Peoples' Friendship
University of Russia-Moscow
SEDERETAN aksi kejahatan terorisme belakangan
ini, tak bisa lagi dilihat sebagai potongan-potongan kejahatan kemanusiaan yang
bersifat spontan, aksidental, dan fragmentaris. Sebab, terdapat pertalian
sistematis yang menghubungkan kekacauan politik parpol-parpol dengan kejahatan
kemanusiaan tersebut.
Pemeriksaan dua
arah terhadap kelakuan politik mereka dalam kaitannya dengan aksi-aksi teror
tersebut sangat diperlukan. Pertama, pemeriksaan horizontal dan bersifat
langsung dengan pertumbuhan semai-semai terorisme. Wujudnya dalam rupa bangunan
relasi yang bersifat eksploitatif timbal balik dengan sayap-sayap ormas-ormas
primordial-radikal. Kedua, pemeriksaan vertikal dalam kaitannya dengan
political standing position parpol-parpol dalam berbagai kebijakan.
Konservatisme politik
Membaca tindak
tanduk terorisme tidak bisa mengesampingkan gelagat politik parpol-parpol yang
ada. Gelagat itu menyuguhkan tegangan antara radikalisme politik di satu sisi
yang diwakili oleh golongan penganut tatanan demokrasi liberal, dan
konservatisme politik di sisi lain yang diwakili oleh golongan penganut tatanan
nilai-nilai tradisional seperti dogma-dogma agama. Ketegangan ini tak hanya
bermain di tingkat elite, tetapi sudah dan sedang bergejolak di akar rumput.
Gejolak itu
menghasilkan letupan-letupan konflik yang mengerikan. Letupan di tingkat elit
berupa konflik-konflik kepentingan seperti yang disuguhan oleh lembaga
legislatif, dari pusat hingga daerah. Bangsa ini disuguhkan segudang tunggakan
proses dan penetepan legislasi. Satu yang menjadi sorotan terkini adalah RUU
Terorisme pasca beberapa peristiwa berdarah tersebut.
Sementara, letupan
di akar rumput berwujud pembelahan masyarakat ke dalam kotak-kotak organisasi
(baca: ormas-ormas), agama, kelompok, dan sebagainya. Yang tampak secara kasad
mata adalah bertumbuh suburnya ormas-ormas bermantel agama, terlepas dari apakah
mereka semata menjadi kuda tunggangan yang dieksploitasi untuk kepentingan
politik atau tidak. Namun, ormas-ormas ini berpotensi besar menjadi kaki-kaki
tempat pijakan berdiri kokohnya konservatisme politik Burkean (J. Losco-L.
William, Political Theory, 2003).
Konservatisme
politik yang dimaksudkan itu adalah paham penyatuan atau perkawinan agama dan
negara. Idealnya, relasi keduanya bisa berjalan baik sejauh agama berada pada
posisi suportif; bersifat mendukung terhadap negara sesuai porsinya dan “tidak
melompat pagar” ke ranah hukum yang berlaku umum. Poin ini penting ditekankan,
apalagi dalam negara majemuk suku-agama-ras. Masalahnya, konservatisme politik
semacam ini bisa berbelok ke arah yang menyesatkan dan sangat riskan bagi
negara plural.
Kehadiran dan
kelakuan-kelakuan destruktif ormas-ormas berbaju agama, misalnya, tidak bisa
lagi kita lirik hanya dengan mata sebelah kiri. Eksistensi mereka bukan semata
konsekuensi logis dari kebebasan berkumpul dan berpendapat yang disediakan
demokrasi. Sebab, persemaian konservatisme kelompok atau ormas-ormas ini bisa
sangat mempengaruhi dan menggoda kelakuan parpol-parpol demi perebutan
kekuasaan.
Relasi keduanya tak
hanya bersifat eksploitatif timbal balik pada level kuantitatif (lumbung
suara), namun bisa masuk hingga ke level pengaruh timbal balik yang bersifat
kualitatif. Artinya, parpol-parpol tidak lagi memakai mereka semata sebagai
kuda tunggangan dalam merebut kekuasaan, tetapi bisa menjadi kolaborator
membangun politik konservatif karena kesamaan keyakinan atas nilai-nilai
tradisional.
Eksploitasi massa
konservatif dalam berbagai bentuk dan beberapa peristiwa, katakanlah dalam
aksi-aksi demonstrasi misalnya, merupakan pemberian ruang terhadap benih-benih
primordialisme secara terang-terangan. Sampai pada titik tertentu, mereka tidak
lagi dipakai sebagai alat tekan politik, tetapi bisa berbuntut pada upaya
memboyong bangsa ini ke negara berideologi tertutup.
Siapa yang untung?
Sejarah hampir seluruhnya mencatat bahwa model negara demikian, apalagi di
negara berbangsa majemuk, tidak mampu menyelamatkannya dari kehancuran. Ia
tidak pula menjamin kesejahteraan rakyatnya, atau menguntungkan agama,
ormas-ormas atau masyarakatnya secara keseluruhan, selain kehancuran total
karena permusuhan, konflik yang berujung perang saudara. Terorisme menjadi
salah satu wujud destruktif dari proses itu.
Politik komplementaris
Menyelesaikan
masalah terorisme di negeri ini mesti dimulai dari gerakan rehabilitasi
kelakuan elite-elite politik. Disebut rehabilitasi karena bangsa ini
sesungguhnya sedang sakit parah dan mengalami gangguan mental. Gangguan itu
tentu bersifat top-down; elite-elitenya
bermasalah dan secara otomatis masyarakat di akar rumput mengalami kekacauan
karena benturan-benturan kepentingan, yang menghasilkan masyarakat penuh
kecurigaan.
Salah satu sumber
persoalannya adalah disorientasi politik di tingkat elite. Politik yang
dihasilkan dominan berupa kebisingan, sekaligus menjadi tanda ketidakmatangan
parpol-parpol dalam menjalankan fungsinya sebagai pengeras suara rakyat kepada pemerintah
dan menjadi telinga pemerintah untuk mendengar suara rakyat. Yang disuguhkan
justru politik kekanak-kanakan. Derajat egoisme partai lebih dominan ketimbang
bicara kepentingan publik.
Kondisi ini
menghasilkan disfungsi-disfungsi di berbagai level (agama, organisasi
mahasiswa, ormas-ormas, lembaga pendidikan, LSM-LSM, dan seterusnya) karena
semua terperangkap ke dalam eksploitasi dan instrumentalisasi untuk kepentingan
politik, ketimbang pendidikan politik. Padahal yang dibutuhkan bangsa ini
adalah politik komplementaris; saling melengkapi. Oposisi bukanlah musuh dan
yang pro-pemerintah bukanlah “kerbau dicucuk hidung”. Dengan cara ini,
setidaknya bangsa ini bisa secara perlahan keluar dari konservatisme politik.
Sumber:
Kompas, 28 Mei 2018
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!