Sejumlah warga asal
Lembata di Jakarta menilai, rencana peluncuran KMP Feri Ile Boleng tujuan
Lewoleba-Wakatobi, Sulawesi Tenggara, pada Juli mendatang merupakan proyek
menghambur-hamburkan uang rakyat karena tak membawa manfaat ekonomi.
"Saya pikir
sangat cerdas DPRD Lembata secara kelembagaan menolak dan membatalkan rencana
tersebut. DPRD mesti berempati kepada masyarakat dan daerah itu karena masih
dililit sejumlah persoalan substansial, seperti minimnya pembangunan
infrastruktur jalan dan jembatan, pemenuhan kebutuhan air minum, kesehatan dan
gizi masyarakat," ujar Ansel Deri melalui press release yang diterima Pos
Kupang, Minggu (24/6/2012).
Menurutnya, jika
sekali pelayaran feri Pemkab Lembata mengeluarkan biaya operasional
sebesar Rp 50 juta, misalnya, berapa banyak uang rakyat yang terbuang?
Lalu apa yang diharapkan dari pelayaran itu? Pemkab Lembata harus berpikir
realistis dan rasional karena akan lebih banyak membawa mudarat ketimbang
manfaatnya.
"Saya tidak
percaya biaya operasional sekali jalan hanya Rp 25 juta. Nah, kalau sekadar
jual hasil pertanian seperti sayur-mayur atau umbi-umbian ke Wakatobi, sangat
aneh," jelas Ansel.
Menurutnya, Pemkab
Wakatobi mengonsumsi hasil-hasil pertanian di wilayah Kecamatan Wangi-wangi dan
Wangi-wangi Selatan. Juga di luar dua kecamatan tersebut, yakni Kacamatan
Kaledupa, Kaledupa Selatan, Tomia, Tomia Timur, Binongko, dan Togo Binongko.
"Artinya, warga Wakatobi tak perlu susah payah beli jauh-jauh dari
Lembata," jelas Ansel.
Sementara
buah-buahan di Lembata seperti jeruk, rambutan, mangga dan lain-lain sebaiknya
dipikirkan untuk dilirik pasarnya ke wilayah NTT atau luar seperti Bali, NTB,
atau Jawa. Jangan sampai setiap tahun daerah menunggak utang sewa feri. Belum
lagi kondisi cuaca yang kadang tak bersahabat sehingga pelayaran harus terhenti
dalam waktu lama.
"Tentu tak
logis kalau setiap hari masyarakat Lembata hanya menunggu kelor Wakatobi untuk
konsumsi karena menjadi sayur favorit masyarakat sebagaimana disampaikan Bupati
Lembata saat kunjungan di Wakatobi beberapa waktu lalu," kata Ansel.
Dikatakan, mestinya
Pemkab Lembata menjajaki kerja sama dengan kabupaten lain di wilayah NTT untuk
memajukan ekonomi masyarakatnya di tingkat lokal. Jika hasil kajiannya relevan
dan ada peluang ekonomi, bisa ditindaklanjuti. Tak perlu mengharapkan produk
kelautan Wakatobi masuk dan memenuhi kebutuhan masyarakat. Atau sebaliknya
misalnya petani Lembata memasarkan hasil pertaniannya ke Wakatobi.
Flores Timur
merupakan salah kabupaten yang produksi ikannya sangat besar. Kabupaten itu
juga memiliki armada penangkapan ikan yang bisa memasok kebutuhan ikan di
Lembata, Alor, bahkan Pulau Flores. Mungkin lebih tepat menjajaki kerja sama
bidang perikanan dengan kabupaten tetangga ini.
Selama ini Lembata
selalu memasok hasil pertanian dari Pulau Flores dan pulau-pulau sekitarnya.
Mana mungkin pada saat bersamaan masyarakat Lembata menjadi konsumen hasil
pertanian dari luar sekaligus memasarkan hasil pertaniannya ke propinsi lain.
Rencana itu
terkesan aneh dan tidak masuk akal. Apalagi mau mendatangkan ikan dari propinsi
lain memenuhi kebutuhan warga Lembata. Sementara kabupaten tetangga ternyata
penghasil ikan.
"Rencana ini
kelihatan tidak diikuti kajian tim teknis dari dinas-dinas terkait setempat
tetapi ambisi bupati dan pihak Badan Anggaran DPRD Lembata tanpa melihat
untung-rugi bagi daerah dan rakyat. Jangan sampai kesepakatan ini tanpa
persetujuan DPRD secara kelembagaan," tegasnya.
Dikatakan,
kebutuhan armada feri di seluruh wilayah NTT masih sangat mendesak. Kalau
sekarang Pemkab Lembata menyewa Feri Ile Boleng untuk melayani
Lewoleba-Wakatobi, justru masyarakat Flores Timur, Alor, dan Lembata yang
hendak ke Kupang, tak terlayani.
Hal senada
diungkapkan Fransiskus Xaverius (Ciku) Namang. Ciku malah meminta Pemerintah
Provinsi (Pemprov) NTT tidak menyewakan kapal feri terkait rencana tersebut.
Banyak masalah rakyat yang diusulkan melalui musrembang desa, kecamatan, dan
kabupaten belum dipenuhi hingga saat ini dengan alasan dana tidak ada.
"Bila Pemprov
NTT melalui PT Flobamora menyetujui izin sewa feri, itu menunjukkan pemprov
sedang ikut menyakiti rakyat Lembata. Biaya sewa feri ini berasal dari pajak
masyarakat. Mereka mau jalan dan jembatannya ke seluruh kecamatan dibangun.
Bukan merintis rute baru di laut yang tak menyentuh kebutuhan yang lebih
mendesak di darat," kata Ciku Namang.
Alokasi anggaran
sebesar Rp 300 juta, lanjut aktivis Forum Kota (Forkot), sebaiknya
dibangun kembali pasar di tengah kota yang dibakar oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab.
Menurut Ketua Yayasan
Adam Malik Aphocalipt, Karolus Etoehaq, rencana itu sama artinya dengan upaya
Bupati Eliaser Yentjie Sunur dan DPRD Lembata menggarami laut. Pasalnya,
Lembata dan juga Flores Timur serta Alor merupakan daerah yang potensi
kelautannya melimpah.
Kepala Bappeda
Lembata yang saat ini Sekda, Piet Toda Atawolo, pernah menyampaikan hal itu
saat berlangsung seminar terkait ekonomi Flores di Hotel Shangrilla Jakarta
beberapa tahun lalu.
"Beliau
mengaku potensi perikanan Lembata sangat besar. Seorang nelayan akan menjawab
ia ke laut untuk tangkap ikan, bukan cari ikan. Ini mengandaikan ikan sudah
tersedia dan tinggal menangkap saja. Nah, potensi ini yang harus dikelola untuk
meningkatkan ekonomi masyarakat," kata Karolus.
Sedangkan Gerardy
Tukan, salah satu warga Lembata, menilai, keputusan Badan Anggaran DPRD
dan Eksekutif Lembata mengalokasikan subsidi Rp 303 juta untuk membuka
pelayaran Lewoleba-Wakatobi per Juli 2012 kurang tepat sasaran.
Melalu surat
elektronik yang diterima Pos Kupang, Rabu (20/6/2012), Gerady menyampaikan
beberapa pertimbangan di antaranya, Pemkab Lembata belum mengidentifikasikan
hasil-hasil andalan yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat Wakatobi.
Jika pun itu ada,
kata dosen MIPA Unwira Kupang ini, Lembata belum siap memenuhi kebutuhan itu
karena produksinya belum melimpah. Hanya cukup untuk kebutuhan konsumsi
sendiri masyarakat Lembata. Demikian pun sebaliknya, kata Gerardy, pemerintah
belum mengkaji kebutuhan masyarakat Lembata yang bisa diperoleh dari masyarakat
Wakatobi.
Strategis dan
Prospektif
BUPATI Lembata,
Eliaser Yentji Sunur menegaskan, pembukaan pelayaran Lewoleba-Wakatobi sifatnya
prospek. Bukan hasilnya untuk Pendapatan Asli Daerah (PAD) saat ini, melainkan
di masa mendatang.
"Kita tidak
punya target untuk tingkatkan PAD saat ini. Kita fokus pada prospeknya untuk
pertumbuhan ekonomi masyarakat Lembata. Nanti baru kita lihat hasilnya,"
kata Bupati Lembata di kediamannya, Jumat (22/6/2012).
Bupati mencontohkan awal-awal membuka pelayaran Lewoleba-Kupang dulu, masyarakat menggunakan perahu nelayan. "Sekarang Lewoleba-Kupang sudah ramai. Kita buka pelayaran ke Wakatobi untuk menutup pelayaran ke Kupang dan Larantuka," kata Sunur lagi.
Sunur mengatakan,
masyarakat Lembata sudah menyetujui pelayaran ke Wakatobi itu. Masyarakat
sangat menyambut baik ide itu. Adanya penolakan-penolakan organisasi pemuda dan
kalangan tertentu di Lembata, ditanggapi bupati Sunur dengan santai.
"Kalau itu tidak strategis, tidak pas, menurut mereka bagaimana membangun
Lembata ini," kata Sunur.
Lembata
mengingatkan jangan menyusupkan isu politik di dalam setiap kebijakan
pemerintah di Lembata. Lembata, kata Sunur, masih membutuhkan dukungan semua
pihak untuk kemajuannya. Sunur meminta orang muda Lembata jangan skeptis
terhadap masa depan Lembata.
"Jangan keluar
kritikan atas like and dislike dengan pemerintah. Bahwa bukan hari ini, tetapi
prospeknya," kata Sunur. Bukan tidak mungkin setelah Lembata membuka
pelayaran itu, pemerintah pusat bisa mengambil alih. Atau mungkin PT Flobamor
melihat melihat itu prospek, maka pemerintah tidak intervensi lagi. (kk/pol)
Sumber: Pos Kupang,
25 Juni 2012.
Ket foto: Ansel
Deri & Ciku Namang
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!