Kapolda Bali
“SUDAH banyak cercaan yang ditujukan kepada
institusi kami, mulai dari yang sedikit seram sampai yang sangat seram, caci
maki, sumpah serapah, seakan kami tidak ada gunanya....“
Ucapan tersebut seakan
ungkapan yang merayap keluar dari insan kepolisian, tetapi tak hendak menggapai
uluran tangan. Curahan perasaan yang tertuang di situs Kompasiana itu memang
sekadar senandung lirih, tak berharap bergema jadi warta, tak mengharap ada
pintu yang terketuk oleh desahan tersebut.
Ia sadar akan
batas--sebagaimana ditulisnya seakan kami polisi selalu salah--tak akan ada
yang mau mendengar dan peduli.
Tentu tak seutuhnya benar jika
tak ada yang peduli dengan rintihan tersebut. Namun, juga tak sepenuhnya keliru
jika harapan akan empati seolah pupus di tengah berbagai deraan cerca yang
datang terus-menerus. Selama polisi masih dibutuhkan masyarakat, itu pertanda
masih banyak yang peduli.
Sebuah stigma kerap lahir dari
cermin yang buram sehingga orang tak dapat memandang dengan jernih. Polisi lalu
lintas selalu dilabel dengan istilah prit jigo bahwa polantas selalu
menjebak pengendara yang salah masuk rambu larangan. Pada saat kami mau
menilang, selalu dirayu dengan mohon kebijaksanaan. Kalau yang punya beking,
mereka mengeluarkan kartu nama atau menelepon kerabat. Padahal kami telah
bertugas dari pagi buta. Orang kerap menggeneralisasi penyimpangan dan dari
situlah sebuah stigma bermula.
Memang tak mudah menjadi
polisi. Berbagai dilema selalu mewarnai tugas kepolisian. Oleh karena itulah
para pakar kepolisian, seperti Herman Goldstein dan David Bayley, selalu
mengingatkan betapa tidak mudahnya mendefinisikan peran polisi karena begitu
rumit. Suatu kerumitan yang tidak direncanakan, tetapi tercipta dan hadir dengan
sendirinya.
Bagi polisi, menjalankan
kompleksitas peran yang diemban memang tak mudah. Selain rumit, tugas polisi
dipenuhi kontradiksi. Sebagai contoh, ketika mengawal demo, di satu sisi polisi
harus menghormati hak para pendemo. Di sisi lain, polisi harus menjaga
ketertiban dan melindungi hak serta keselamatan masyarakat lainnya. Hal yang
tak kalah penting, polisi harus melindungi keselamatan dirinya sendiri.
Namun ironisnya, setiap a
anarkisme yang terjadi dari ekspresi demo tersebut, polisilah yang selalu
dituding sebagai pemantik. Itulah dilema polisi. Pada akhirnya, semua pihak
memang harus belajar memahami kompleksitas tugas dan tanggung jawab kepolisian.
Kurangnya pemahaman hanya akan mereduksi kompleksitas tersebut dan membuat
orang bersikap sinis kepada polisi.
Ada sebuah contoh lain dari
seorang kriminolog ternama, George Kirkham. Menurut profesor pada Florida State
University tersebut, polisi ialah kumpulan manusia biasa yang luar biasa.
Kesimpulan Kirkham tersebut tidak datang begitu saja, tetapi melalui sebuah
pengalaman fenomenal. Sebelumnya, pandangan Kirkham terhadap kepolisian tak
kurang sinis. Namun, perubahan drastis terjadi ketika ia memutuskan untuk
menjadi polisi dalam arti sebenarnya. Pengalaman langsung terjun sebagai polisi
di jalanan Jaksonville yang keras membuat Kirkham melihat dan merasakan
pengorbanan luar biasa aparat kepolisian.
Langkah Kirkham memang
fenomenal dan dapat menjadi inspirasi, sekaligus kritik bagi kita yang gemar
memandang sinis kepolisian. Karena tak puas sebagai ilmuwan yang hanya menarik
kesimpulan dari sebuah perspektif, ia mengambil cuti sebagai dosen lalu
mendaftarkan diri di akademi kepolisian dan diterima. Sebagai polisi biasa, ia
ditempatkan pada kawasan yang terkenal rawan. Kirkham berubah dan menyadari
betapa berat pengabdian kepolisian.
Dengan latar belakang sebagai
intelektual, semula sikapnya sangat akomodatif dalam penanganan kejahatan.
Namun, perjalanan waktu dan situasi yang dihadapi mengajarkan sikap lunak dan
akomodatif justru akan membahayakan dirinya dan rekan kerjanya. Belakangan
sikap Kirkham berubah, menjadi keras dan mudah curiga terhadap setiap orang
yang memiliki karakteristik penjahat.
Jika dikaji lebih jauh,
perubahan sikap yang dialami Kirkham mencerminkan situasi dan kondisi yang juga
dihadapi anggota kepolisian.
Selama ini teori kriminologi
hanya mengedepankan pendekatan sosiologis dan yuridis dalam mengkaji berbagai
perilaku penyimpangan oknum kepolisian. Akibatnya masyarakat sulit untuk
memahami mengapa misconduct atau malapraktik kepolisian bisa terjadi.
Secara sosiologis dan yuridis, polisi merupakan penegak hukum yang seharusnya
tunduk dan patuh hukum.
Pemahaman terhadap tugas
polisi dengan kacamata sosiologis dan yuridis saja akan menyudutkan aparat.
Berdasarkan pengalaman Kirkham, pendekatan ekologis seharusnya digunakan untuk
memahami penyebab terjadinya malapraktik kepolisian.
Dengan pendekatan ekologis,
kita dapat memahami bagaimana tajamnya pengaruh lingkungan terhadap performa
anggota kepolisian. Tugas sehari-hari yang selalu akrab dengan dunia kejahatan
dan penjahat-sebagaimana juga dialami Kirkham-akan menyebabkan perilaku aparat
berubah keras dan mewaspadai semua orang.
Dampak negatif lingkungan
itulah yang kerap luput dari pengamatan. Setidaknya ada tiga pengaruh ekologis
terhadap sikap aparat kepolisian. Pertama, sikap reaktif terhadap lingkungan
yang keras dan berbahaya. Hal itu menyebabkan sikap polisi menjadi kurang
lembut dan bersahabat. Kedua, sikap adaptif terhadap lingkungan kejahatan dan
para penjahat itu sendiri. Konteks adaptif di sini ialah terinfeksi atau
tertular oleh perilaku para kriminalis tersebut. Tak mengherankan jika tak
sedikit aparat yang menjadi pemakai narkoba atau melakukan misconduct lainnya.
Ketiga, sikap apatis terhadap
lingkungan yang selalu sarat dengan cerca. Jika berbuat baik pun tetap dicerca
hanya karena stigma yang telah telanjur melekat, tentu akan timbul
demoralisasi.
Ketiga pengaruh ekologis
itulah yang menyebabkan terjadinya perubahan karakter tersebut, sebagaimana
juga dialami Kirkham. Kita memiliki peluang untuk mengubah polisi sebagaimana
yang kita inginkan jika memahami tugas polisi dan menggunakan pendekatan kritis
yang tepat. Kritik terhadap kepoli sian memang diperlukan sebagai alat kontrol,
tetapi sekali waktu masyarakat pun perlu mendengar kritik dari kepolisian.
Di Hari Bhayangkara ke-66
tentu tak perlu lagi terdengar ekspresi apatis dari polisi Indonesia. Pertama,
karena pengabdian bhayangkara negara sejati tak mengenal batas. Selain itu,
filosofi universal kepolisian ialah vigilat quiscant, yang bermakna polisi
bekerja sepanjang waktu agar masyarakat dapat melakukan aktivitas dengan aman
dan nyaman.
Kedua, mayoritas anggota
masyarakat masih mau mendengar dan peduli akan nasib kepolisian. Masyarakat
bahkan bangga memiliki kepolisian yang ingin menjadikan anggotanya sebagai `rastrasewakottama'
abdi utama bangsa dan negara. Dirgahayu Polri!
Sumber: Media Indonesia, 30
Juni 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!