Ia memilih tiga negara sebagai tujuan berkarya, yakni Bolivia, Indonesia, dan Portugal. Ternyata, ia diterima di Portugal.
MENJADI biarawati bagi Sr Maria Delia, SSpS, adalah profesi yang ia impikan sejak masih remaja. Niat itu muncul pada tahun 1990 saat ia duduk di bangku kelas 2 SMAK St Ignasius Loyola, Labuan Bajo, Keuskupan Ruteng, Manggarai Barat. Pilihannya jatuh pada Kongregasi Suster-Suster Pengabdi Roh Kudus atau SSpS.
Lahir sebagai anak kedua dari delapan bersaudara pasangan Nikodimus Nari dan Dortea Dasin, Sr Delia mengisahkan lebih jauh mengapa ia memutuskan hidup membiara. Biarawati kelahiran kampung Lancang, Labuan Bajo, Manggarai Barat, 22 Februari 1971 ini mengaku ia mau mempersembahkan hidupnya untuk keagunan nama Tuhan.
Sosok Santo Arnoldus Yanssen yang menjadi pelindung asrama di sekolahnya, diakui turut berpengaruh pada pilihannya menjadi biarawati. Karena itu, setelah lulus SMA Loyola Labuan Bajo tahun 1991, ia langsung memulai masa sebagai calon suster, aspiran di Biara SSpS Labuan Bajo.
Saat itu, jelasnya, banyak orang terutama keluarga dekat tak mengerti mengapa ia masuk biara. Pertanyaan terus berkelebat. Mengapa gadis desa seperti dirinya tidak memilih hidup berkeluarga.
“Jawaban saat itu hanya satu. Saya mau menjadi suster. Tak ada jawaban lain. Saya juga tidak memberikan penjelasan lebih detil kepada orang-orang dan keluarga dekat soal pilihan hidup menjadi biarawati,” kata Sr Delia.
Menuju Portugal
Sr Delia tak pernah bermimpi suatu saat menjadi misionaris di Portugal. Ia kembali merunut kisah bagaimana akhirnya ditugaskan di negeri ‘produsen’ pemain bola kaki kelas dunia itu. Pada masa persiapan untuk kaul kekal, masing-masing dari mereka diminta untuk memilih tiga negara sebagai tempat misi.
Tiga negara yang ia lamar adalah Bolivia, Indonesia, dan Portugal. Ternyata dari tiga negara yang yang ia usulkan, keluar Portugal. Sr Delia bahagia dengan keputusannya saat itu.
Setelah menjalani masa persiapan kaul kekal pada September 2002 hingga Juni 2003 di Halilulik, Keuskupan Atambua, Timor, ia mengikrarkan kaul kekal bersama keempat rekan suster pada 29 Juni 2003 di Gereja Katedral Ruteng, Manggarai. Saat itulah diumumkan secara resmi tanah misi yang akan dituju, yakni Portugal.
Menurutnya, setelah mengalami masa liburan bersama keluarga usai kaul kekal, kurang lebih satu bulan ia bertolak ke Surabaya, Jawa Timur untuk bergabung bersama rekan-rekan suster yang juga akan bertugas ke tanah misi.
Mereka menjalani Orientasi Misi Baru (OMB) selama dua bulan di Biara SSpS Mendut, Surabaya, Jawa Timur. “Pada 21 Oktober 2003 saya bertolak dari Surabaya melalui Singapura dan Frankfurt, Jerman dan tiba di Portugal pada 22 Oktober,” kenang Sr Delia.
Ia mengakui, tantangan saat awal di Portugal adalah soal bahasa pengantar. Menurutnya, ada kesulitan yang dihadapi karena saat berangkat hanya bermodal penguasaan bahasa yang sangat minim.
“Setelah dua hari tiba di kota Lisboa, saya langsung ke universitas untuk belajar bahasa. Lumayan juga susahnya dalam mempelajari Tata Bahasa Portugis.”
Usaha itu ternyata indah pada waktunya karena kesulitan itu bisa teratasi. Hingga kini, sudah tujuh tahun ia hidup dan berkarya di tengah-tengah para imigran dari daratan Afrika bersama dengan dua suster asal Brasil dan Austria.
Dampingi imigran
Sr Delia mengisahkan, setiba di Portugal ia tidak langsung bekerja. Ia masih butuh waktu hampir dua tahun untuk belajar. Setelah itu, ia mulai bekerja bersama dua rekan suster.
“Saya lebih banyak melakukan pendampingan bagi anak-anak dalam urusan pembinaan iman. Kami bertiga selalu kerjasama dalam menunaikan tugas-tugas yang telah dipercayakan,” katanya.
Sedangkan dua rekan suster yang lain bertugas mendampingi ibu-ibu dan gadis yang bermasalah, baik dalam rumah tangga maupun pekerjaan mereka.
Ia juga mengunjungi orang-orang jompo yang hidup sendiri dalam Bairro Social, Apartemen Sosial. Tak jauh dari Bairro Social tempat tinggalnya, ada sebuah kapel. Kapel itu juga menjadi pusat kegiatan pembinaan iman bagi orang dewasa dan anak-anak yang mempersiapkan diri untuk menerima Komuni Pertama, Baptis maupun Krisma.
Di Bairro Social, ada juga kelompok doa bagi orang lanjut usia dan yang sudah pensiun. Di sini, karya nyata Kongregasi SSpS adalah pastoral sosial yang didukung pemerintah setempat. Kerja sama yang terjalin baik bersama pemerintah diakuinya sangat membantu tugas perutusan mereka.
“Pemerintah meminta kami untuk tinggal di tengah-tengah para imigran. Rumah yang kami tempati adalah milik pemerintah. Di sini saya dan dua rekan tinggal. Komunitas kami merupakan bagian dari Regio SSpS Spanyol. Bairro Social kami terletak di Casal de Cambra, Lisboa. Selain kami, ada juga orang-orang Portugis yang tinggal di sini,” katanya.
Dalam keseharian, biarawati ini juga mengajar agama Katolik di SD milik pemerintah yang terletak tak jauh dari tempat tinggalnya. “Saya dipercaya sebagai penanggung jawab kelompok pembinaan imam anak-anak dan orang muda,” lanjut Sr Delia.
Menjadi pelayan Sabda di tanah misi bukan bebas tantangan. Oleh karena masyarakatnya berasal dari berbagai latar belakang kultur yang berbeda, kadang mereka tak saling memahami satu sama lain. Biaya hidup yang tinggi pun membuat semua orang sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Anak-anak menjadi korban karena kurang mendapat perhatian orang tua. Begitu pula dengan masalah pengangguran dan pencurian. Kondisi ini sangat terasa di lingkungan apartemen. “Banyak orang jadi korban pemutusan hubungan kerja menyusul terjadinya krisis ekonomi di beberapa negara,” katanya.
Baginya, doa sangat membantunya dalam menunaikan tugas di tanah misi. Tak ayal, ia selalu memegang motto hidupnya yang juga menjadi motto saat kaul kekal 29 Juni 2003 yaitu Kasih-Nya sempurna padaku yang dikutip dari 1 Yohanes 4:12.
Sekarang Sr Delia bertugas di Casal de Cambra, Lisboa, Portugal. Ia menjadi misionaris di negara di mana Bunda Maria menampakkan diri kepada tiga bersaudara: Lusia, Fransisko, dan Yasinta pada 17 Mei 1917 di Fatima.
Biarawati ini mengaku, selain berdevosi kepada Bunda Maria, ia juga berdoa bagi pendiri Kongregasi SSpS: Santo Arnoldus Yanssen dan co-pendiri: Santu Yosep Freinademetz, Beata Maria Helena Stollenwerk, dan Beata Yosefa Steinmas. (Ansel Deri)
Sr Maria Delia, SSpS
Riwayat Pendidikan:
• SDK Wae Medu 1979-1985
• SMPN Labuan Bajo 1985-1988
• SMAK St Ignasius Loyola Labuan Bajo, Flores, 1988-1991
• Institut Pastoral Indonesia (IPI) 2 semester di Filial Semarang, Jawa Tengah tahun 1999
• Tamat IPI di Filial Kefamenanu, Pulau Timor, Agustus 2002
Riwayat Panggilan/Penugasan:
• Bertugas di Komunitas SSpS Balela, Larantuka, Flores Timur, Desember 1994-Juni 1995
• Kaul pertama di Hokeng, Flores Timur, 8 Desember 1995
• Pernah bertugas di Komunitas St. Elisabet Lela, Maumere, Desember 1995-Januari 1998
• Pernah bertugas di Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, Januari-Juni 1999
• Menjadi misionaris di Regio Spanyol untuk Portugal sejak 22 Oktober 2003 sampai sekarang.
Sumber: HIDUP 13 Februari 2011
Ket foto: Sr. Maria Delia, SSpS (gbr 1) bersama dua rekannya dan anak-anak Afrika di tempat tugasnya, Casal de Cambra, Lisboa, Portugal (gbr 2).
Ket foto: Sr. Maria Delia, SSpS (gbr 1) bersama dua rekannya dan anak-anak Afrika di tempat tugasnya, Casal de Cambra, Lisboa, Portugal (gbr 2).
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!