Staf Khusus
Presiden Bidang Pembangunan Daerah
dan Otonomi Daerah
“Papua tanah damai”
atau “Papua land of peace” merupakan komitmen yang ditegaskan Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono (SBY) sejak 2004 lalu hingga saat ini. Pendekatan yang damai,
dialog, dan bermartabat menjadi pijakan Presiden SBY di dalam mengelola Papua.
Berulang kali
Presiden SBY selalu memberikan arahan kepada kementerian/ lembaga, termasuk
TNI/Polri, untuk mengelola Papua dengan hati, tidak berpikir business as usual,
perlu terobosan, dan bahkan thinking
outside the box. Ketika SBY mendapat amanah untuk menjadi presiden kedua kali,
maka sejak 20 Oktober 2009 pemerintah KIB II telah mendeklarasikan komitmennya
untuk menyelesaikan persoalan atas konflik yang masih terjadi di tanah Papua.
Setelah Aceh damai,
Papua menjadi pekerjaan rumah dari KIB II ini. Lima posisi dasar (standing
position) pemerintah bagi Papua adalah, pertama, menguatkan kedaulatan NKRI
dengan tetap menghormati keragaman dan kekhususan rakyat dan wilayah Papua.
Kedua, menata dan mengoptimalisasi pelaksanaan UU No 21/2001 perihal otonomi
khusus bagi Papua.
Ketiga, melakukan affirmative
policies sebagai sebuah
diskriminasi positif dan rekognisi atas hak-hak dasar rakyat Papua seperti
akses ke perguruan tinggi bermutu, karier di birokrasi dan TNI/Polri maupun
pengusaha asli Papua. Keempat, mendesain strategi, kebijakan, dan program,
termasuk pembiayaan, guna percepatan pembangunan wilayah dan pemberdayaan
rakyat Papua. Kelima, mengedepankan penghormatan atas HAM dan mengurangi tindak
kekerasan, baik yang dilakukan kelompok-kelompok separatis Papua maupun oknum
aparat negara di luar batas kepatutan.
Dengan lima posisi
dasar di atas, desain kebijakan yang komprehensif bagi tanah Papua telah
dirumuskan sejak periode II kepemimpinan SBY. Pertama, pemerintah membenahi
desain perencanaan untuk Papua.Pada langkah awal ini, agenda Papua diletakkan
secara khusus di dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)
tahun 2010–2014. Pemerintah membalikkan pendekatan dari sektoral menuju dimensi
kewilayahan yang lebih kental.
Konteks wilayah
yang luas dan zona ekologi yang beragam menjadi pijakan utama bagi pemerintah
untuk merumuskan kebijakan kluster-kluster kewilayahan yang sesuai dengan
budaya rakyat Papua. Untuk itu, Papua juga ditempatkan sebagai koridor
Papua-Kepulauan Maluku di dalam Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia (MP3EI).
Saat ini pula
pemerintah bersama pemda sedang menyelesaikan Rencana Tata Ruang Wilayah Papua
(RTRWP) yang menghormati hak-hak adat rakyat secara berkelanjutan. Hadirnya
Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua
dan Papua Barat (UP4B) ditujukan
pula untuk menyinergikan perencanaan sektoral dan regional bagi Papua. Kedua,
pemerintah membenahi desain regulasi untuk Papua.
Dengan
desentralisasi yang bersifat asimetris, Presiden SBY selalu menekankan agar
desain kebijakan dan program-program sektoral harus disesuaikan dengan konteks
ke-Papua-an dalam payung Otonomi Khusus. Di sinilah Presiden mendorong semua
regulasi sektoral agar sejalan dan selaras dengan semangat dasar dan prinsip-prinsip
utama dari otonomi khusus seperti regulasi perkebunan, perikanan, pertambangan,
kehutanan maupun regulasi politik pemilihan kepala daerah.
Penataan regulasi
itu tentu saja menyangkut aspek kewenangan dan urusan antarlevel pemerintahan
maupun lembaga- lembaga negara lainnya, baik MK, MA, DPR maupun lembaga lain.
Memang, masih ada kendala yang dihadapi untuk menyelaraskan desain sektoral dan
desain otonomi khusus.Hal ini adalah pekerjaan rumah kita.
Ketiga, sejalan
dengan tekad untuk mengedepankan aspek kesejahteraan,pemerintah serius untuk
membenahi desain pembiayaan untuk Papua. Dalam konteks itu, sejak 2005 hingga
2012 ini pemerintah melanjutkan desentralisasi fiskal bagi Papua dengan
meningkatkan alokasi dana baik dana kementerian/lembaga maupun dana perimbangan
serta dana otonomi khusus bagi Papua.
Tahun 2012 ini saja
pemerintah telah mengalokasikan dana sekitar Rp30 triliun untuk Provinsi Papua
dan Provinsi Papua Barat. Bahkan, untuk mendorong percepatan pembangunan tanah
Papua, dana sisa anggaran lebih (SAL) dalam APBN-P 2012 sebesar lebih dari Rp 3
triliun dialokasikan kepada Papua untuk peningkatan konektivitas ke seluruh
pelosok kampung Papua.
Sejalan dengan
keberpihakanalokasidanauntukPapuaitu, pemerintah kini berupaya keras untuk
melakukan renegosiasi kontrak karya pertambangan yang dirasakan tidak adil bagi
tanah Papua maupun Pemerintah Indonesia. Harapannya, hasil dari renegosiasi ini
menghadirkan manfaat social-ekonomi bagi rakyat kebanyakan di tanah Papua.
Keempat, pemerintah berupaya untuk menata desain kelembagaan pemerintahan
daerah Papua.
Dengan kekhususan
yang dimiliki dalam payung otonomi khusus,pemerintah selalu berikhtiar untuk
menguatkan kapasitas lembaga eksekutif, DPRP, dan MRP (Majelis Rakyat Papua).
Setelah status MRP terkatungkatung sejak 2001–2004, Presiden SBY berupaya keras
untuk menerbitkan PP No 54/2004 tentang MRP. Presiden SBY menghargai MRP
sebagai lembaga representasi kultural rakyat Papua karena lembaga ini mewadahi
utusan perempuan, adat, dan tokoh agama.
Demikian pula dalam
konteks kelembagaan ini, telah diterbitkan Desain Dasar Penataan Daerah (Desartada)
2010–2025 yang memberi ruang bagi hadirnya provinsiprovinsi baru di tanah Papua
sebagaimana diamanatkan dalam UU Otonomi Khusus. Bagi Presiden SBY, pemekaran
kelembagaan pemerintahan harus diletakkan pada penajaman pelayanan publik,
percepatan pembangunan, dan partisipasi rakyat dalam pembangunan dan politik
lokal.
Karena itu,
tidaklah benar jika ada pandangan bahwa pemerintah tidak memiliki desain pembangunan
Papua maupun pemerintah melakukan pembiaran terhadap rakyat Papua. Empat agenda
di atas merupakan bagian yang saling terkait dalam desain komprehensif bagi
Papua. Semua ini bisa jalan dalam situasi damai. Pemerintah sangat menjunjung
setiap anak bangsa di tanah Papua untuk bebas berekspresi sebagaimana amanat
dan tuntutan konstitusi 1945.
Setiap langkah
pemerintah diikhtiarkan untuk mewujudkan Papua tanah damai. “Perdamaian melalui
pembangunan” (peace through development) menjadi pedoman utama bagi pemerintah.
Papua tanah damai bukanlah tugas pemerintah saja untuk mewujudkannya, tetapi
hal ini merupakan tugas kolektif kita semua. Di sinilah komunikasi konstruktif
bagi Papua diletakkan, yakni komunikasi menuju Papua tanah damai.
Sumber: Sindo,
18 Juni 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!