Headlines News :
Home » » Memahami Metafora Jilbab

Memahami Metafora Jilbab

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, June 28, 2012 | 9:09 PM

Oleh Ahmad Sahidah
Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia

RENCANA penerapan aturan pakaian di Tasikmalaya menimbulkan penolakan. Penentangnya menegaskan bahwa negara tidak boleh memaksa warga untuk menggunakan model pakaian tertentu. Sayangnya, di kalangan Muslim sendiri, perdebatan di antara pendukung dan penentangnya belum beranjak dari persoalan normatif. Padahal, terbuka kemungkinan untuk menggeser perbedaan ini pada dialog yang lebih substansial.

Martabat perempuan harus dijaga bukan dengan sebatas tubuh yang harus mengenakan model pakaian tertentu, melainkan dari tangan-tangan jahat lewat pencitraan oleh iklan yang menjadikan badan mereka sebagai obyek. Di sinilah, analisis kajian budaya (cultural studies) diperlukan untuk memahami lebih jauh makna simbolik pakaian. Bukan sekadar penutup badan, melainkan juga sejumlah penanda atau kode

Bagaimanapun, televisi telah menjadi alat ampuh bagi industri untuk menjual barang hingga ke kamar tidur calon konsumen. Kaum perempuan dibuat tidak nyaman dengan keadaan dirinya, dan pada saat yang sama produk kecantikan menawarkan jalan keluar agar kaum Hawa ini tampil prima.

Hampir tak ada dari anggota tubuh perempuan yang tidak tersentuh oleh barang jualan, mulai dari kuku, rambut, kulit, mata, dan bahkan kemaluan. Padahal, ilmu kesehatan hanya menyarankan agar para perempuan tidur cukup, makan teratur, minum air putih, pengelolaan tekanan hidup (stress) dan berolahraga agar mereka nyaman dengan tubuhnya.

Dengan begitu, sepatutnya kontroversi terkait pakaian perempuan tidak hanya menyodorkan perintah normatif dengan mengabaikan sisi lain dari falsafah hukum atau ilat (sebab). Bagaimanapun, jilbab itu adalah penanda kehormatan bagi wanita. Di sini, pertimbangannya berkait dengan kepantasan.

Selain itu, akal sehat juga perlu dijadikan pertimbangan agar agama publik berada pada titik keseimbangan antara ekstrim liberal dan skriptural. Jilbab yang menyisakan muka dan telapak tangan telah diterima umum sebagai ciri khas Muslimah dibandingkan burqa. Konsekuensi logis dari ini tentu pertanggungjawaban moral dari simbol itu bahwa ia harus menjaga nilai etik yang diembannya.

Citra Sejati

Penutupan seluruh tubuh perempuan hakikatnya bisa dilihat sebagai perlawanan terhadap upaya menjadikan tubuh kaum Hawa ini sebagai obyek industrialisasi, mulai dari alat solekan (make up), mode hingga asupan (makanan diet dan supplemen). Ide kebebasan perempuan telah disalahgunakan untuk memuluskan kehendak pemodal dalam industri kecantikan.

Hampir seluruh media telah mengepung ruang gerak perempuan. Bahkan, diam-diam perempuan yang menggunakan jilbab pun tak bisa menghindar dari serbuan iklan. Bersama jilbab mereka, celana dan sepatu bermerk telah menjadi bagian dari fashion yang menyatu dengan ekspresi keagamaan.

Padahal, Cynthia M Frisby, ahli psikologi konsumen, menunjukkan data bahwa pendedahan (exposure) terhadap citra kecantikan ini secara negatif mempengaruhi kepercayaan diri perempuan sehingga menyebabkan mereka terjebak pada perilaku tidak sehat dan menjadi sangat tidak puas dengan citra tubuh dan daya tariknya (2004: 324).

Bahkan penelitian empiris lain menunjukkan, iklan produk kecantikan cenderung menciptakan ketidakbahagiaan di kalangan perempuan muda tentang tubuhnya. Memang, pernyataan ini disarikan dari pengalaman perempuan di Barat. Namun, mengingat iklan-iklan yang sama menyerbu masuk ke dalam ruang keluarga lewat televisi kita, maka secara hipotetis fenomena yang sama juga bisa diandaikan terjadi di sini.

Dari fakta di atas, fungsi agama seharusnya tidak lagi membebani perempuan dengan menaburkan ancaman. Bagaimanapun, dunia “gemerlap‘ yang ditawarkan oleh industri itu tak lebih dari fatamorgana. Karena itu, penekanan terhadap ajaran agama yang menyejukkan perlu ditonjolkan.

Para agamawan harus menawarkan kecantikan spiritual sebagai antitesis dari keayuan lahiriah. Penggeloraan nilai-nilai agama yang mengedepankan perilaku dan sikap harus mendapatkan tempat utama. Tetapi, menawarkan kehidupan asketik (nirduniawi) sebagai pelarian juga bukan jawaban. Hidup sehat dan perilaku yang baik adalah wujud kecantikan perempuan yang sempurna.

Agama vs Feminisme

Kedua kritik ini sebenarnya mengandaikan keberatan yang sama terhadap industrialiasi alat kecantikan bahwa tubuh perempuan perlu dilindungi dari produk pabrik yang cenderung membuat perempuan tidak nyaman dengan dirinya, meski dengan nada berbeda. Yang pertama terkesan normatif dengan hanya menyandarkan pada dalil-dalil skriptural, tanpa mau sedikit membuka pintu bagi alasan feminisme yang bersandar pada analisis ilmu sosial.

Sejatinya, keduanya bisa bertaut untuk menghadapi obyektivikasi perempuan yang telah diringkus menjadi obyek bendawi. Tidak lebih. Jiwa perempuan telah ditiadakan dan digantikan dengan secarik kain yang katanya memenuhi tren, solekan untuk menutup ketuaan, dan suplemen untuk menambah kesegaran.

Jika aurat perempuan tidak semata-mata ditutupi dalam pengertian verbal, tetapi juga metaforik, maka kehadirannya harus diterima apa adanya, tak perlu dipoles untuk menambah makin kinclong. Jadi, ironis jika ada kecenderungan jilbab yang terlalu ditingkahi fashion. Pernak-pernik yang bertebaran itu hakikatnya gagal memahami aurat metaforik. Selagi keindahan merupakan penempelan dari luar, maka kaum perempuan tidak akan pernah mempercayai dirinya. Ketergantungan pada benda luar telah merampas kesempatannya untuk merasa cukup dengan anugerah yang telah diterimanya.

Bagaimanapun, di tengah pertikaian batas aurat perempuan, kebanyakan ulama bersepakat bahwa seorang wanita hanya boleh menunjukkan muka dan telapak tangan. Lebih jauh, kebanyakan orang menganggap jilbab sebagai penanda menjadi Muslimah sempurna. Kadang, ia dijadikan pijakan untuk berhijrah dari kehidupan “liar‘ kepada kehidupan teratur, seperti ditunjukkan oleh janji para artis bahwa pada saatnya nanti ia akan menggunakan jilbab.

Tentu, tindakan seperti ini kadang disela dengan kritik bahwa yang perlu dijilbabi itu sebetulnya hati. Pernyataan yang terakhir ini mengandaikan ideologi Islam etik yang memang mementingkan perilaku, bukan sekadar selembar kain di kepala. Namun, akhirnya hiruk-pikuk ini harus kembali ke pangkal bahwa kaum perempuan harus dihormati karena kehadirannya, bukan karena benda-benda yang ditempelkan pada tubuhnya agar tampak cantik, yang sebenarnya dangkal.
Sumber: Jurnal Nasional, 28 Juni 2012
 
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger