Berbagai kasus hukum bertubi-tubi mendera negeri ini. Bersamaan dengan penahanan dua pimpinan KPK akhir tahun 2009, mencuat rekaman yang mengindikasikan adanya praktik mafia hukum. Saat terheran-heran atas temuan kamar ”penjara” yang mewah, kita dibuat penasaran, bagaimana akhir kasus dana talangan Bank Century.
Ada apa dengan hukum kita? ”Hukum di negeri ini bobrok akibat penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Terjadi krisis kepercayaan luar biasa terhadap penegakan hukum,” kata Saldi Isra (41), ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.
Saldi adalah salah satu pemikir muda yang produktif menulis dan melontarkan gagasan. Sebagai dosen di kampus yang berjarak dari kekuasaan, pikirannya jernih dan kritis. Analisisnya kuat karena ditunjang teori sekaligus penelitian di lapangan.
Lelaki ramah ini juga cukup egaliter. Saat berbincang dengan Kompas di sela pertemuan dengan DPR di Senayan, Jakarta Selatan, pertengahan Januari lalu, dia santai saja duduk lesehan di lantai. Saat itu, Saldi tengah bersiap menyambut pengukuhan dirinya sebagai guru besar tata negara di Fakultas Hukum Universitas Andalas pada 11 Februari 2010 mendatang.
Menurut Saldi, hukum di Indonesia bisa dicermati dalam tiga tingkatan: substansi hukum, kesadaran hukum di masyarakat, dan penegak hukum. Dalam semua level itu, pencapaian kita masih payah.
Dilihat dari substansi hukum, sekarang sudah banyak produk undang-undang (UU). Sayangnya, produk itu belum banyak merespons kepentingan masyarakat, bahkan malah kerap merugikan publik. Umpamanya, banyak UU politik yang dirancang untuk kepentingan jangka pendek partai politik.
Lihat saja, sebagian anggota DPR sekarang memunculkan wacana agar anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dipilih dari orang-orang partai. ”Ini cara berpikir mundur dan hanya untuk kepentingan sesaat. Jika orang partai masuk dalam komisi itu, KPU sulit independen,” katanya.
Untunglah, UU itu pelan-pelan dapat dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagian pengaduan sudah dikabulkan.
Dalam level kesadaran hukum, masyarakat kita juga masih sangat permisif terhadap perilaku penyimpangan. Bukan rahasia lagi, demi memperlancar urusan, banyak orang siap menyuap. ”Ini sangat membahayakan.”
Tragis
Kerusakan lebih tragis berlangsung pada level penegak hukum. Banyak kasus mengungkapkan terjadinya praktik penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Itu terjadi di lingkungan kejaksaan, kepolisian, pengadilan, sampai pengacara. ”Semua itu gambaran, betapa bobrok institusi penegak hukum kita.”
Ambil contoh kasus rekaman Anggodo Widjoyo yang memperlihatkan skenario kriminalisasi dua pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Jika benar, berarti kepolisian bukan mengabdi untuk kepentingan hukum, tetapi untuk pemodal, makelar, dan kepentingan politik.
Gambaran serupa juga terbaca dari temuan kamar mewah Artalyta Suryani alias Ayin di penjara. Saat bersamaan, pengacara ikut memperkeruh karut-marut penegakan hukum.
Ketika institusi yang sudah ada dianggap gagal menangani kasus korupsi, dibentuklah KPK dan diberi wewenang besar. Sayang, komisi ini belakangan malah digembosi oleh berbagai institusi formal, termasuk DPR. Malah, kini dilaporkan ada mafia hukum di KPK.
Pembentukan Satgas Mafia Hukum justru seperti pengakuan bahwa memang ada ketidakberesan dan ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga formal. ”Semua institusi hukum di negeri ini sudah rusak. Kerusakannya sudah mahasempurna.”
Apa akar kerusakan itu?
Kerja penegakan hukum itu adalah pengabdian mulia yang harus dijaga kehormatannya. Sayangnya, sikap ini masih lemah di kalangan polisi, jaksa, hakim, atau pengacara di sini.
Kita justru terperangah oleh kekeroposan institusi penegak hukum. Mereka semakin berperilaku hedonis; mereka terlalu gampang menggadaikan amanah demi meraih keuntungan.
Ingat saja skandal Ayin dan jaksa Urip Tri Gunawan. Begitu kasus terungkap, orang marah dan menghujat kejaksaan. Sebenarnya momen ini bisa menjadi pintu masuk untuk mereformasi kejaksaan. Namun, ternyata hujatan itu gagal memperbaiki perilaku penegak hukum di Indonesia.
Sebaliknya, malah kemudian muncul kasus-kasus baru. Skandal terbesarnya adalah kasus Anggodo yang mengancam kepolisian dan kejaksaan.
Jika dibiarkan rusak, apa yang akan terjadi?
Hukum tidak akan menjadi jalan keluar lagi. Uanglah yang akan menggerakkan negeri ini. Orang berduit yang bakal menentukan semuanya. Tidak ada lagi tempat mencari keadilan. Indonesia menjadi negara yang gagal melindungi warganya.
Refleksi
Di tengah ancaman menjadi negara gagal, Saldi tetap optimistis, masih ada celah untuk mengatasi kerusakan hukum di negeri ini. Dia mengajak semua pihak untuk berefleksi, mencari jalan keluar, lantas sama-sama memperbaikinya.
Saldi menilai, kalangan perguruan tinggi harus serius berkaca diri, kenapa wajah hukum—yang sebagian dijalankan sarjana hukum—menjadi runyam seperti sekarang? Adakah metode pembelajaran yang salah?
Kampus, terutama fakultas hukum, harus dibangun sebagai media melahirkan generasi baru yang berkomitmen menjaga idealisme hukum. Para mahasiswa dan dosen disadarkan, betapa bahayanya kerusakan hukum dan betapa mendesak menanganinya.
Institusi penegak hukum juga perlu memperbaiki sumber dayanya. Proses perekrutan untuk menjadi polisi, jaksa, atau hakim penting dibenahi. Selain berdasar nilai, tolok ukur penerimaan penegak hukum harus melalui penilaian watak. Seseorang yang terbukti berwatak buruk jangan diluluskan menjadi petugas hukum.
Setelah menjadi pegawai, watak baik itu masih harus dikawal dengan sistem punishment and reward. Orang baru bisa naik pangkat kalau menunjukkan kinerja dan moralitas tinggi. Sebaliknya, sanksi diberikan kepada siapa pun yang menyimpang.
Hukuman itu dibuat sebagai terapi. Jika sanksi internal atau administratif belum memadai, kesalahan serius perlu diganjar hukuman pidana. Itu akan menimbulkan rasa takut dan berpotensi meluruskan watak.
Pejabat yang terbukti korup jangan hanya dipenjara, tetapi juga dimiskinkan. Penjara tak membuat orang kapok karena setelah keluar, seseorang yang punya uang tetap bisa membeli harga diri lagi. ”Kalau pelaku korupsi dimiskinkan, misalnya dengan menarik semua uang yang dinikmati keluarganya, pasti mereka takut.”
Saat bersamaan, sistem hukum dibenahi. Di sini, DPR punya peran besar. Para wakil rakyat dapat meninjau ulang semua ketentuan di wilayah penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa, pengacara, sampai KPK. Aturan di antara semua institusi itu dibenahi agar tak ada lagi ruang untuk berkelahi atau menyalahgunakan kewenangan.
Bagaimana sistem yang baik untuk KPK?
KPK jangan dikurangi kewenangannya, termasuk soal penyadapan. Berikan keleluasaan bagi komisi ini untuk membongkar kasus-kasus korupsi. Kalau perlu, buatkan pengadilan dan rumah tahanan tersendiri.
Kita perlu mencari anggota KPK yang kredibel, bersih, dan berani memberantas korupsi. Saya percaya, masih ada hakim, polisi, atau jaksa yang baik.
Bagaimana posisi MK?
MK didorong menjadi kekuatan yang mengecek, mengimbangi, dan mengoreksi proses legislasi di DPR. Begitu ada pembuatan UU yang dianggap tidak benar dan merugikan publik (apalagi didukung legislatif dan eksekutif), adukan kasusnya ke MK. Biarkan mahkamah ini menuntaskannya.
Tentu saja, hakim MK harus menjaga kualitas putusannya. Apa pun latar belakangnya, ketika terpilih jadi hakim di situ, mereka menjadi negarawan. Mereka dituntut menjadi ”malaikat” yang tak tergoda iming-iming apa pun.
Perbaikan hukum menjadi mungkin dengan semakin kuatnya civil society. Setidaknya itu terlihat dari desakan masyarakat untuk membebaskan Bibit dan Chandra serta pada kasus Prita Mulyasari. Lewat sarana komunikasi internet, masyarakat menghimpun diri dan mengkritik kekuasaan penegak hukum dan negara yang dianggap zalim.
Semua upaya perbaikan tadi membutuhkan langkah konkret pemerintah. Sayangnya, semangat reformasi hukum dan pemberantasan korupsi dari pemerintahan sekarang kian menurun. Puncaknya, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tampak tidak peduli ketika KPK diserang kiri-kanan, padahal dia bisa mencegahnya.
”Dalam penanganan korupsi sekarang, SBY seperti tersesat di tengah jalan. Janganlah terus tersesat. Kembalilah ke pangkal jalan demi memimpin negeri ini menjadi lebih baik,” tegas Saldi.
Century
Kini, kita menghadapi skandal Bank Century. Kasus ini tengah menjadi ujian bagi semua pihak. Bagi SBY, pengungkapan kasus ini jadi titik penting untuk membuktikan, bagaimana dia sebenarnya. Juga seberapa jauh peran dan keterlibatan dia dan partainya.
Bagi KPK, ini adalah tes, apakah komisi itu berani masuk dan memproses indikasi korupsinya. DPR juga ditantang lewat pansus yang bisa menjadi tempat penyelesaian politik yang kredibel. Apa pun hasil pansus, argumentasinya harus jelas.
Jika kasus Century tidak terselesaikan dengan baik, apalagi kemudian dibereskan lewat negosiasi atau lobi-lobi politik, dampaknya akan serius. Orang kemudian berpikir, gampang sekali merampok uang negara, lalu menyelesaikannya lewat negosiasi politik.
”Kita harus melihat kasus Century sebagai momentum untuk memperbaiki keadaan. Ini ujian yang paling tinggi bagi para penegak hukum, DPR, pemerintah, dan terutama KPK.”
Anak Petani yang Profesor
Bagi Saldi Isra, menjadi guru besar alias profesor hukum tata negara pada Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, adalah kejutan. ”Dalam keluarga saya yang berlatar belakang petani, pencapaian akademis setinggi itu luar biasa, bahkan nyaris tidak bisa dipercaya,” katanya.
Pernyataan itu tak terlalu berlebihan. Ayah Saldi, Ismail (almarhum), memang seorang petani dengan sawah kecil. Ismail tak lulus SD. Ibu Saldi, Ratina (almarhumah), buta huruf.
Pasangan yang tinggal di Solok, Sumatera Barat, itu punya tujuh anak. Saldi anak keenam. Akibat kesulitan biaya, hanya Saldi dan salah satu kakaknya yang bisa kuliah sampai jadi sarjana. Itu pun harus dijalani dengan penuh perjuangan.
Saldi kuliah pada Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, tahun 1990, setelah dua kali gagal masuk Jurusan Teknik Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada semester-semester awal, dia harus berjibaku kuliah sambil kerja.
Dia nyambi mengajar di Madrasah Aliyah di Paninggahan, Solok. Untuk itu, pada akhir pekan, dia rela harus bolak-balik melaju dengan bus umum dari Padang ke Solok sejauh 100 kilometer.
Saldi rajin mengikuti program belajar bersama. Katanya, selain meningkatkan pemahaman atas mata kuliah, dari situ dia kadang mendapat bantuan. ”Saya sering makan di rumah teman saat belajar bersama.”
Saking terbatasnya keuangan, Saldi hanya punya beberapa baju. Pakaian itu terus dipakai secara bergantian. ”Saya tak pernah pacaran. Jangankan apel sama pacar, untuk biaya kuliah saja berat.”
Untunglah, prestasi Saldi bagus. Pada tahun ketiga, dia pun mendapat beasiswa. Tahun 1995, dia lulus dengan predikat summa cum laude.
Pilihan jurusan hukum tata negara membuat Saldi merasa beruntung. Selain para ahli tata negara sangat terbatas, jurusan ini memberinya keleluasaan untuk mengembangkan pemikiran. Dia juga rajin menerbitkan buku dan menulis di media massa. Dari tulisan-tulisan itulah, dia muncul sebagai pemikir hukum tata negara yang menonjol di Tanah Air.
Saldi mengambil kuliah program master di University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia, kemudian program doktor di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, lulus tahun 2009. Tak lama setelah lulus, kini dia menjadi profesor hukum tata negara kedua di Universitas Andalas.
Apa yang dilakukannya dengan pencapaian akademis itu?
”Saya akan meluangkan lebih banyak waktu untuk mendidik mahasiswa. Saya ingin mendorong lahirnya generasi baru demi membangun masyarakat,” katanya. (Ilham Khoiri & Susana Rita Kumalasanti)
Ada apa dengan hukum kita? ”Hukum di negeri ini bobrok akibat penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Terjadi krisis kepercayaan luar biasa terhadap penegakan hukum,” kata Saldi Isra (41), ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, Padang, Sumatera Barat.
Saldi adalah salah satu pemikir muda yang produktif menulis dan melontarkan gagasan. Sebagai dosen di kampus yang berjarak dari kekuasaan, pikirannya jernih dan kritis. Analisisnya kuat karena ditunjang teori sekaligus penelitian di lapangan.
Lelaki ramah ini juga cukup egaliter. Saat berbincang dengan Kompas di sela pertemuan dengan DPR di Senayan, Jakarta Selatan, pertengahan Januari lalu, dia santai saja duduk lesehan di lantai. Saat itu, Saldi tengah bersiap menyambut pengukuhan dirinya sebagai guru besar tata negara di Fakultas Hukum Universitas Andalas pada 11 Februari 2010 mendatang.
Menurut Saldi, hukum di Indonesia bisa dicermati dalam tiga tingkatan: substansi hukum, kesadaran hukum di masyarakat, dan penegak hukum. Dalam semua level itu, pencapaian kita masih payah.
Dilihat dari substansi hukum, sekarang sudah banyak produk undang-undang (UU). Sayangnya, produk itu belum banyak merespons kepentingan masyarakat, bahkan malah kerap merugikan publik. Umpamanya, banyak UU politik yang dirancang untuk kepentingan jangka pendek partai politik.
Lihat saja, sebagian anggota DPR sekarang memunculkan wacana agar anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) dipilih dari orang-orang partai. ”Ini cara berpikir mundur dan hanya untuk kepentingan sesaat. Jika orang partai masuk dalam komisi itu, KPU sulit independen,” katanya.
Untunglah, UU itu pelan-pelan dapat dipersoalkan di Mahkamah Konstitusi (MK). Sebagian pengaduan sudah dikabulkan.
Dalam level kesadaran hukum, masyarakat kita juga masih sangat permisif terhadap perilaku penyimpangan. Bukan rahasia lagi, demi memperlancar urusan, banyak orang siap menyuap. ”Ini sangat membahayakan.”
Tragis
Kerusakan lebih tragis berlangsung pada level penegak hukum. Banyak kasus mengungkapkan terjadinya praktik penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang. Itu terjadi di lingkungan kejaksaan, kepolisian, pengadilan, sampai pengacara. ”Semua itu gambaran, betapa bobrok institusi penegak hukum kita.”
Ambil contoh kasus rekaman Anggodo Widjoyo yang memperlihatkan skenario kriminalisasi dua pimpinan KPK, Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah. Jika benar, berarti kepolisian bukan mengabdi untuk kepentingan hukum, tetapi untuk pemodal, makelar, dan kepentingan politik.
Gambaran serupa juga terbaca dari temuan kamar mewah Artalyta Suryani alias Ayin di penjara. Saat bersamaan, pengacara ikut memperkeruh karut-marut penegakan hukum.
Ketika institusi yang sudah ada dianggap gagal menangani kasus korupsi, dibentuklah KPK dan diberi wewenang besar. Sayang, komisi ini belakangan malah digembosi oleh berbagai institusi formal, termasuk DPR. Malah, kini dilaporkan ada mafia hukum di KPK.
Pembentukan Satgas Mafia Hukum justru seperti pengakuan bahwa memang ada ketidakberesan dan ketidakpercayaan terhadap lembaga-lembaga formal. ”Semua institusi hukum di negeri ini sudah rusak. Kerusakannya sudah mahasempurna.”
Apa akar kerusakan itu?
Kerja penegakan hukum itu adalah pengabdian mulia yang harus dijaga kehormatannya. Sayangnya, sikap ini masih lemah di kalangan polisi, jaksa, hakim, atau pengacara di sini.
Kita justru terperangah oleh kekeroposan institusi penegak hukum. Mereka semakin berperilaku hedonis; mereka terlalu gampang menggadaikan amanah demi meraih keuntungan.
Ingat saja skandal Ayin dan jaksa Urip Tri Gunawan. Begitu kasus terungkap, orang marah dan menghujat kejaksaan. Sebenarnya momen ini bisa menjadi pintu masuk untuk mereformasi kejaksaan. Namun, ternyata hujatan itu gagal memperbaiki perilaku penegak hukum di Indonesia.
Sebaliknya, malah kemudian muncul kasus-kasus baru. Skandal terbesarnya adalah kasus Anggodo yang mengancam kepolisian dan kejaksaan.
Jika dibiarkan rusak, apa yang akan terjadi?
Hukum tidak akan menjadi jalan keluar lagi. Uanglah yang akan menggerakkan negeri ini. Orang berduit yang bakal menentukan semuanya. Tidak ada lagi tempat mencari keadilan. Indonesia menjadi negara yang gagal melindungi warganya.
Refleksi
Di tengah ancaman menjadi negara gagal, Saldi tetap optimistis, masih ada celah untuk mengatasi kerusakan hukum di negeri ini. Dia mengajak semua pihak untuk berefleksi, mencari jalan keluar, lantas sama-sama memperbaikinya.
Saldi menilai, kalangan perguruan tinggi harus serius berkaca diri, kenapa wajah hukum—yang sebagian dijalankan sarjana hukum—menjadi runyam seperti sekarang? Adakah metode pembelajaran yang salah?
Kampus, terutama fakultas hukum, harus dibangun sebagai media melahirkan generasi baru yang berkomitmen menjaga idealisme hukum. Para mahasiswa dan dosen disadarkan, betapa bahayanya kerusakan hukum dan betapa mendesak menanganinya.
Institusi penegak hukum juga perlu memperbaiki sumber dayanya. Proses perekrutan untuk menjadi polisi, jaksa, atau hakim penting dibenahi. Selain berdasar nilai, tolok ukur penerimaan penegak hukum harus melalui penilaian watak. Seseorang yang terbukti berwatak buruk jangan diluluskan menjadi petugas hukum.
Setelah menjadi pegawai, watak baik itu masih harus dikawal dengan sistem punishment and reward. Orang baru bisa naik pangkat kalau menunjukkan kinerja dan moralitas tinggi. Sebaliknya, sanksi diberikan kepada siapa pun yang menyimpang.
Hukuman itu dibuat sebagai terapi. Jika sanksi internal atau administratif belum memadai, kesalahan serius perlu diganjar hukuman pidana. Itu akan menimbulkan rasa takut dan berpotensi meluruskan watak.
Pejabat yang terbukti korup jangan hanya dipenjara, tetapi juga dimiskinkan. Penjara tak membuat orang kapok karena setelah keluar, seseorang yang punya uang tetap bisa membeli harga diri lagi. ”Kalau pelaku korupsi dimiskinkan, misalnya dengan menarik semua uang yang dinikmati keluarganya, pasti mereka takut.”
Saat bersamaan, sistem hukum dibenahi. Di sini, DPR punya peran besar. Para wakil rakyat dapat meninjau ulang semua ketentuan di wilayah penegakan hukum, mulai dari polisi, jaksa, pengacara, sampai KPK. Aturan di antara semua institusi itu dibenahi agar tak ada lagi ruang untuk berkelahi atau menyalahgunakan kewenangan.
Bagaimana sistem yang baik untuk KPK?
KPK jangan dikurangi kewenangannya, termasuk soal penyadapan. Berikan keleluasaan bagi komisi ini untuk membongkar kasus-kasus korupsi. Kalau perlu, buatkan pengadilan dan rumah tahanan tersendiri.
Kita perlu mencari anggota KPK yang kredibel, bersih, dan berani memberantas korupsi. Saya percaya, masih ada hakim, polisi, atau jaksa yang baik.
Bagaimana posisi MK?
MK didorong menjadi kekuatan yang mengecek, mengimbangi, dan mengoreksi proses legislasi di DPR. Begitu ada pembuatan UU yang dianggap tidak benar dan merugikan publik (apalagi didukung legislatif dan eksekutif), adukan kasusnya ke MK. Biarkan mahkamah ini menuntaskannya.
Tentu saja, hakim MK harus menjaga kualitas putusannya. Apa pun latar belakangnya, ketika terpilih jadi hakim di situ, mereka menjadi negarawan. Mereka dituntut menjadi ”malaikat” yang tak tergoda iming-iming apa pun.
Perbaikan hukum menjadi mungkin dengan semakin kuatnya civil society. Setidaknya itu terlihat dari desakan masyarakat untuk membebaskan Bibit dan Chandra serta pada kasus Prita Mulyasari. Lewat sarana komunikasi internet, masyarakat menghimpun diri dan mengkritik kekuasaan penegak hukum dan negara yang dianggap zalim.
Semua upaya perbaikan tadi membutuhkan langkah konkret pemerintah. Sayangnya, semangat reformasi hukum dan pemberantasan korupsi dari pemerintahan sekarang kian menurun. Puncaknya, saat Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tampak tidak peduli ketika KPK diserang kiri-kanan, padahal dia bisa mencegahnya.
”Dalam penanganan korupsi sekarang, SBY seperti tersesat di tengah jalan. Janganlah terus tersesat. Kembalilah ke pangkal jalan demi memimpin negeri ini menjadi lebih baik,” tegas Saldi.
Century
Kini, kita menghadapi skandal Bank Century. Kasus ini tengah menjadi ujian bagi semua pihak. Bagi SBY, pengungkapan kasus ini jadi titik penting untuk membuktikan, bagaimana dia sebenarnya. Juga seberapa jauh peran dan keterlibatan dia dan partainya.
Bagi KPK, ini adalah tes, apakah komisi itu berani masuk dan memproses indikasi korupsinya. DPR juga ditantang lewat pansus yang bisa menjadi tempat penyelesaian politik yang kredibel. Apa pun hasil pansus, argumentasinya harus jelas.
Jika kasus Century tidak terselesaikan dengan baik, apalagi kemudian dibereskan lewat negosiasi atau lobi-lobi politik, dampaknya akan serius. Orang kemudian berpikir, gampang sekali merampok uang negara, lalu menyelesaikannya lewat negosiasi politik.
”Kita harus melihat kasus Century sebagai momentum untuk memperbaiki keadaan. Ini ujian yang paling tinggi bagi para penegak hukum, DPR, pemerintah, dan terutama KPK.”
Anak Petani yang Profesor
Bagi Saldi Isra, menjadi guru besar alias profesor hukum tata negara pada Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, adalah kejutan. ”Dalam keluarga saya yang berlatar belakang petani, pencapaian akademis setinggi itu luar biasa, bahkan nyaris tidak bisa dipercaya,” katanya.
Pernyataan itu tak terlalu berlebihan. Ayah Saldi, Ismail (almarhum), memang seorang petani dengan sawah kecil. Ismail tak lulus SD. Ibu Saldi, Ratina (almarhumah), buta huruf.
Pasangan yang tinggal di Solok, Sumatera Barat, itu punya tujuh anak. Saldi anak keenam. Akibat kesulitan biaya, hanya Saldi dan salah satu kakaknya yang bisa kuliah sampai jadi sarjana. Itu pun harus dijalani dengan penuh perjuangan.
Saldi kuliah pada Fakultas Hukum Universitas Andalas, Padang, tahun 1990, setelah dua kali gagal masuk Jurusan Teknik Institut Teknologi Bandung (ITB). Pada semester-semester awal, dia harus berjibaku kuliah sambil kerja.
Dia nyambi mengajar di Madrasah Aliyah di Paninggahan, Solok. Untuk itu, pada akhir pekan, dia rela harus bolak-balik melaju dengan bus umum dari Padang ke Solok sejauh 100 kilometer.
Saldi rajin mengikuti program belajar bersama. Katanya, selain meningkatkan pemahaman atas mata kuliah, dari situ dia kadang mendapat bantuan. ”Saya sering makan di rumah teman saat belajar bersama.”
Saking terbatasnya keuangan, Saldi hanya punya beberapa baju. Pakaian itu terus dipakai secara bergantian. ”Saya tak pernah pacaran. Jangankan apel sama pacar, untuk biaya kuliah saja berat.”
Untunglah, prestasi Saldi bagus. Pada tahun ketiga, dia pun mendapat beasiswa. Tahun 1995, dia lulus dengan predikat summa cum laude.
Pilihan jurusan hukum tata negara membuat Saldi merasa beruntung. Selain para ahli tata negara sangat terbatas, jurusan ini memberinya keleluasaan untuk mengembangkan pemikiran. Dia juga rajin menerbitkan buku dan menulis di media massa. Dari tulisan-tulisan itulah, dia muncul sebagai pemikir hukum tata negara yang menonjol di Tanah Air.
Saldi mengambil kuliah program master di University of Malaya, Kuala Lumpur, Malaysia, kemudian program doktor di Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, lulus tahun 2009. Tak lama setelah lulus, kini dia menjadi profesor hukum tata negara kedua di Universitas Andalas.
Apa yang dilakukannya dengan pencapaian akademis itu?
”Saya akan meluangkan lebih banyak waktu untuk mendidik mahasiswa. Saya ingin mendorong lahirnya generasi baru demi membangun masyarakat,” katanya. (Ilham Khoiri & Susana Rita Kumalasanti)
Sumber: KOMPAS, 7 Februari 2010
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!