupakan 'pencipta' utama bangunan politik lokal. Rakyat harus berani membongkar manipulasi politik dan kebaikan kekuasaan yang coba membius kesadaran politik warga. Awasan yang disampaikan Transparancy International Indonesia (TII) bahwa pilkada rawan korupsi, terutama dalam bentuk kelakuan para incumbent yang ingin menyelamatkan kekuasaan melalui 'perbuatan baik' dengan menggunakan uang negara, harus dimaknai sebagai panggilan politik untuk menghadang laju para 'kontraktor politik' dalam kancah pilkada mendatang.
Sumber: Pos Kupang, 8 Februari 2010
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger