Guru Besar Hukum Agraria Fakultas Hukum UGM
Keberadaan UU No
2/2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang
disahkan 14 Januari 2012, ”tenggelam” oleh kasus- kasus sengketa/konflik pertanahan
yang begitu masif dan kompleks.
Pengaturan
pengadaan tanah dalam UU memang tepat. Namun, dari segi substansi, UU yang
strategis dan berdampak luas ini menyisakan beberapa catatan.
UU dibentuk
untuk suatu tujuan. Kendala utama pembangunan untuk kepentingan umum, khususnya
infrastruktur –lebih khusus lagi jalan tol– adalah pembebasan tanah, yang tidak
dapat ditanggulangi melalui Perpres No 36/2005 jo Perpres No 65/2006. Oleh
karena itu, UU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum (PTKU) dimaksudkan
disusun untuk menjamin kelancaran proses pengadaan tanah.
Jadwal
keseluruhan proses pengadaan tanah kurang dari 2 tahun. Pendataan awal sampai
konsultasi publik 4,5 bulan. Keberatan terhadap lokasi pembangunan yang tak
berhasil ditangani gubernur diselesaikan melalui peradilan tata usaha negara
sampai keputusan Mahkamah Agung memakan waktu kurang lebih 4 bulan. Tahap
inventarisasi sampai revisi data 2,5 bulan. Pada tahap pemberian ganti rugi,
bila ada pihak yang berkeberatan dapat menempuh jalur hukum melalui pengadilan
negeri setempat sampai dengan kasasi, yang ditempuh sekitar 4 bulan.
Bagi investor,
berlarutnya proses pengadaan tanah berakibat penundaan kegiatan, berdampak
terhadap biaya yang membengkak, dan risiko lain. Kegalauan investor dijawab
dengan memberikan bobot lebih pada kepastian hukum dalam UU PTKU.
Kepastian hukum
memang penting. Namun, di luar tujuan untuk serba cepat itu, tidak kalah
penting kualitas dalam proses pengadaan tanah, khususnya upaya mencapai
kesepakatan dengan pihak yang harus melepaskan tanahnya.
Agar dapat
dijamin bahwa musyawarah dapat berlangsung secara sukarela dan bebas dari
tekanan, hak masyarakat untuk mengajukan keberatan serta tata caranya wajib
disampaikan ke masyarakat. Transparansi terhadap hal-hal yang berpengaruh
terhadap masyarakat yang terkena dampak itu sesuai dengan UU No 18/2008 tentang
Keterbukaan Informasi Publik. Bagi masyarakat yang kehilangan tanahnya, UU PTKU
dirasakan adil jika kesejahteraan sosial-ekonominya tak mengalami penurunan setelah
tanahnya dilepaskan untuk kepentingan umum.
Pengadaan tanah
diselenggarakan dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan
pembangunan dan kepentingan masyarakat. Dengan demikian, berbagai ketentuan
dalam UU PTKU harus dapat menjamin bahwa kegiatan pembangunan itu ditujukan
untuk kemakmuran rakyat. Tolok ukur capaiannya paling tidak harus dapat dilihat
dari kemanfaatan pembangunan untuk kepentingan umum itu bagi rakyat dan tingkat
pemerataan kemanfaatannya serta penghormatan terhadap hak rakyat.
Mengingat
pembangunan untuk kepentingan umum itu merupakan bagian dari penyelenggaraan
ekonomi nasional, pasal-pasal dalam UU PTKU harus dapat mencerminkan
keseimbangan antara keuntungan pembangunan bagi investor dan kesejahteraan
rakyat secara berkeadilan. Hal ini sesuai dengan prinsip kebersamaan dan
prinsip efisiensi berkeadilan menurut Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945.
Menabrak Prinsip
Hukum
Terobosan yang
ditempuh UU PTKU menimbulkan tanda tanya dikaitkan dengan konsep dasar
perolehan tanah untuk kepentingan umum. Sesuai konsepsi hukum tanah nasional,
pada prinsipnya perolehan tanah harus dengan cara musyawarah. Artinya,
masyarakat melepaskan tanahnya secara sukarela dengan memperoleh ganti
kerugian.
Bila untuk
kepentingan umum semua upaya untuk mencapai musyawarah gagal, sedangkan lokasi
pembangunan tidak dapat dipindahkan ke tempat lain, maka ditempuh acara
pencabutan hak atas tanah. Langkah ini sesuai UU No 20/1961 tentang Pencabutan
Hak-hak atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya, yang landasan hukumnya
diletakkan oleh Pasal 18 UU Pokok Agraria.
Konsepsi ini
masih dianut oleh Keppres No 55/1993 dan perpres. Sesuai keppres dimaksud, bila
bentuk dan besar ganti kerugian ditolak oleh 25 persen pemegang hak, sedangkan
lokasi tidak dapat dipindahkan, hal itu dapat berujung pada upaya pencabutan
hak atas tanah. Ganti rugi dititipkan di pengadilan jika pemilik tanah tak
ditemukan.
Menurut perpres,
bila 75 persen pemilik tanah menolak lokasi pembangunan, terbuka upaya menempuh
acara pencabutan hak atas tanah. Demikian juga bila 25 persen pemilik tanah
menolak penawaran ganti kerugian, ganti rugi dititipkan di pengadilan negeri
setempat, dengan tetap terbuka kemungkinan menempuh upaya pencabutan hak.
Karena hak
perorangan itu dihormati, bila kepentingan umum menghendaki dan musyawarah
menemui kegagalan, sedangkan lokasi tak dapat dipindah, demi memenuhi asas
keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan perorangan, maka hak atas
tanah dapat dicabut melalui proses yang berujung pada keputusan presiden.
Permasalahan terkait ganti kerugian ditempuh melalui pengadilan tinggi, yang
putusannya bersifat final dan mengikat (PP No 39/1973).
UU PTKU menempuh
jalan pintas terhadap penolakan masyarakat. Apa pun keberatan masyarakat, semua
diselesaikan melalui lembaga peradilan, disertai penitipan ganti kerugian di
pengadilan. Tertutup sudah kemungkinan menempuh acara pencabutan hak yang
disediakan UU No 20/1961. Bahkan, dalam keadaan mendesak akibat bencana alam,
perang, konflik sosial yang meluas, dan wabah penyakit, pembangunan untuk
kepentingan umum dapat langsung dilaksanakan berdasarkan penetapan lokasi oleh
gubernur. Sebelum UU PTKU, ini merupakan rezim pengaturan UU No 20/1961.
Demi politik
pencitraan, hendaknya sistem hukum jangan dikorbankan demi menjaga agar
presiden tidak perlu menerbitkan keputusan pencabutan hak untuk kepentingan
umum bila musyawarah menemui kegagalan. Hukum sudah menyediakan sarananya dan
sampai sekarang UU No 20/1961 belum dicabut.
Sikap Tegas
Pragmatisme UU
PTKU telah menabrak prinsip ”hukum sebagai sistem”. Ini contoh buruk dalam
pembangunan hukum. Perlu ketegasan sikap untuk mengakhiri pembengkokan konsep
dalam perolehan tanah untuk kepentingan umum.
Pilihannya
adalah pertama, UU PTKU harus dirombak. Artinya, kembali kepada sistem yang
ada, yakni pengadaan tanah melalui musyawarah. Bila musyawarah gagal, dibuka
upaya menempuh acara pencabutan hak. Penitipan ganti kerugian dapat dilakukan
untuk hal-hal tertentu, yakni jika pemegang hak tidak ditemukan atau
keberadaannya tidak diketahui; obyek pengadaan tanah sedang menjadi obyek
perkara di pengadilan; tanah dalam sengketa, diletakkan sita jaminan, dan
sedang dijaminkan dengan hak tanggungan. Kedua, UU PTKU tetap dipertahankan,
tetapi UU No 20/1961 dan Pasal 18 UU PA harus dicabut dan dinyatakan tidak
berlaku.
Masing-masing
pilihan pasti ada risikonya. Namun, inilah konsekuensinya jika penyusunan UU
cenderung ditujukan untuk kepentingan jangka pendek.
Sumber: Kompas,
7 Juni 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!