Guru Besar & Ketua
Program Doktor Ilmu Hukum
Universitas Gadjah
Mada (UGM) Yogyakarta
Partai Demokrat
sedang dilanda “puting beliung”, porak-poranda, dan beberapa korban berjatuhan.
Silaturahmi nasional (silatnas) yang semestinya diwarnai canda-tawa dalam
keakraban dan jalinan kasih sayang justru berbalik dan bertolak belakang.
Saling mencaci,
memaki, bahkan mengusir dari ruang sidang. Dalam kerangka menjaga nasionalisme,
realitas politik praktis seperti ini layak dipandang sebagai warning sekaligus
sampel yang mewakili watak dan jati diri partai politik pada umumnya di
Indonesia. Terkait dengan realitas demikian, para pengamat mencoba membuat
prediksi. Dengan bekal pengalaman dan kemampuan akal (rasio) dikemukakan
berbagai pandangan.
Misalnya ini:
”Tantangan ke depan yang harus dihadapi Demokrat lebih besar daripada peluang
yang bisa diraihnya. Akan sulit bagi Demokrat untuk bisa mendapatkan kembali
momentum emas pada Pemilu 2004 dan 2009 yang membuktikan masa keemasan partai
setelah memperoleh dukungan rakyat dengan suara meyakinkan pada pemilu
legislatif dan pemilihan presiden” (Tajuk Sindo, 17/12). Prediksi masa depan
partai besar yang sedang berkuasa memang layak diperhitungkan.
Bagaimanapun
soliditas partai itu akan berpengaruh terhadap masa depan bangsa dan
negara.Pengaruh itu akan positif ataukah negatif, tergantung komitmen partai itu
terhadap dasar dan tujuan kita bernegara. Dalam berbagai kesempatan saya
katakan bahwa pada keotentikannya, politik itu mulia. Politik dipelajari,
diajarkan, dan dipraktikan untuk mengatur dan mengendalikan kekuasaan dalam
pemerintahan demi melindungi dan menyejahterakan warganya.
Di situ kekuasaan
hanyalah alat (as a tool) semata, sementara kesejahteraan warga (nation)
merupakan fokus perhatiannya. Kekuasaan yang menurut Lord Acton cenderung korup
perlu dikendalikan berdasarkan aturan (hukum) agar digunakan sebagaimana mestinya.
Jadi, penggunaan kekuasaan itu atas dasar aturan dan bukan atas dasar kekuatan.
Semua aturan hanya
dapat disebut sebagai hukum bila di dalamnya sarat muatan nilainilai moralitas
dan integritas. Kejujuran, kesalehan, profesionalitas merupakan rohnya hukum.
Pada gilirannya, berpolitik berdasarkan hukum menjadi santun, enak didengar
ketika bicara, indah dilihat ketika bertindak, dan sejuk di hati karena
dipraktikan dengan simpati, penuh empati, tanpa emosi. Pertautan antara hukum
dan politik memang telah ada sejak kelahirannya.
Akan tetapi, ketika
politik mendominasi atau mempermainkan hukum, rangkaian tindakan pemberantasan
korupsi, pengisian jabatan menteri sampai proses peradilan tidak jauh dari
sandiwara, kepura-puraan, yang ujungnya adalah kekuasaan. Menjadi menarik
disimak pernyataan seorang tokoh Partai Demokrat bahwa kader partai yang
bermain sinetron dalam politik, apalagi dengan peran antagonis, bicara keras
dan kotor, melukai perasaan ketua partai pantas dilengserkan. Lengser dapat
diartikan turun dan kembali pada asalmuasalnya.
Kembali ke
asalmuasal tidak mesti bermakna buruk. Dalam perspektif hukum, merupakan
kewajiban moral bagi setiap manusia untuk memahami hukum sampai ke dasar
asal-muasalnya.Mengapa? Karena hukum sebagai norma/kaidah dalam keotentikannya
merupakan “rumah nilai-nilai”. Nilai kebenaran (logika), kebaikan (etika), dan
keindahan (estetika) merupakan kebutuhan rohaniah-spiritual manusia.
Nilai-nilai itu
perlu terus dihadirkan dalam kebersatuan dengan peraturan maupun sikap dan
perilaku manusia. Apabila cara berhukum terjaga demikian, berpolitik atas dasar
hukum dipastikan rasional, santun, dan indah. Kehidupan bernegara hukum pun
akan menjadi tata titi tentrem, nir ing sambekala, jauh dari kegaduhan maupun
anarki ditukikkan lebih dalam lagi, asal-muasal hukum memberi dasar (fondasi)
kerohanian kuat bahwa interaksi antar sesama manusia wajib dilakukan dengan
“cinta”.
Elemenelemen cinta
ada tiga, pertama, sanggup berkorban demi yang dicintai. Benarkah kita cinta
kepada tanah air, bangsa dan negara ataukah justru mengorbankannya demi
kepentingan pribadi? Kadar pengorbanan adalah ukurannya. Kedua, memberi
kasih-sayang. Artinya, berinteraksi dengan sesama dilakukan dengan kelembutan.
Suara hati yang didengar. Senyuman ramah yang diberikan. Kesejukan hati yang
jadi idaman.
Ketiga, pelayanan
setiap saat. Kecintaan manusia kepada Tuhan tecermin ketika dia mampu
mengabdikan hidup dan kehidupannya hanya untuk mendapatkan keridaan-Nya.
Kecintaan kita kepada bangsa dan negara perlu dibuktikan dengan bekerja secara
profesional, transparan dan akuntabel sesuai dengan posisi, tugas dan amanah
masingmasing. Dalam ihwal kasih sayang, kita bisa belajar dari alam. Lihatlah,
kasih-sayang pohon, air, dan udara. Mereka menyebar kelembutan tanpa membeda-bedakan.
Setiap
makhluk-entah manusia, harimau, semut, kambing —yang berteduh di pohon dipayungi
dengan keteduhan daun-daunnya. Air, di mana pun berada, rela menjadi habitat
bagi ikan, tanpa membedakan besar atau kecil, rela pula diminum manusia tanpa
membedakan apakah dia pejabat ataukah rakyat jelata. Udara di mana pun rela
dihirup oksigennya tanpa pernah minta bayaran. Semuanya memberikan kasih-sayang
dengan lembut, tulus, dan ikhlas.
Asal-muasal hukum
sebagai ”rumah nilai-nilai” memberi inspirasi bagi terwujudnya negara hukum
sebagai ”rumah nyaman bagi semua penduduknya”. Itulah pikiran cerdas dan obsesi
Satjipto Rahardjo (2000) tentang negara hukum Indonesia. Di negara hukum itu
kebencian sudah dikikis habis sehingga yang tersisa hanyalah kasih sayang.
Meminjam kata-kata
Robert Thurman dari Harvard University tentang ”enlightenment transcends all
dichotomies”, bila diperluas dalam konteks bernegara hukum, maka dikotomi
antara aku atau kamu, pusat atau daerah, pejabat atau rakyat mesti dirombak dan
dibangun menjadi ”kita sebagai bangsa”. Jangan lupa, hukum dan politik yang
dalam praktik berhadap-hadapan dan cenderung saling menyalahkan dapat
dipersatukan kembali dalam bingkai kasih-sayang.
Sumber: Seputar
Indonesia, 26 Desember 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!