Oleh Boni Hargens
Dosen Fisip UI;
Saat ini
sedang belajar di Humboldt-Universität zu Berlin, Jerman
SEUSAI Marcus Mietzner
dari Universitas Nasional Australia berbicara soal kartel politik di Indonesia
dalam diskusi di Universitas Humboldt (3/7/2012), kami pun berbincang di warung
kopi.
”Bagi saya, tak masuk akal Ical melamar Ibas
untuk 2014. Ibas bukan siapa-siapa selain anak presiden. Lagi pula, Ical sudah
menyebut banyak nama dari banyak partai untuk dilamar juga,” kata Mietzner.
Indonesianis kelahiran Frankfurt, Jerman, itu sesungguhnya tengah menyentil
Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie yang mau melamar Baskoro Yudhoyono
sebagai calon wakil presiden pada 2014.
Tema utama bukan soal Ical ataupun Ibas. Diskusi
kami adalah bagaimana memahami politik Indonesia sesudah 1998, yang ujungnya
boleh tiba pada diskursus soal siapa dan kenapa pantas atau tidak pantas di
Pilpres 2014.
Sebagian ilmuwan melihat, sesudah 1998, politik
Indonesia masih dikontrol oleh oligarki (Robizon & Hadiz, 2004; Winters,
2011), meskipun menurut Jeffrey Winters, mereka bermetamorfosis dari oligarki
sultanistiknya Soeharto menjadi the ruling oligarchy, oligarki yang memerintah.
Sebagian lagi fokus pada peran partai politik dan melihat kartel sebagai
kekuatan politik dominan pada era pasca-Soeharto (Slater, 2004; Mietzner,
2011).
Dua pendekatan ini tidak salah. Di satu sisi,
dominasi oligarki dalam mengontrol proses politik tampak jelas kalau kita
melihat peran orang-orang kaya dalam politik. Kita bisa sebut sendiri nama-nama
mereka, serta bagaimana mereka mengatur politik dari belakang ataupun di atas
panggung. Mereka adalah oligarki. Di tubuh partai, mereka memainkan peran
besar. Bahkan, tidak sedikit partai politik dikuasai oleh orang kaya ini.
Alhasil, di sisi lain, mereka pun membangun
kartel politik. Akan tetapi, mereka tetaplah oligarki yang segala prinsip dan
orientasi politiknya bermuara pada upaya meningkatkan dan mempertahankan
kekayaan sebagai tujuan tertinggi
Makhluk politik ini tak mudah dijelaskan dalam
bahasa sederhana, meski tidak serumit gerak- gerik politik mereka yang
cenderung samar, tetapi berdampak kasar. Mereka membangun kartelisasi dalam
rangka memonopoli dan memanipulasi proses politik, sementara mereka berdiri
pada fondasi oligarki sebagai habitat asal. Pelaku politik ini yang saya sebut
kartel oligarkis, yakni persekongkolan elite partai dari dan berdiri di atas
fondasi oligarki untuk menetapkan haluan politik tertentu yang sifatnya
tertutup untuk umum dan untuk membatasi kompetisi.
Kartel politik dari awal dipahami dalam bingkai
organisasi, yakni partai politik (Katz & Mair, 1995). Namun, untuk konteks
Indonesia, mereka mengarah pada gerombolan individu yang kebetulan memakai
partai sebagai instrumen politik. Dengan kata lain, mereka bisa ada di
organisasi politik lain yang mirip atau sama dengan partai.
Harus Dikontrol
Tema soal kepemimpinan ideal, mekanisme
elektoral yang demokratis, atau debat demokrasi yang substansial versus yang
prosedural menjadi pepesan kosong kalau kita tak memahami dan mengatasi makhluk
politik yang liar ini. Kenapa?
Pertama, kartel oligarkis menguasai struktur
hukum, politik, dan ekonomi sehingga kedaulatan rakyat pada konteks ini tak
bermakna apa pun. Kedua, kartel oligarkis menentukan siapa yang harus dipilih
oleh rakyat untuk menjadi pemimpin.
Maka, tak ada ruang untuk deliberasi publik dan
pertimbangan moral soal siapa pantas dan tidak pantas menjadi pemimpin. Siapa
pun yang dikehendaki kartel oligarkis niscaya menjadi pemenang pemilu.
Demokrasi langsung dinilai mengebiri permainan kartel, tetapi saluran demokrasi
mana di Indonesia yang tak dikendalikan oleh kartel oligarkis?
Ketiga, kartel oligarkis bertahan hidup dengan
menguasai partai politik serta mengatur permainan di panggung politik dan
(agar) pada saat yang sama memperkuat fondasi ekonomi mereka. Kehendak dan
kebaikan umum direlativisasi dalam konteks ini.
Dalam garis berpikir ini, komentar sederhana
Mietzner di awal dapat dilihat dari sudut ganda. Pertama, kualitas personal
penting untuk proses pencalonan dalam pilpres. Kedua, kartel bisa melakukan
kombinasi politik seperti apa pun, bahkan sampai pada model kombinasi semrawut
yang menabrak semua rambu ideologi politik.
”Politik tanpa ideologi itu sulit. Saya heran,
ada politisi Kristen yang sulit ditakar ideologi politiknya saking tidak jelasnya,”
kurang lebih begitu sindiran Sahra Wagenknecht, anggota Bundestag (DPR) dari
Partai Kiri yang lagi kasmaran dengan politisi fenomenal Oskar Lafontaine,
dalam diskusi di Mannheim (15/5/2012), yang kami hadiri atas undangan
Katholischer Akademischer Ausländer-Dienst (KAAD) Jerman.
Sindiran Sahra untuk kawan- kawannya dari Partai
Kristen (CDU/CSU) mungkin menjadi justifikasi yang terlalu jauh. Namun,
substansi kita, ideologi signifikan dalam politik. Sayangnya, di tangan kartel
oligarkis, ideologi apa pun tak bermakna kecuali materialisme.
Namun, ini tak berarti demokrasi kita tak punya
masa depan. Pengembalian kedaulatan politik ke tangan rakyat harus
didefinisikan secara teknis dalam pemilu. Kebebasan pemilih adalah syarat
mutlak, bahkan partai politik dituntut transparan dalam menentukan kandidat.
Hegemoni kartel oligarkis hanya bisa dilawan
dengan kehendak murni dari rakyat. Pemilihan langsung adalah kesempatan terbaik
untuk berperang melawan kartel. Rakyat hanya bisa menang kalau proses elektoral
benar, transparan, dan dikontrol dengan ketat. Kalau tidak, pemilu tak lebih
dari sekadar jebakan para kartel oligarkis.
Sumber: Kompas, 14 Juli 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!