Peneliti Doktoral
The International Institute of Social Studies
Universitas Erasmus
Belanda
Dahlan vs DPR,
begitu judul editoral Media Indonesia (27/10) yang lalu. Ini menjadi bagian
dari beberapa fase pertarungan Dahlan Iskan versus DPR dalam kurun waktu
terakhir ini. Setelah sebelumnya, ada rasa ketersinggungan anggota DPR atas
sikap Dahlan dalam beberapa soal. Dahlan yang tidak memenuhi undangan DPR.
Begitulah selanjutnya, hingga peristiwa di mana Dahlan memperhatikan curhat
para koleganya di BUMN: mereka telah menjadi sasaran palak anggota DPR. BUMN
menyediakan upeti untuk sejumlah anggota DPR.
Seperti banyak
diduga selanjutnya, diskusi dan pertarungan berakhir pada soal cara
menyampaikan persoalan, bukan pada substansi masalah yang disampaikan di sana.
Para petinggi negara yang menghuni gedung DPR menyesalkan cara Dahlan dengan
mengungkapkan kebiasan oknum-oknum DPR yang berlaku sebagai tukang palak di
BUMN. Kurang lebih, menurut mereka, ini bisa dikatakan sebagai cara yang tidak
patut.
Kita ingat kalau
dulu di zaman orde baru, DPR seringkali disebut dengan istilah tukang stempel,
hanya ‘meng-ekor’di belakang pemerintah, sekarang ada sebutan baru tukang
palak, merujuk pada kicauan Dahlan! Lumrah jika sebagian dari mereka merasa
tersinggung. Tetapi, pertanyaan sederhananya, apakah perasaan bersalah karena
melukai rasa keadilan publik sama besarnya atau lebih besar volumenya ketimbang
rasa tersinggung ini. Jangan sampai, para anggota dewan terhormat ini hanya
memikiki rasa tersinggung saja, sementara mereka sama sekali tidak memiliki
rasa bersalah sedikitpun di hadapan kegelisahan hati Dahlan. Tentu, hanya penguasa
yang memiliki kualifikasi kepekaan sosial mumpuni saja yang bisa menjawab
gugatan seperti ini dengan tuntas.
Begitulah
selanjutnya, sebagaimana biasanya, substansi dari dugaan ketidakpatutan yang
dilakukan penyelenggara negara menguap begitu saja. Memang, selama ini, banyak
yang diduga melakukan korupsi. Sebagiannya sempat diadili. Ada yang bebas. Ada
yang masuk bui. Lebih banyak yang tetap menghirup udara bebas. Meskipun santer
dibicarakan mereka tersangkut kasus korupsi maha besar. Semuanya memiliki
kekuasaan. Entah politik. Maupun bisnis. Meskipun dua ladang ini, sulit
dipisahkan lagi. Mungkin, begitu sekilas, cerita kejahatan korupsi. Sekaligus
masa kelabu demokrasi di Indonesia.
Kulturasi
Apakah ada cerita
lain, di negara-negara lain, mirip Indonesia? Tidak perlu menengok ke negeri
seberang. Ini kisah negeri kita. Yang semestinya menjadi halaman terakhir dari
kisah panjang kerusakan kekuasaan dan politik. Namun, bagaimana kita bisa
mengakhiri mimpi buruk ini ketika demokrasi seolah melahirkan kembali kelaliman
dalam diri orang-orang yang mengambil untung dari proses-proses politik yang
tidak matang. Pada titik ini, tidak terbantahkan, demokrasi memang harus
diselamatkan.
Ivan Kolstad dan
Arne Wiig, dua peneliti Chr. Michielsen Institute (2011) menulis sebuah
analisis yang, dalam konteks Indonesia di kekinian, mungkin terdengar
menggelikan. Di bawah judul “Does Democracy Reduce Corruption?”, keduanya
memperlihatkan beberapa hal mengejutkan. Ada titik ideal yang harus dicapai.
Ini ada dalam hipotesis mereka bahwa pola-pola kehidupan politik demokratis,
sekaligus akan menghasilkan pemerintahan yang bersih. Bahasa sederhananya,
negara bebas (dari) korupsi.
Namun, keduanya
menemukan kenyataan yang agak aneh. Pertama, ada negara yang kurang demokratis,
namun memiliki kualitas ‘bersih lingkungan’ politik pemerintahan mengagumkan.
Singapura diangkat sebagai satu contoh penting. Negara yang berada sepeminum
teh dari Indonesia. Kedua, beberapa negara mengklaim demokratis, justru
terancam bahaya korupsi masif. Entahkah Indonesia salah satunya. Kalau bebas
korupsi dijadikan sebagai variabel penting kualitas demokrasi, apakah kategori
pertama masih disebut kurang demokratis, dan kategori kedua tetap disebut lebih
demokratis?
Kolstad dan Wiig
membangun konklusi penting bahwa demokrasi bisa mendobrak jaringan kejahatan
koruspi. Namun, demokrasi dalam garis pemikiran ini, tidak hanya sebatas proses
yang menonjolkan segenap aktor politik sarat kepentingan sesat-sempit.
Demokrasi niscaya merupakan proses mental, budaya, cara pandang terhadap publik
dan kekuasaan. Demokrasi harus menjadi proses berkebudayaan. Menyentuh
kesadaran. Kegagalan membangun demokrasi dalam ruang kesadaran dan alur
kulturasi akan menyuburkan korupsi. Demokrasi yang berhasil menjadi bagian dari
tindakan berkebudayaan akan berpeluang menelikung siasat destruktif jaringan
korupsi.
TigaArah
Kostad dan Wiig
menyimpulkan bahwa demokrasi yang berpeluang melumpuhkan korupsi mengandaikan
tiga arah tanggung jawab pemerintah. Pertama, vertical accountability. Lembaga
politik dan kekuasaan yang merupakan hasil akhir proses demokrasi harus
menunjukkan tanggung jawab langsung kepada rakyat. Pemerintah harus bekerja
untuk kepentingan rakyat. Begitu ungkapan populisnya. Pemerintah menjunjung
rakyat, sebagai atasan langsung.
Kedua, horizontal
accountability. Semua lembaga kekuasaan harus bergerak pada jalur
check–balances konstruktif. Pada arena ini, semestinya kejahatan korupsi harus
dilumpuhkan pada kesempatan pertama. Mereka sama-sama saling mengingatkan
tentang setiap detail kekeliruan dan penyimpangan kekuasaan. Bukan malah
memperkuat corruption-balances antar lembaga politik kekuasaan. Ketiga,
societal accountability. Pemerintah mesti memastikan ruang merdeka untuk semua
elemen masyarakat sipil terutama berhubungan dengan kemerdekaan pers, diskusi
publik, arena seni dan kebudayaan.
Saat tiga arah
akuntabilitas ini menggerakkan energi demokrasi untuk kesejahteraan rakyat,
lantas dari mana kejahatan korupsi itu muncul? Ada suasana sosial dan politik –
meminjam pandangan A. Schedler (2002) – di luar demokrasi dan korupsi – bisa
menjelaskan perilaku korup para penguasa. Gaya hidup elitis, ideologi politik
yang tidak jelas, sikap permisif terhadap kelalaian kekuasaan, akan membentuk
mentalitas politik yang mengancam demokrasi. Ini yang memunculkan sikap sinis
publik pada demokrasi. Suasana semacam ini hanya akan menguntungkan pemain
politik yang sudah terbiasa menelikung akuntabilitas mereka. Mereka yang memanfaatkan
keterpilihan politik untuk tujuan-tujuan pribadi dan parsial kelompok politik.
Sarah Birch, pengajar Universitas Essex UK (2001), menyebut fenomena ini dengan
korupsi electoral (electoral corruption).
De-formula
Beberapa waktu
belakangan ini, secara kasat mata, sebenarnya terlihat bagaimana demokrasi
elektoral berbanding lurus dengan kejahatan korupsi yang muncul di Indonesia.
Pemenang politik pada akhirnya memang segera berada di sekitar sumber finansial
pembangunan tanpa batas. Bahkan memiliki wewenang tidak terbatas untuk mengatur
sirkulasi budget pembangunan. Mereka yang tersangkut cerita korupsi memiliki
jaringan politik yang luas, besar dan kuat. Korupsi muncul dari orang-orang dan
segenap kekuatan politik yang memiliki keterhubungan kekuasaan ke dalam
demokrasi elektoral.
Runtuhnya tiga arah
akuntabilitas segenap lembaga politik dan pemerintahan pada masa kini seolah
mempermudah aksi-aksi keji korupsi runtutan yang tidak terhentikan lagi.
Kerusakannya langsung terlihat dengan jelas. Juga pada tiga aspek paling
penting. Pertama, rakyat yang senantiasa dibuaikan dengan kisah-kisah makro
pembangunan. Kedua, lembaga-lembaga kekuasaan yang terbebani korupsi. Ketiga,
ruang publik yang terancam kekerasan masif. Kini, ada pembusukkan dan perusakan
formula-formula politik demokratis. Semua ini sedang mengalir dengan deras
karena Indonesia sedang mengalami semacam siklus korupsi elektoral.
Sumber: Media
Indonesia, 6 November 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!