Oleh Putu Wijaya
Sastrawan
Memasuki bulan
Desember, bahkan sejak sebulan sebelumnya, berdengung lagu white chrismast
diseluruh dunia. Kendati dikawasan yang tidak sedang diguyur salju atau tidak
pernah mengenal salju. Lagu yang menyambut hari natal itu meluncur di sela-sela
kesibukan manusia. Dia telah menjadi bagian dari ritual untuk menyambut
kehadiran kembali sebuah hari raya.
Hari saat para
pemeluknya mengendorkan urat syaraf, mawas diri, menahan emosi, menyatukan
pikiran dan perasaan pada sang pencipta. Suatu hari yang benar-benar dua puluh
empat jam meniupkan angin damai, rasa bersyukur, instrospeksi dan retrospeksi
agar mampu melihat ke depan dengan lebih jernih, menapak lebih baik, mencintai
dan bersaudara dengan sesama.
Kehadiran hari
raya, natal, serta hari-hari raya lainnya adalah sebuah berkah. Ada pikiran
mulia yang telah menciptakan adanya hari raya-hari raya, natal dan hari-hari
raya yang lain, yang kemudian menjadi ventilasi dalam kekisruhan dan kesumpekan
beraneka warna perbedaan dan pertentangan yang ada di dunia. Karena pada hari
raya itu setiap pemeluk/ umat masing-masing memadamkan emosi pertentangan dan
perbedaan, untuk dapat meluruskan pikiran ke bawah kaki-Nya.
Perang pun mengunci
mulut senjatanya, perselisihan dan pertentangan serta kesalah pahaman diakhiri
dengan berjabatan tangan dan saling maaf memaafkan. Saling menyapa menghapuskan
kemarahan untuk dapat kembali menyambung persaudaraan di dalam perbedaan
apalagi persamaan.
Kehadiran sebuah
hari raya, hari yang dianggap suci, memberikan irama baru yang segar pada
kehidupan. Di dalam kalender, penanggalan hari raya selalu ditulis dengan warna
merah. Bukan sebuah kebetulan, dalam lampu-lampu pengatur lalu lintas, warna
merah berarti harus berhenti. Memberikan kesempatan pada arus lalu lintas
dijalur lampu hijau mengalir leluasa.
Hari raya bagaikan
sebuah simbol tempat setiap orang untuk memadamkan "Api" yang
bergolak dalam batinnya untuk membiarkan "keteduhan" menggantikan untuk
berkobar. Hari raya dengan demikian adalah sebuah seruan damai yang tidak
diteriakkan dengan tangan terkepal, muka bengis, apalagi senjata, tapi sebuah
bisikan yang sangat halus tapi meluluhkan.
Pada hari raya,
setiap orang yang sehari harinya getol dan berambisi untuk merebut kemenangan
dan sukses besar, menggemboskan dirinya. Luapan semangat individualnya terkikis
, bahkan kadang kala habis. Itulah saat ia, setelah satu tahun, bahkan mungkin
bertahun tahun melupakan asal usulnya, mendusin kembali. Ia akan rindu kepada
kampung halaman, sanak saudara, handai taulan serta lingkungan masa kecilnya.
Dan biasanya tanpa berfikir ekonomis seperti biasanya, ia akan membuka dompet
atau menguras tabungannya untuk "pulang" agar bisa kembali bertemu
dengan masa lalunya.
Demikianlah hari
raya, natal dan lain-lainnya, telah dengan sangat rahasia tetapi indah,
memanusiakan kembali manusia. Idiologi, panutan, aliran bahkan keyakinan
tertentu tentang tujuan kehidupan yang semula begitu perkasa dan mengubah
manusia menjadi "mesin" yang bahkan kadangkala bisa "tuli, bisu
dan dableg", renyah kembali. Manusia menjadi kembali sederhana dan
menghargai serta membutuhkan ikatan persaudaraan dengan manusia lain.
Sebuah lagu telah
menjadi sebuah jembatan untuk menyadarkan kembali manusia pada kehadiran
manusia lain. Walaupun lirik lagunya memang indah tapi arti dari lagu itu
sendiri yang memberikan irama peringatan kepada kemanusiaan, telah menjadikan
lagu bukan hanya semata mata lagu, tapi sebuah mantra. Sekali setahun mantra itu
terdengar dinyanyikan oleh tahun-tahun yang terus berjalan atau berganti tanpa menunggu
persetujuan manusia atau kekuasaan, membentuk sebuah siklus bahwa kemanusiaan
dan persaudaraan, di dalam perbedaan walau sering dilupakan atau dibasmi oleh
manusia atau kelompok manusia, akan terus berdegub dengan gagahnya.
Hari raya, semua
hari raya, natal dan sebagainya adalah tempat untuk berharap bahwa perdamaian
yang tak henti-hentinya dikejar oleh manusia, yang dengan susah payah
diperjuangkan dengan "senjata" bukan sesuatu harapan kosong. Tetapi
untuk memperjuangkannya, menjadikan sesuatu yang nyata, bukan otot yang
diperlukan, bukan kegarangan yang diperlukan, bukan senjata dan
pembunuhan-pembunuhan yang diperlukan, tapi keikhlasan. Selamat Hari Natal.
Sumber: Jurnal
Nasional, 26 Desember 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!