Profesor
Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI
Hasil survei
mutakhir dari berbagai lembaga survei mengenai elektabilitas Partai Demokrat
membuat para elite politik partai berlambang segitiga biru itu mulai kalang
kabut.
Partai penguasa
yang perolehan suaranya sangat spektakuler, dari 7,5% pada Pemilu 2004 menjadi
21% pada Pemilu 2009, kini malah mengalami kemerosotan yang amat tajam menjadi
13% kemudian 12,3% atau bahkan kalangan dalam partai berani menyebut
elektabilitas Partai Demokrat kini tinggal 10%.
Jika para
jajaran elite partai tidak berupaya keras untuk menyelamatkan partai, bukan
mustahil Partai Demokrat hanya akan memperoleh 7,5% pemilih pada Pemilu 2014.
Bukan mustahil angkanya bahkan bisa di bawah angka batasan parlemen yang
dipatok 3,5%! Jika itu terjadi, the rise and fall of Democratic Party akan
menjadi kajian yang unik bagi para peneliti politik Indonesia.
Ada beberapa
penyebab menukiknya elektabilitas Partai Demokrat. Pertama dan yang paling
utama ialah merebaknya kasus-kasus korupsi yang melanda partai yang slogan
kampanyenya pada Pemilu 2009 amat bombastis ‘Katakan tidak pada Korupsi’.
Kedua, partai
yang juga mengutamakan kesantunan dalam berpolitik itu ternyata juga mengalami
konflik pada tataran atas partai dan bawah partai yang tidak jarang menunjukkan
ketidaksantunan dalam berpolitik.
Ketiga, tata
kelola Partai Demokrat benar-benar amburadul sehingga memperkuat asumsi penulis
sejak lama bahwa Partai Demokrat lebih sekadar fans club SBY
ketimbang sebenar-benarnya partai politik.
Keempat, terkait
dengan butir ketiga tersebut, ada kecenderungan politik di dalam Partai
Demokrat bahwa mereka yang ada di dalam partai sebagian ialah benalu-benalu
politik. Mereka tidak memiliki rasa memiliki dan perasaan kekitaan di dalam
partai. Mereka hanya menggunakan partai sebagai kendaraan politik untuk
mengejar keuntungan politik dan ekonomi.
Kelima, partai
itu seperti kacang lupa akan kulitnya. Itu bisa dilihat ketika para pendiri dan
deklarator partai ialah sosok manusia-manusia yang hanya dibutuhkan sampai
Pemilu 2004, tapi kemudian dibuang seperti pepatah habis manis sepah dibuang.
Keenam, jajaran
elite baru partai selalu melakukan politik tumpas kelor, yaitu mengganti
sebagian besar jajaran pengurus partai dari rezim sebelumnya. Itu tidak saja
terjadi pada tingkatan DPP partai seperti yang terjadi setelah Kongres 2005,
tetapi juga pada 2010.
Ketujuh,
ketidakberanian jajaran elite politik untuk mengambil tindakan konkret ketika
partai sedang limbung, tetapi malah menjadikan konflik dan persoalan di dalam
partai itu semakin membesar dan sulit dikendalikan.
Isu Korupsi
Isu korupsi
bukanlah hal yang baru di jajaran Partai Demokrat. Partai yang kampanyenya pada
Pemilu 2009 begitu menarik bagai medan magnet politik yang kuat dengan slogan `Katakan
tidak pada Korupsi' ternyata tak bebas dari kasus-kasus korupsi kecil dan
besar.
Kasus-kasus
korupsi seperti pengelolaan akomodasi haji di tanah suci, anggaran proyek
prasarana pendidikan bagi 16 perguruan tinggi negeri, anggaran proyek pembangunan
Wisma Atlet di Palembang, dan pembangunan pusat pendidikan dan latihan bagi
atlet di Hambalang, Bogor, ialah contoh kasus korupsi yang menimpa Partai
Demokrat.
Bukan hal yang
baru pula Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan
kepada jajaran partainya bahwa mereka yang tidak dapat menjaga kebersihan
partai dan berpolitik secara santun harus keluar dari Partai Demokrat.
Pernyataan itu terasa basi karena sudah diucapkan berulang-ulang terutama pada
Rapat Kerja Nasional Partai Demokrat di Sentul, Bogor, 2011, dan diulangi lagi
pada Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator Partai Demokrat (FKPD-PD) Rabu
(13/6) malam.
Kebiasaan buruk
lain dari Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat ialah selalu menuduh partai lain
juga melakukan korupsi. Misalnya, ketika beberapa lembaga swadaya masyarakat
(LSM) mempersoalkan pembengkakan anggaran pada pembelian pesawat tempur Sukhoi,
SBY juga menyatakan pembelian Sukhoi pada era Presiden Megawati Soekarnoputri
juga harus diusut tuntas. Kini ia juga memandang `remeh' kasus korupsi di
Partai Demokrat dengan menyatakan korupsi di tubuh Partai Demokrat hanya
dilakukan segelintir kecil orang, sementara partai-partai lain juga melakukan
korupsi!
SBY lupa bahwa
sorotan publik terhadap Partai Demokrat disebabkan partai itu secara
menggebu-gebu mengampanyekan slogan `Katakan tidak pada Korupsi'. Jika
slogan itu tidak dikumandangkan, mungkin terpaan badai terhadap partai itu
tidaklah sebesar saat ini.
Tata Kelola yang
Buruk
Partai Demokrat
ialah contoh partai yang tidak dikelola secara profesional. Partai itu juga
melupakan kerja keras para pendiri dan deklarator partai. Para pendiri dan
deklarator partai sebagian besar disingkirkan setelah Kongres 2005.
Tugas para
pendiri dan deklarator partai seakan telah selesai begitu Partai Demokrat
memperoleh suara 7,5% pada Pemilu Legislatif 2004 dan menjadikan Susilo Bambang
Yudhoyono sebagai Presiden pertama RI yang dipilih secara langsung oleh rakyat.
Ketika partai
sedang di ambang prahara, barulah para pendiri dan deklarator partai kembali
diajak bicara. Itu pun sebatas pada forum yang legalitas dan otoritasnya tidak
tertera di dalam konstitusi partai.
Itu juga satu
kebiasaan buruk SBY yang suka sekali membentuk tim atau forum sebagai penopang
dirinya yang tidak berani mengambil keputusan sendiri. Pembentukan Tim 9 soal
kasus Wakil Ketua KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah ialah contoh
kesukaan Presiden Yudhoyono membentuk tim.
Kini, di kala
Demokrat di ambang prahara, SBY sebagai ketua dewan pembina partai juga
melakukan pertemuan forum antarpendiri dan deklarator partai yang sebagian
besar sudah berada di luar partai.
Kita tahu apa
pun keputusan forum untuk bersih-bersih partai, hasil itu tidak mengangkat
partai. Forum itu tidak memiliki otoritas politik untuk menjalankannya.
Ciri buruk lain
dari Partai Demokrat ialah para elite politik baik di pusat ataupun di daerah
tidak memiliki perasaan kekitaan (we feeling) di antara sesama anggota
partai, dan kurang memiliki sense of belonging (perasaan
memiliki) terhadap partai.
Contohnya, hiruk
pikuk di dalam partai baik pada jajaran pimpinan pusat aupun daerah menunjukkan
para elite partai lebih menonjolkan kepentingan pribadi dan kelompok mereka
ketimbang kepentingan partai. Kebiasaan ketua partai terpilih, di pusat maupun
di daerah, untuk melakukan tumpas kelor, yakni mengganti sebagian besar kabinet
partai yang lama, ialah contoh betapa kebersamaan di dalam partai benar-benar
diabaikan.
Hal lain yang
menggerogoti partai ialah berlakunya politik uang sogok-menyogok baik untuk
dapat memenangi pemilihan di tingkat kongres, musyawarah daerah, dan musyawarah
cabang partai. Penentuan calon kepala daerah juga ditentukan bukan oleh apakah
para calon tersebut memiliki kapasitas untuk memimpin daerah tersebut,
melainkan pada berapa banyak uang diberikan kepada pengurus partai agar calon
tersebut menjadi calon resmi dari partai.
Walau praktik
yang sama juga terjadi di partai-partai lain, persoalan elektabilitas dan
kapasitas calon tetap dijadikan perhitungan oleh partai-partai tersebut. Jangan
heran jika Partai Golkar dan PDIP masih memimpin dalam berbagai pemilu kada.
Krisis Tak
Berujung
Apa yang terjadi
di tubuh Partai Demokrat saat ini bagaikan krisis yang tak ada ujungnya.
Perseteruan antara Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat dan Ketua Umum Partai
Demokrat bukan lagi isapan jempol prasangka negatif semata, melainkan menjurus
kepada kenyataan. SBY sebagai ketua dewan pembina pernah menyatakan ia percaya
kepada pernyataan Anas Urbaningrum yang tidak terlibat dalam kasus Hambalang
atau proyek lainnya.
Jika pernyataan
SBY benar, mengapa ia masih terus-menerus mengatakan mereka yang tidak bisa
bersih sebaiknya keluar dari partai? Itu menunjukkan SBY tidak percaya kepada
pernyataan politiknya sendiri.
Jika SBY tahu
bahwa ada yang tidak beres di jajaran DPP Partai, mengapa ia tidak melakukan
tindakan tegas? Jika memang tidak ada perseteruan terselubung, mengapa pula SBY
tidak mengundang Ketua Umum DPP Partai Demokrat itu saat SBY mengadakan
pertemuan dengan para ketua DPD I Partai Demokrat? Apa pula yang akan dilakukan
SBY pada pertemuan dengan pimpinan partai di tingkat cabang dan ranting pada 30
Agustus 2012?
Partai Demokrat
tampaknya kini benar-benar berada di ambang prahara. Jika ego pribadi sudah mengalahkan
rasa kebersamaan dan kekitaan di dalam partai, keruntuhan tinggal menunggu
waktu. Jika itu benar-benar terjadi, Partai Demokrat akan tercatat dalam
sejarah politik Indonesia pascareformasi sebagai ‘partai yang meroket pada
satu masa pemilu dan menukik tajam pada satu masa pemilu berikutnya’!
Sumber: Media
Indonesia, 18 Juni 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!