Oleh Sarlito Wirawan Sarwono
Guru Besar
Fakultas Psikologi UI;
Dekan Fakultas
Psikologi Universitas Persada Indonesia
SEINGAT saya, Ratu Elizabeth II dinobatkan waktu saya masih umur 8 tahun,
masih imut banget dan tinggal di kota kecil (sekarang kota madya) Tegal, Jawa
Tengah. Waktu itu belum ada TV. Jadi saya melihat foto-fotonya di koran.
Ibu saya menjelaskan bahwa putri yang menunggang kuda itu adalah ratu
Inggris yang baru dinobatkan setelah ayahandanya Raja George VI wafat. Siapa
sangka, 20 tahun kemudian, sebagai dosen muda, saya belajar di Inggris.
Tepatnya di Edinburgh, ibu kota Skotlandia yang indah, tetapi superdingin.
Waktu itu Ratu Elizabeth II masih bertakhta, bahkan Pangeran Philip, suami
ratu, adalah duke di Edinburgh. Ketika itu popularitas ratu
Inggris masih sama dengan saat beliau dinobatkan.
Saya sering ngobrol dengan induk semang saya (ibu kos) Mrs Kinnel yang
sudah setua Eyang Putri saya saat itu, tentang keluarga raja. Kalau zaman
sekarang mirip dengan gosip infotainment, termasuk yang
jelek-jeleknya, Mrs Kinnel tidak bisa membayangkan sebuah United
Kingdom (Inggris) tanpa seorang raja atau ratu. Tapi yang paling
mengagumkan adalah perayaan Diamond Jubilee tahun 2012 ini,
yaitu upacara 60 tahun Ratu Elizabeth II bertakhta.
Luar biasa sekali. Ratusan ribu orang, tua muda, mengelu-elukan Ratu yang
melintas dengan kereta berkuda. Semua melambai-lambaikan bendera Union
Jack dan atau mengecat dirinya merah-putih-biru. Padahal sehari-hari
mereka hanya mengusung warna merah (Manchester United) atau biru (Manchester
City) atau putih (Fulham) saja. Prince Philip tidak bisa mendampingi
karena tiba-tiba sakit. Paduan suara anak-anak melantunkan nyanyian-nyayian doa
dengan suara mereka yang lembut dan jernih.
Padahal riwayat perjalanan hidup Elizabeth II jauh dari mulus. Sebagai ratu
pertama selepas Perang Dunia II, Elizabeth harus mengalami negaranya terlibat
perang-perang yang tiada henti di Irlandia Utara, Kepulauan Falkland, Irak, dan
Afghanistan. Secara politis dia ditekan terus oleh kaum Republikan yang tidak
menghendaki sistem monarki di Inggris. Di dunia ekonomi, Inggris ikut jatuh
bangun bersama krisis-krisis moneter,poundsterling naik turun
nilainya, dan negara-negara Uni Eropa mendesak Inggris supaya bergabung, yang
tidak diikuti Inggris.
Bahkan artis-artis komedian pun mengejek Ratu dalam lawakan-lawakannya. Dan
tentu saja keluarganya yang tidak henti dirundung kabar burung. Pada 1973,
waktu saya kuliah di Inggris (karena nggak lulus tes TOEFL untuk ke Amerika),
anak perempuan Elizabeth, Putri Anne, menikah dengan Kapten Mark Philips,
tetapi mereka bercerai pada 1992 (setelah menikah 19 tahun) sehingga banyak
yang menangis, tetapi lebih parah lagi ketika Lady Di bercerai dari Pangeran
Charles pada tahun yang sama dan kemudian tewas dalam kecelakaan di Paris pada
1997.
Walaupun demikian, semua itu tidak mengurangi kecintaan rakyat Inggris
terhadap ratunya. Tidak juga hujan, mendung, dan udara dingin yang menggigit
sampai ke tulang. Ratu Elizabeth tetap berdiri tegak, tersenyum, melambaikan
tangan kepada rakyatnya. Beliau masih cantik dan sehat pada usia 86 tahun,
empat tahun lebih muda dari ibu saya yang juga masih sehat dan cantik. Luar
biasa.
Fenomena Elizabeth II hanya dikalahkan oleh Ratu Victoria yang memerintah
Kekaisaran Inggris selama 73 tahun, yaitu sejak beliau dinobatkan pada 1838
pada usia 19 tahun (seusia para kontestan Indonesian Idol zaman sekarang)
sampai beliau wafat pada 1901 (pas tahun kelahiran Bung Karno) pada usia 81
tahun. Perbedaannya adalah Ratu Victoria hidup di zaman semua serba-
konservatif, perubahan sangat lambat karena rakyat Inggris masih agraris, dan
berbagai teknologi (mesin uap, listrik, dll) baru saja atau malah belum
ditemukan.
Pantaslah kalau Ratu Victoria bisa bertahan sekian lama. Sementara itu Ratu
Elizabeth hidup di abad XX dan XXI yang penuh temuan (dari kapal terbang sampai
komputer dan Twitter). Era pertanian yang konservatif berganti dengan era
industri yang serbainovatif dan cepat berubah, bahkan berganti lagi ke era
informasi yang super-duper dinamis. Elizabeth tetap berdiri
tegak, sementara raja-raja dan kepala-kepala negara yang lain satu per satu
tumbang, tidak tahan diterpa arus zaman yang lebih dahsyat ketimbang arus
tsunami (termasuk Bung Karno, Suharto, Husni Mubarak, Khadafi, dll).
Mengapa? Di sinilah letaknya kepiawaian seorang pemimpin. Ibaratnya pesilat
atau pegulat, dia harus berstamina tinggi sehingga tidak mudah lelah dan bisa
meladeni lawan selama apa pun. Lebih dari itu, Elizabeth II (semasa balita
dipanggil Lilybeth) sadar bahwa yang harus dikawalnya adalah konstitusi. Para
perdana menterinya boleh berpolitik, bersaing dengan negara lain, bahkan
berperang, tetapi Ratu menjaga agar tidak ada yang keluar dari konstitusi
(termasuk dalam mengumumkan perang).
Untuk itu dia betul-betul menjaga agar tradisi upacara-upacara kerajaan
dijalankan sebagaimana diatur dalam peraturan kerajaan. Dia tidak gegabah
mengurangi jumlah kuda penarik kereta, misalnya, apalagi mengganti kereta
berkuda (orang Betawi bilang: delman) dengan limusin (Betawi: bajaj).
Ujung-ujungnya, orang Inggris memang butuh kemapanan. Elton John, The Beatles,
dan punk rock memang merupakan bagian dari jiwa urakan
generasi muda di mana pun, tetapi sebagai bangsa Inggris, dari dalam kalbunya
yang sudah turun-temurun sekian generasi, generasi muda itu kembali ke
kemapanan Kerajaan Inggris.
Pernikahan Pangeran William dengan Catherine adalah salah satu harapan
rakyat Inggris untuk kembalinya kejayaan Kerajaan Inggris.
Dari kisah tentang Ratu Elizabeth II di atas, saya berkesimpulan bahwa
setiap manusia, kelompok, atau bangsa butuh penjuru atau pedoman yang tidak
berubah-ubah untuk mendapatkan rasa kemapanan. Penjurunya orang Inggris adalah
raja atau ratu. Wright or wrong my country! Titik.
Maka Inggris bisa bertahan di tengah-tengah perubahan. Begitu pula
negara-negara Eropa lainnya. Ada beberapa raja yang masih bertahan seperti di
Belanda, Belgia, dan Swedia, sedangkan sisanya sudah berbentuk republik, tetapi
mereka bertahan pada adat-istiadat masing-masing (bahasa, musik, sampai
politik). Ketika mereka bergabung pun hanya sebatas Uni Eropa. Sebaliknya orang
Amerika memang terbiasa dengan demokrasi murni. Peraturan tentang SIM (surat
izin mengemudi) pun berbeda-beda antarnegara bagian, tetapi bangsanya tetap kompak.
Namun jangan lupa, bangsa Amerika sudah merdeka selama 236 tahun (sejak 4
Juli 1776). Bahkan kalau dihitung sejak Christhoper Columbus menginjakkan
kakinya di Benua Amerika (1492) sudah 520 tahun bangsa Amerika menjalani
sejarahnya sebagai bangsa yang demokratis (sebagai antitesis dari sistem
monarki absolut yang pada zaman itu dominan di Eropa). Bagaimana dengan
Indonesia? Saya pribadi berpendapat bahwa orang Indonesia sebenarnya lebih
mirip orang Eropa atau orang Jepang yang berpenjuru kepada raja atau pemimpin
atau pada sistem budaya yang turun-temurun. Itulah sebabnya primordialisme
masih kental.
Rakyat ikut pemimpin, sedangkan pemimpin bersemedi meminta berkah Nyai Roro
Kidul atau sowan ke Kiai Langitan. Dengan begitulah orang Indonesia mendapatkan
rasa kemapanannya. Tapi sejak reformasi kita tiba-tiba mau demokrasi ala
Amerika atau berteokrasi ala Arab. Akibatnya amburadul, sampai sekarang, malah
naluri hewaniah bermunculan sehingga terjadilah korupsi, tawuran, baku fitnah,
dan sebagainya. Pokoknya hukum rimba.
Maka sekarang sudah saatnya kita stop reformasi dan menggantikannya dengan
restorasi, yaitu penataan ulang, memperbaiki yang salah-salah, yang
bocor-bocor, sehingga bangsa ini mendapatkan kembali rasa kemapanannya dan rasa
kenyamanannya.
Untuk itu ada dua hal saja yang perlu kita lakukan: pilih pemimpin kita
(sebaik mungkin, tetapi tidak mungkin betul-betul baik) dan sesudah itu kalau
ada kekurangan pada pemimpin kita, kita bantu untuk menyempurnakannya, bukan
cuma mengejeknya dan mau buru-buru ganti pemimpin.
Sumber: Sindo,
10 Juni 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!