Oleh Ansel Deri
Penulis adalah keluarga eks buruh migran di Johor Bahru
NYARIS setiap bulan
negeri ini disuguhi berita tak sedap para tenaga kerjanya yang menyabung nasib
di luar negeri. Baru lepas sehari dari Idul Fitri Syawal 1433 H, kabar tak
sedap datang dari Singapura. Dari negeri selemparan batu itu, tersiar kabar
Pengadilan Singapura memperberat hukuman bagi Fitria Depsi Wahyuni. Pahlawan
devisa asal Jember, Jawa Timur, itu dibui 20 tahun dengan sangkaan membunuh
majikan. Sebelumnya, dia divonis 10 tahun.
Buruh migran bau
kencur berusia 19 tahun itu mestinya menghirup udara bebas pada 2016 setelah
mengantongi vonis 10 tahun berdasarkan putusan pengadilan setempat 7 Maret
2012. Ia mestinya berada di tengah kebahagiaan orang tua dan sanak keluarga.
Namun, upaya banding sejumlah pihak setempat atas vonis 10 tahun dikabulkan
pengadilan. Kini, upaya membebaskan buruh migran tersebut tengah dilakukan
aktivis Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Jawa Timur.
Ketua SBMI Jawa
Timur, Moch Cholily, di Jember, Selasa, 21 Agustus 2012, menegaskan seusai
Lebaran, serikatnya akan membahas hasil putusan banding itu untuk merumuskan
kemungkinan yang bisa diupayakan guna meringankan hukuman. Langkah serupa
pernah dilakukan bersama satuan tugas penanganan WNI yang terancam hukuman
mati, Fitria, sehingga dia bebas dari hukuman mati. Fitria diberitakan membunuh
majikannya. Ia kesal karena semasa kerja kerap mendapat perlakuan dan ucapan
kasar. Ia juga selalu diberi makanan basi.
Fitria, yang
menjadi TKI di Singapura akhir Desember 2009 dengan paspor wisatawan dan bukan
paspor khusus TKI, dianggap terbukti membunuh majikannya. Namun, upaya SBMI
Jawa Timur membuahkan hasil. Ia divonis 10 tahun dan lolos dari hukuman mati.
Alasannya, selain kondisi kejiwaannya masih labil, saat itu dia belum berusia
17 tahun.
TKI asal Lembata,
Kanisius Leu, 39 tahun, juga bernasib sial. Pada Senin, 15 Oktober 2012 lalu,
dia meregang nyawa di tangan majikannya. Timah panas menembus bahu dan dada.
Kanis ditembak saat tengah memetik mangga milik majikan karena dikira beruk
atau kera liar.
Sebelumnya, pada 22
September 2011, Petrus Dori Deona, 59 tahun, buruh migran asal Desa Labalimut
(Boto), Lembata, tewas dibunuh di Kulai Johor, Malaysia Barat. Jenazah petani
kecil itu baru ditemukan kerabat keesokan hari menjelang salat Jumat. Tak ada
proses hukum, jenazahnya langsung dimakamkan. Meski sempat diberitakan media
cetak dan online Indonesia, Pemerintah Indonesia melalui kementerian terkait
tak ambil pusing sehingga berita tersebut hilang bagai dimangsa Bumi.
Ketua Asosiasi
Tenaga Kerja Indonesia, Retno Dewi, mengecam insiden penembakan Kanis yang
dikira beruk yang sedang merusak pohon mangga. "Memang belum ada
penghargaan sama sekali, orang Indonesia tidak dianggap apaapa. Masa orang
dianggap monyet, kan kelihatan bedanya antara monyet dan manusia," kecam
Retno.
Ironis sekali,
manusia dipandang sangat rendah seperti binatang. Bahkan sekalipun itu monyet,
dia tidak perlu ditembak karena monyet pun dilindungi.
Tembang duka
Kasus Fitria dan
Kanis adalah segelintir dari sekian kasus yang dialami ratusan, bahkan ribuan,
buruh migran di luar negeri yang bertaruh peluh mengubah ekonomi keluarga.
Namun, kadang nestapa hadir di tengah perjuangan selaku pahlawan devisa negara
dan keluarga. Tuntutan kerja yang kadang keras dan di luar kemanusiaan membuat
para buruh migran nekat sekalipun menabrak norma dan hukum.
Kadang pula mereka
mengalami kekerasan seksual. Misalnya, delapan dari tiga belas TKW asal
Indonesia dideportasi dari Malaysia melalui Batam, Kepulauan Riau, pekan ketiga
Maret 2012. Saat ditampung di shelter Dinas Sosial Batam, kisah perlakuan
majikan dibeberkan Febrina, pendamping TKI dari Kementerian Sosial. Mereka
rata-rata diperlakukan kasar dan pulang tanpa sepeser pun rupiah dari jerih
payah kerja.
Seorang TKW
cleaning service berusia 16 tahun di sebuah perusahaan perkebunan sawit malah
bernasib tragis. Setelah dipukul hingga kakinya luka dan membengkak, ia
melarikan diri dan bersembunyi di perkebunan sawit. Namun, ia seperti kata
pepatah: keluar dari mulut singa masuk mulut harimau. Saat bersembunyi, ia
diperkosa segerombolan pria dan ditinggal begitu saja dalam kondisi lemas tanpa
busana.
Dua TKI asal Batam,
LS dan RS, juga dipaksa menjadi pelayan birahi majikan asal India. Pengalaman
itu disampaikan di Polresta Barelang, 21 April 2012. Keduanya pulang atas
bantuan seorang Pakistan yang baik hati. Mereka kabur dari rumah saat
majikannya tengah asyik ngobrol dengan sang germo.
Di luar itu, masih
segar pula ingatan atas nasib Mad Noor, Herman, dan Abdul Kadir Jaelani. TKI
asal Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, itu meregang nyawa setelah timah panas
Polis Diraja Malaysia merobek tubuh mereka di Negeri Sembilan, Malaysia, pada 24
Maret 2012. Ketiga jenazah baru dikenali setelah terbujur di Port Dickson
Hospital, Negeri Sembilan.
Kala itu ditemui
kejanggalan. Organ vitalnya diduga diambil dan diperjualbalikan karena ada
jahitan pada mata, dada, dan perut. Mata dan organ dalam jasad itu diduga sudah
raib. Kondisi itu pantas melahirkan requiem, tembang duka, sekaligus refleksi
atas nasib pahlawan devisa Indonesia. Kemudian memikirkan regulasi dan strategi
cara membentengi dan melindungi mereka selama berada di luar negeri.
Belum maksimal
Nasib tragis yang
dialami Fitria, Kanisius, dan segelintir TKI di atas bukan berarti miskin
perhatian pemerintah melalui regulasi penempatan dan perlindungan buruh migran
di luar negeri. Barangkali regulasinya sudah memadai, namun miskin di tingkat
pelaksanaan.
Dalam konteks yang
lebih luas, harus disadari bersama bahwa menjamurnya warga negara ke luar
negeri menunjukkan minimnya lapangan kerja di dalam negeri. Negara tampak absen
memenuhi kebutuhan dasar warganya melalui penciptaan lapangan kerja.
Sekadar contoh,
jika ditelusuri, ketertarikan menjadi buruh migran di luar negeri, entah
sebagai pekerja di perkebunan sawit, perusahaan konstruksi, atau pembantu rumah
tangga, merupakan pilihan sebagian warga dari NTB dan NTT. Pilihan ini menjadi
garansi bagi kelangsungan pendidikan anak-anak mereka hingga perguruan tinggi.
Kadang, setelah anak-anaknya meraih sarjana, barulah kembali. Bagi mereka, apa
pun yang dialami di rantau, sudah menjadi risiko sebuah pengorbanan.
Tingginya animo
masyarakat menjadi buruh migran merupakan kenyataan di tengah minimnya lapangan
kerja. Kondisi itu tentu, mau tidak mau, memaksa pemerintah melalui Kementerian
Tenaga Kerja dan Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja
Indonesia (BNP2TKI) serta lembaga-lembaga terkait lainnya memikirkan serius
jalan keluarnya. Namun, membuka kesempatan seluasluasnya kepada warga negara
menyabung nasib selaku pahlawan devisa juga menjadi pilihan yang tak bisa
dihindari.
Dalam diskusi
komunitas di Blitar, Jawa Timur, 13 Maret 2012, Wahyu Susilo dari Migrant Care
mengingatkan, Ratifikasi Konvensi Tahun 1990 tentang Perlindungan Pekerja
Migran diharapkan mampu melindungi pekerja migran (TKI) secara lebih konkret.
Dari ratifi kasi tersebut, menjadi kewajiban negara untuk menjadikan hukum
positif berupa UU. Secara otomatis, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 yang juga
mengatur prosedur penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri harus
disesuaikan dengan ratifikasi tersebut.
Ratifikasi konvensi
tersebut menjadi UU mendapat pengawalan seluruh aktivis LSM dan organisasi
buruh migran untuk mendapat kepastian hukum yang lebih berpihak pada
kepentingan perlindungan buruh migran. Hal tersebut juga untuk mengeliminasi
terjadinya diskonsistensi di tingkat pemerintah terhadap ratifikasi konvensi
dan perubahan undang-undang tersebut.
Sumber: Koran Jakarta, 24 Oktober 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!