Oleh Sutrisno
Mahasiswa Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
TANGGAL 22 Desember
2012 besok, kita kembali memperingati Hari Ibu. Sejarah mencatat, Hari Ibu
adalah momen historis yang ditandai dengan kebangkitan wanita Indonesia awal
abad ke-20, sekitar 84 tahun lalu. Kala itu, 22-25 Desember 1928, sejumlah
aktivis wanita dari berbagai daerah dan organisasi berkumpul di Yogyakarta.
Mereka yang berkumpul atas nama kesadaran melawan kolonialisme dan praksis
pemberdayaan itu menyelenggarakan Kongres Perempuan yang pertama.
Awal abad ke-20
adalah masamasa bangkitnya kesadaran nasional, bangkitnya pemberdayaan, dan
bangkitnya kekuatan intelektual menghadapi kolonialisme. Dan, Kongres Perempuan
1928 tidak terlepas dari `semangat zaman' waktu itu. Ini juga yang mendorong
Presiden Soekarno, menetapkan 22 Desember sebagai hari nasional, Hari Ibu.
Kini, Hari Ibu di
Indonesia diperingati untuk mengungkapkan rasa sayang dan terima kasih kepada
para ibu, memuji ke-ibu-an para ibu. Berbagai kegiatan pada peringatan itu
merupakan kado istimewa, penyuntingan bunga, surprise party bagi para ibu,
aneka lomba masak dan berkebaya, atau membebaskan para ibu dari beban kegiatan
domestik sehari-hari.
Namun di lain
pihak, peringatan Hari Ibu agaknya terpolusi Mother`s Day yang diperingati di
banyak negara, terutama Amerika Serikat. Memang tidak ada yang salah dengan
aneka ungkapan seperti itu. Tidak ada salahnya pula mengucapkan terima kasih
atas jasa dan jerih payah ibu. Tetapi, jika merunut sejarah terjadinya Hari Ibu
di Indonesia, sebenarnya bukan itu misi sejatinya.
Misi sejati
peringatan Hari Ibu adalah mengenang perjuangan kaum perempuan menuju
kemerdekaan dan pembangunan bangsa.
Berbagai isu yang
saat itu dipikirkan untuk digarap ada lah persatuan perempuan Nusantara;
pelibatan perempuan dalam perjuangan melawan kemerdekaan; pelibatan perempuan
dalam berbagai aspek pembangunan bangsa; penentangan perdagangan anak-anak dan
kaum perempuan; perbaikan gizi dan kesehatan bagi ibu dan balita; pernikahan
usia dini bagi perempuan; serbuan budaya konsumtif; permisivisme; pornografi;
kekerasan dalam rumah tangga, dan sebagainya.
Realitas yang
Terasing
Kita tidak bisa
menutup mata akan kenyataan bahwa masih ada sisi gelap yang menyelimuti kaum
perempuan. Perempuan adalah realitas yang terasing.
Ia tersubordinasi
di bawah wacana universal para filosof dan sabda agung kaum teolog serta
represi politik kaum elite. Ia tersandera kungkungan kultural dan struktural
sejak milenium keempat sebelum masehi sampai kini.
Ketidaksetaraan
dalam kapabilitas dasar akan mendistorsi kemajuan bangsa. Ini tidak mengada-ada
mengingat tertinggalnya kapabilitas dasar perempuan akan mengakibatkan pada dua
hal. Pertama, kontribusi perempuan dalam pembangunan menjadi rendah. Tidak
banyak pengharapan dari perempuan yang memiliki pendidikan dan kesehatan rendah
untuk memperbesar output pembangunan. Kedua, kontribusi perempuan sebagai
pembentuk generasi bangsa menjadi lemah. Tipis harapan bahwa kualitas penerus
bangsa akan meningkat jika perempuan yang melahirkan mereka memiliki pendidikan
dan kesehatan rendah.
Oleh karena itu,
konsep pembangunan kemampuan peranan perempuan yang dipergunakan perlu
dikembangkan menjadi pemberdayaan perempuan yang berarti meningkatkan kualitas
dan peran perempuan pada semua aspek kehidupan b baik secara langsung atau
tidak langsung melalui penciptaan situasi-situasi yang kondusif sebagai
motivator dan akselerasi proses pembangunan. Sehingga Karls (1995) memandang
bahwa pemberdayaan kaum perempuan sebagai suatu proses kesadaran dan
pembentukan kapasitas (capacity building) terhadap partisipasi yang lebih
besar, kekuasaan dan pengawasan dalam pembuatan keputusan dan tindakan
transformasi agar menghasilkan persamaan derajat yang lebih besar antara
perempuan dan kaum laki-laki.
Paradigma Baru
Hal paling prinsip
dalam pembangunan perempuan Indonesia adalah merekonstruksi paradigma kaum
perempuan itu sendiri. Untuk itu, pendidikan merupakan keniscayaan guna
membiakkan paradigma baru ini. Bagi perempuan, sekolah bukan untuk memenuhi
tuntutan mencari pekerjaan, melainkan kewajiban sekaligus kebutuhan guna
mengubah paradigma berpikir dan melihat dunia dengan perspektif berbeda. Bagi
perempuan, pendidikan adalah tuntutan untuk mencetak generasi yang lebih baik,
bijak, berkualitas, dan bermoralitas. Di tangan perempuan, akan lahir generasi
yang melanjutkan pembangunan bangsa ini.
Di samping itu,
negara perlu memberikan porsi kepada kaum perempuan untuk lebih eksis
meningkatkan peran sertanya dalam pembangunan menuju bangsa yang sejahtera dan
penuh kedamaian. Hal ini harus dimaknai bahwa potensi dan kapabilitas teknis
kaum perempuan harus ditingkatkan melalui: pertama, upaya meng integrasikan
perempuan dalam berbagai bidang kehidupan, tanpa banyak mempersoalkan
sumber-sumber yang menyebabkan mengapa perempuan dalam masyarakat bersifat
inferior, sekunder dan dalam hubungan subordinasi terhadap laki-laki. Indikator
integrasi perempuan dalam pembangunan diukur dari akses pendidikan, hak-hak
politik, kewarganegaraan dan sebagainya.
Kedua, menempatkan
perempuan sebagai pelaku penting dalam masyarakat sehingga posisi perempuan
akan menjadi lebih baik, asumsinya perempuan telah dan selalu menjadi bagian
dari pembangunan nasional. Ketiga, konstruksi sosial yang membentuk persepsi
dan harapan serta mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan yang
menyebabkan rendahnya kedudukan dan status perempuan harus dihilangkan.
Keempat, memajukan
dan mengembangkan kaum perempuan di segala bidang baik politik, ekonomi, maupun
sosial. Termasuk, memastikan bahwa tatanan kehidupan, UU, dan peraturan lainnya
harus adil, tidak bias gender, dan tidak diskriminatif. Perempuan (ibu) harus
dipandang sebagai sosok yang mampu mengubah nasib bangsa.
Akhirnya, Hari Ibu
tidak sebatas seremonial sarat ritual retorika yang terekspresi dalam janji
untuk menempatkan kembali kaum perempuan sebagai insan yang turut berbicara dan
berperan dalam pembangunan bangsa serta peradaban manusia, namun sepi
implementasi. Hari Ibu dimaksudkan untuk memperkuat gagasan dan penolakan
terhadap struktur serta kebudayaan yang menyebabkan perempuan tercecer,
tersubordinasi dan tertindas dalam peradaban manusia.
Ingat sabda Nabi
Muhammad SAW, “Perempuan adalah tiang negara. Jika perempuan baik, negara itu
akan sejahtera secara penuh. Tetapi, jika perempuan rusak, negara itu akan
rusak secara penuh pula.“ Selamat Hari Ibu.
Sumber: Media
Indonesia, 21 Desember 2012
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!