Magister Filsafat
UI & Pengajar
Filsafat FE Universitas Pancasila
Filsafat FE Universitas Pancasila
DI balik pria yang
kuat atau sukses, terdapat wanita yang kuat dan sukses pula. Pitutur klasik dan
nyaris klise ini sebenarnya memiliki implikasi menarik yang luput dari
perhatian di tengah ingar-bingar dan hiruk-pikuk politik menjelang pemilihan
presiden (pilpres) 2014. Yaitu, betapa di tengah nama-nama bursa capres dominan
laki-laki, faktor pasangan sang calon alias ibu negara sejatinya merupakan
faktor berperan, sekaligus terlupakan, bagi pemilih (voters) di kotak suara
nanti.
Bahkan, di
Indonesia yang kental budaya patriarkinya, perempuan ternyata sudah menunjukkan
taring kuasa politiknya sedari dulu. Misalnya, buku sejarawan sekaligus mantan
Duta Besar Kanada untuk Indonesia, Earl Drake, bertajuk Gayatri Rajapatni:
Perempuan di Balik Kejayaan Majapahit (Ombak, 2012) menunjukkan fakta
mencengangkan soal ini. Yakni, Gayatri sebagai putri raja terakhir Singasari,
Kertanegara, dan istri pendiri Majapahit, Raden Wijaya, adalah tokoh utama di
balik layar yang sebenarnya mengarahkan tindak-tanduk politik duet penguasa
Majapahit paling legendaris, Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Status tambahannya
sebagai ibu dari Tribuana Thunggadewi, ratu Majapahit sekaligus ibu Hayam
Wuruk, jelas mengukuhkan peran Gayatri sebagai manifestasi mutlak titah dewata
yang mengejawantah dalam kuasa raja Hayam Wuruk, yang nota bene cucunya
sendiri.
Gayatri boleh
dibilang semacam "simbol negara" yang memberikan justifikasi sakral
bagi kebijakan sang eksekutor politik, Patih Gajah Mada, yang lahir dari
kalangan jelata. Tanpa legitimasi teologis demikian, kita bisa membayangkan
betapa sulitnya bagi Gajah Mada untuk membuat kebijakannya efektif di tengah
rakyat yang waktu itu begitu tunduk pada imajinasi kuasa dewa-dewa.
Karena itu,
meminjam klasifikasi masyarakat ideal Plato (Deliar Noer, Pemikiran Politik di
Negeri Barat, Mizan, 1997), Gayatri sesungguhnya adalah sang philosopher-queen (ratu-filsuf) yang
memiliki pengetahuan dan kebijaksanaan mumpuni di balik kuasa Hayam Wuruk,
sementara Gajah Mada adalah prajurit tangguh yang melambangkan semangat kelas
pejuang. Hasilnya kita tahu semua demikian dahsyat: bersatunya Nusantara di
bawah imperium Majapahit era kepemimpinan Hayam Wuruk-Gajah Mada.
Mau tak mau, peran
Gayatri mengingatkan juga kita akan tokoh ibu suri Tzu Hsi yang demikian
dominan dan mengendalikan kebijakan kaisar terakhir Tiongkok zaman Dinasti
Ching, Pu Yi. Dalam dua novel historis karya Anchee Min, Empress Orchid dan
sekuelnya The Last Empress (Hikmah, 2008), misalnya, diceritakan bahwa Tzu Hsi
adalah selir muda cantik berjuluk Sang Anggrek yang masuk istana lewat berbagai
intrik politik. Ketika Kekaisaran Tiongkok di ambang keruntuhan, dialah yang
mampu menyatukan negeri tersebut. Kekuasaannya makin besar ketika anaknya
menjadi kaisar dan kian besar lagi ketika anaknya meninggal dan dia berhasil
mengangkat keponakannya yang berusia dua tahun, Pu Yi, sebagai kaisar baru.
Sayangnya, ulah Tzu Hsi semakin semena-mena hingga mengantarkan keruntuhan
Tiongkok pada 1911.
Kita tentu ingat
juga peran Inggit Ganarsih yang mengantarkan sang suami sekaligus anak
semangnya, Soekarno, ke puncak kekuasaan. Atau, peran kuat Fatmawati dalam
mengiringi perjalanan politik Soekarno dan perjuangan kemerdekaan.
Sampai-sampai Fatmawati menjadi masyhur karena jasanya menjahitkan bendera merah
putih pertama.
Ibu Tien pun
begitu. R.E. Elson dalam salah satu biografi terlengkap tentang Soeharto
(Suharto, Minda, 2005) menyebutkan bahwa Ibu Tien adalah mitra ideal dan teman
tersayang yang sangat setia, cerdik, sabar, banyak akal, luar biasa kooperatif
dalam mengakomodasi ambisi militer dan politik Soeharto. Dia merupakan sumber
akal sehat serta nasihat santun bagi Soeharto. Bahkan, Ibu Tien sebenarnya
sangat ingin agar sang suami mundur dari jabatan presiden pada 1980-an dan
tidak senang Soeharto kemudian memilih mencalonkan diri lagi pada 1992.
Selain itu,
kematian Ibu Tien pada 28 April 1996 juga memusnahkan pengawasan terhadap
kecenderungan kekuasaan Soeharto dan kecenderungan sang Smiling General untuk
memfavoritkan kepentingan bisnis anak-anaknya. Akumulasi dari lepas kendalinya
dua kecenderungan negatif itu kita tahu semua: terdongkelnya Soeharto dari
kekuasaan dengan nama yang tak lagi dielu-elukan.
Singkat kata,
mencari pemimpin negara ideal seharusnya tak bisa lepas dari upaya mencari ibu
negara ideal. Sebab, ibu negara inilah -sebagaimana ditunjukkan oleh sejumlah
perempuan perkasa dalam sejarah kuasa politik Indonesia- yang akan memberikan
energi spiritual dan moral luar biasa. Tanpa ibu negara yang baik, seorang
pemimpin akan timpang, setidaknya secara simbolik, dalam menjalankan kekuasaan.
Dia tidak bisa memberikan teladan tentang nilai-nilai keluarga (family values)
yang utuh. Dan, kita tentu tidak mau nasib kita diserahkan kepada nakhoda
semacam itu.
Sumber: Jawa Pos,
14 Desember 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!