PADA era 80-an, masyarakat Jakarta dan kota-kota di pulau Jawa diliputi perasaan galau dan cemas. Hal itu disebabkan maraknya aksi kriminal yang dilakukan para penjahat dan preman. Presiden RI saat itu, Soeharto, merasa terusik dengan adanya penguasa tanpa hukum yang mulai menjajah sudut-sudut kota.
Dalam pidato kenegaraan, 16 Agustus 1982, Presiden Soeharto meminta kepada kepolisian dan ABRI untuk mengambil tindakan keras terhadap penganggu keamanan dan ketertiban masyarakat itu. Seruan kepala negara itu kemudian diterjemahkan melalui “operasi clurit‘ atau lebih dikenal dengan operasi “Petrus‘ (penembak misterius).
Operasi rahasia itu diyakini dilakukan oleh aparat keamanan berupa penculikan dan pembunuhan terhadap para preman dan residivis. Mereka tidak dihukum, tapi “diselesaikan‘ di jalan. Selama tiga tahun, tak kurang 700 orang yang diduga crimineel, mati terbunuh di Jakarta, Jawa Tengah, dan Jogyakarta. Sebagian besar dengan luka tembak dan tangan terikat. Sebagian lagi dikarungi dan dibuang di hutan, sungai, atau dibiarkan di ruang publik.
Itulah praktik shock teraphy dari Sang Jenderal penuh senyum yang telah melahirkan pro-kontra, seperti dituliskan dalam biografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989).
Horor Kota
Tindakan Soeharto bisa dipahami dalam konteks sebagai pemimpin militer yang lebih memilih pendekatan represif dibandingkan hukum atau persuasif. Sebagai penguasa otoriter, ia tak ingin ada penguasa lain yang bisa menyaingi kekuasaannya. Namun tindakan di masa Orde Baru itu tak jua membunuh akar-akar kekerasan dan premanisme kota. Buktinya, premanisme kembali tumbuh subur, bahkan di era demokrasi seperti saat ini.
Kasus ala “Kill Bill‘ yang berlangsung di rumah duka RSPAD, 23 Februari lalu, yang menyebabkan dua orang tewas oleh tebasan pedang--konon dilakukan kelompok preman berbeda--adalah contoh bahwa premanisme masih menghantui Jakarta. Atau kasus tertangkapnya John Kei yang dianggap bertanggungjawab atas terbunuhnya bos PT. Sanex Steel Indonesia (SSI) di sebuah hotel bintang lima.
Kota-kota besar semakin horor oleh aksi kekerasan yang juga disponsori oleh ormas kepemudaan dan agama. Pendekatan kekerasan dan premanisme telah menggantikan peran aparat penegak hukum dalam menyelesaikan perselisihan hukum, ekonomi, dan sosial di tingkat masyarakat.
Hal ini tentu saja tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kota yang secara antropologis memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi, baik dari segi etnik, ekonomi, sosial, dan budaya. Kota-kota di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar telah menjadi megapolitan yang menjadi tempat pengharapan (the place of hope) sekaligus sauh perlindungan (anchor of refuge) bagi penduduknya.
Namun pada sisi lain juga berkembang menjadi pusat kriminal yang massif. Kelompok yang terpinggirkan inilah yang kemudian membentuk solidaritas sosial baru, baik berdasarkan asal-usul etnik atau ideologis (nasional/agama).
Outlaw Justice
Meski negara dan pemerintah kota telah mempersiapkan segala infrastruktur, termasuk hukum untuk membangun ketertiban umum dan keadilan agar setiap warga dapat memaksimalkan potensinya, namun dalam banyak kasus kota tidak mampu berbuat banyak bagi kelompok yang tidak beruntung. Yang paling menyedihkan adalah masyarakat miskin kota. Inilah komunitas yang tidak teregistrasi oleh pelayanan publik, seperti: pendidikan dan kesehatan; bahkan tidak dianggap sebagai warga dengan label penduduk ilegal.
Pada level di atasnya ada komunitas yang dikenal dengan istilah preman atau asosiasi kepemudaan yang menonjolkan pendekatan kekerasan dalam meresolusi masalah. Di Medan dikenal Pemuda Pancasila (PP) dan Ikatan Pemuda Karya (IPK) yang sering berseteru dalam memperluas lapak untuk menjadi penguasa tunggal kota. Di Jakarta dikenal Forum Betawi Rempug (FBR), Kelompok Pemuda Batak, Palembang, Timor, Flores, Ambon, Makassar, dan lain-lain. Di Bandung dikenal Gabungan Inisiatif Barisan Anak Siliwangi (GIBAS).
Wilayah yang menjadi pekerjaan mereka adalah di sektor informal, seperti: pengatur retribusi pasar, hiburan malam, jasa parkir, jasa pengamanan, penagih utang, bahkan juga perdagangan narkoba, judi, dan prostitusi. Dengan wilayah kerja yang “berisiko‘ itu tentu saja perilaku kriminal tak dapat dielakkan. Namun karena komunitas ini tetap diperlukan oleh elite ekonomi, politik, dan bahkan negara, maka keberadaan para preman ini mendapatkan legitimasi dan terus bertransformasi dalam sejarahnya, termasuk memperbaiki aspek kebertahanan sosial (social presistence), adaptasi, dan juga resistensi.
Makanya untuk situasi saat ini, sangat sulit mengurai dan memilah komunitas kota dengan komunitas preman. Keduanya telah larut dalam hubungan saling menguntungkan (simbiosis mutualisme), meski dalam beberapa hal juga merugikan dan mengisap (simbiosis parasitis).
Pendekatan shock teraphy seperti dilakukan pada masa Soeharto tentu sangat berisiko karena akan menimbulkan masalah hukum dan HAM. Namun di sisi lain pendekatan persuasif juga harus memiliki indikator yang jelas dan terukur untuk mengurangi aspek premanisme. Tak ada yang salah dengan pemuda bertindik dan preman bertato, namun yang menjadi masalah jika keberadaan mereka menyuburkan aksi premanisme dan kejahatan.
Kita tentu mengidamkan kota (city, polis, madinah) seperti telah dikenal sejak era Yunani Kuno lima abad sebelum masehi, sebagai tempat bagi masyarakat terdidik, terlatih dengan disiplin, pengetahuan, dan etika yang membentuk warga. Namun saat ini kota telah menjadi tempat yang riuh dengan barbarianisme. Kota tempat fajar peradaban tidak bersinar lagi. Kota bagi medium kesenian dan olahraga; eksposisi bagi pertunjukan, ritual, dan pertandingan memang masih ada. Namun suasananya menjadi begitu asing dari nilai-nilai keamanan, ketentraman, kepastian, dan persandingan pelbagai kebudayaan (multikulturalisme).
Kota telah dipenuhi parasit premanisme. Cara menyembuhkannya adalah memotong parasit dari negara yang telah menyebabkannya tumbuh dan berkembang. Negara preman lebih berbahaya dibandingkan masyarakat preman.Maka, kalau bisa, keduanya tidak perlu ada.
Dalam pidato kenegaraan, 16 Agustus 1982, Presiden Soeharto meminta kepada kepolisian dan ABRI untuk mengambil tindakan keras terhadap penganggu keamanan dan ketertiban masyarakat itu. Seruan kepala negara itu kemudian diterjemahkan melalui “operasi clurit‘ atau lebih dikenal dengan operasi “Petrus‘ (penembak misterius).
Operasi rahasia itu diyakini dilakukan oleh aparat keamanan berupa penculikan dan pembunuhan terhadap para preman dan residivis. Mereka tidak dihukum, tapi “diselesaikan‘ di jalan. Selama tiga tahun, tak kurang 700 orang yang diduga crimineel, mati terbunuh di Jakarta, Jawa Tengah, dan Jogyakarta. Sebagian besar dengan luka tembak dan tangan terikat. Sebagian lagi dikarungi dan dibuang di hutan, sungai, atau dibiarkan di ruang publik.
Itulah praktik shock teraphy dari Sang Jenderal penuh senyum yang telah melahirkan pro-kontra, seperti dituliskan dalam biografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989).
Horor Kota
Tindakan Soeharto bisa dipahami dalam konteks sebagai pemimpin militer yang lebih memilih pendekatan represif dibandingkan hukum atau persuasif. Sebagai penguasa otoriter, ia tak ingin ada penguasa lain yang bisa menyaingi kekuasaannya. Namun tindakan di masa Orde Baru itu tak jua membunuh akar-akar kekerasan dan premanisme kota. Buktinya, premanisme kembali tumbuh subur, bahkan di era demokrasi seperti saat ini.
Kasus ala “Kill Bill‘ yang berlangsung di rumah duka RSPAD, 23 Februari lalu, yang menyebabkan dua orang tewas oleh tebasan pedang--konon dilakukan kelompok preman berbeda--adalah contoh bahwa premanisme masih menghantui Jakarta. Atau kasus tertangkapnya John Kei yang dianggap bertanggungjawab atas terbunuhnya bos PT. Sanex Steel Indonesia (SSI) di sebuah hotel bintang lima.
Kota-kota besar semakin horor oleh aksi kekerasan yang juga disponsori oleh ormas kepemudaan dan agama. Pendekatan kekerasan dan premanisme telah menggantikan peran aparat penegak hukum dalam menyelesaikan perselisihan hukum, ekonomi, dan sosial di tingkat masyarakat.
Hal ini tentu saja tidak dapat dipisahkan dari perkembangan kota yang secara antropologis memiliki tingkat heterogenitas yang tinggi, baik dari segi etnik, ekonomi, sosial, dan budaya. Kota-kota di Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makassar telah menjadi megapolitan yang menjadi tempat pengharapan (the place of hope) sekaligus sauh perlindungan (anchor of refuge) bagi penduduknya.
Namun pada sisi lain juga berkembang menjadi pusat kriminal yang massif. Kelompok yang terpinggirkan inilah yang kemudian membentuk solidaritas sosial baru, baik berdasarkan asal-usul etnik atau ideologis (nasional/agama).
Outlaw Justice
Meski negara dan pemerintah kota telah mempersiapkan segala infrastruktur, termasuk hukum untuk membangun ketertiban umum dan keadilan agar setiap warga dapat memaksimalkan potensinya, namun dalam banyak kasus kota tidak mampu berbuat banyak bagi kelompok yang tidak beruntung. Yang paling menyedihkan adalah masyarakat miskin kota. Inilah komunitas yang tidak teregistrasi oleh pelayanan publik, seperti: pendidikan dan kesehatan; bahkan tidak dianggap sebagai warga dengan label penduduk ilegal.
Pada level di atasnya ada komunitas yang dikenal dengan istilah preman atau asosiasi kepemudaan yang menonjolkan pendekatan kekerasan dalam meresolusi masalah. Di Medan dikenal Pemuda Pancasila (PP) dan Ikatan Pemuda Karya (IPK) yang sering berseteru dalam memperluas lapak untuk menjadi penguasa tunggal kota. Di Jakarta dikenal Forum Betawi Rempug (FBR), Kelompok Pemuda Batak, Palembang, Timor, Flores, Ambon, Makassar, dan lain-lain. Di Bandung dikenal Gabungan Inisiatif Barisan Anak Siliwangi (GIBAS).
Wilayah yang menjadi pekerjaan mereka adalah di sektor informal, seperti: pengatur retribusi pasar, hiburan malam, jasa parkir, jasa pengamanan, penagih utang, bahkan juga perdagangan narkoba, judi, dan prostitusi. Dengan wilayah kerja yang “berisiko‘ itu tentu saja perilaku kriminal tak dapat dielakkan. Namun karena komunitas ini tetap diperlukan oleh elite ekonomi, politik, dan bahkan negara, maka keberadaan para preman ini mendapatkan legitimasi dan terus bertransformasi dalam sejarahnya, termasuk memperbaiki aspek kebertahanan sosial (social presistence), adaptasi, dan juga resistensi.
Makanya untuk situasi saat ini, sangat sulit mengurai dan memilah komunitas kota dengan komunitas preman. Keduanya telah larut dalam hubungan saling menguntungkan (simbiosis mutualisme), meski dalam beberapa hal juga merugikan dan mengisap (simbiosis parasitis).
Pendekatan shock teraphy seperti dilakukan pada masa Soeharto tentu sangat berisiko karena akan menimbulkan masalah hukum dan HAM. Namun di sisi lain pendekatan persuasif juga harus memiliki indikator yang jelas dan terukur untuk mengurangi aspek premanisme. Tak ada yang salah dengan pemuda bertindik dan preman bertato, namun yang menjadi masalah jika keberadaan mereka menyuburkan aksi premanisme dan kejahatan.
Kita tentu mengidamkan kota (city, polis, madinah) seperti telah dikenal sejak era Yunani Kuno lima abad sebelum masehi, sebagai tempat bagi masyarakat terdidik, terlatih dengan disiplin, pengetahuan, dan etika yang membentuk warga. Namun saat ini kota telah menjadi tempat yang riuh dengan barbarianisme. Kota tempat fajar peradaban tidak bersinar lagi. Kota bagi medium kesenian dan olahraga; eksposisi bagi pertunjukan, ritual, dan pertandingan memang masih ada. Namun suasananya menjadi begitu asing dari nilai-nilai keamanan, ketentraman, kepastian, dan persandingan pelbagai kebudayaan (multikulturalisme).
Kota telah dipenuhi parasit premanisme. Cara menyembuhkannya adalah memotong parasit dari negara yang telah menyebabkannya tumbuh dan berkembang. Negara preman lebih berbahaya dibandingkan masyarakat preman.Maka, kalau bisa, keduanya tidak perlu ada.
Sumber: Jurnal Nasional, 1 Mar 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!