Headlines News :
Home » » Multikulturalisme

Multikulturalisme

Written By ansel-boto.blogspot.com on Monday, July 21, 2014 | 4:09 PM

Oleh Otto Gusti, SVD 
Dosen Filsafat Politik dan HAM di STFK Ledalero

"NEIN zum europäischen Islamzentrum in München" --" Tolak Pusat Islam Eropa di München". Slogan ini tertulis pada spanduk para demonstran di Marienplatz, salah satu tempat para pejalan kaki dan pusat perbelanjaan paling ramai di jantung kota München. Aksi ini dilakukan selama beberapa hari selama bulan Juli. Para demonstran coba meyakinkan para warga yang kebetulan lewat di tempat itu bahwa Islam adalah bahaya untuk identitas kultural Eropa.

Pandangan eksklusif seperti ini tidak hanya dimiliki oleh para warga biasa. Para politisi pun tidak jarang menyampaikan pernyataan publik yang diskriminatif dan bertentangan dengan prinsip hak-hak asasi manusia khususnya tentang kebebasan beragama dan berekspresi. Pada tahun 2010 misalnya Menteri Luar Negeri Austria, Michael Spindelleger, dalam sebuah wawancara dengan Koran Der Standard menyatakan bahwa Negara Austria dan Eropa pada umumnya tidak menginginkan masyarakat-masyarakat paralel (Parallelgesellschaften).

Konsep tentang masyarakat paralel bertolak dari asumsi tentang adanya sebuah masyarakat dengan budaya dominan (Leitkultur). Budaya-budaya pendatang lain seperti Islam, budaya Turki, Cina, Afrika dan lain-lain harus menyesuaikan diri dengan budaya dominan tersebut kalau mau hidup di negara-negara Eropa Barat. Budaya dominan dianggap sebagai sebuah substansi statis yang resisten terhadap perubahan. Pandangan ini bertentangan dengan konsep moderen tentang budaya sebagai sebuah dinamika yang tak kunjung akhir.

Konsep budaya dominan sesungguhnya bertolak belakang dengan faktum pluralitas yang menandai setiap masyarakat moderen. Kehidupan bersama dalam masyarakat moderen diwarnai kebhinekaan pandangan, nilai, ideologi dan tradisi kultural. Di kota-kota besar kita jumpai kelompok-kelompok penggemar Mozart dan Lady Gaga, kaum vegetarian dan pemakan daging, neokonservatif dan pencinta lingkungan hidup, progresif dan skeptik terhadap kemajuan, kelompok Katolik, Kristen, Muslim dan esoterik. Kebhinekaan ini tidak hanya mewarnai ruang publik, tapi juga menyusup hingga ke ranah privat.

Faktum pluralitas ini melahirkan pertanyaan mendasar: apakah masih ada elemen normatif yang dapat mempersatukan sebuah masyarakat? Bagaimanakah kompleksitas pluralitas tersebut harus dihadapi? Konsep budaya dominan (Leitkultur) lahir dari pesimisme atas kemampuan demokrasi sebagai jaminan kesatuan sosial dan kerinduan akan sebuah basis kultural kolektif untuk sebuah masyarakat multikultural. Basis budaya kolektif tersebut harus melampaui prinsip formal demokrasi seperti kebebasan dan kesetaraan.

Sejumlah kalangan di Barat bersikap sangat kritis terhadap perkembangan demokrasi moderen yang dianggap sudah terlalu liberal. Karena itu pluralitas nilai, ideologi dan tradisi dalam demokrasi harus dijangkarkan kembali pada nilai budaya kolektif (Leitkultur). Namun apa wujud dari Leitkultur itu, sesungguhnya tak seorang pun tahu. Di Jerman misalnya ada yang menyebut Kekristenan sebagai budaya kolektif dominan.  Jawaban ini sudah lama tidak diyakini lagi. Alasannya, sederhana saja: makanan yang paling disukai orang Jerman adalah masakan Turki, Döner Kebab, sedangkan acara televisi paling digemari bukan mimbar agama, tapi acara Detuschland sucht den Superstar (Jerman mencari superstar) asuhan Dieter Bohlen.

Obsesi terhadap budaya dominan (Leitkultur) juga kita jumpai di Indonesia. Dikotomi antara budaya pribumi dan nonpribumi yang cukup lama dipelihara oleh regim Orde Baru lahir dari paradigm kebudayaan dominan tersebut yang melahirkan sejumlah kebijakan politik diskriminatif terhadap kelompok-kelompok yang dianggap "nonpribumi". Sementara itu di sisi kelompok "pribumi" sesungguhnya tidak pernah memiliki kesatuan kultural dan karena itu tidak lebih dari sebuah ideologi tanpa basis historis empiris.

Dalam semangat Orde Baru juga Manifesto Partai Gerindra yang berbunyi, Negara dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama" lahir dari latar belakang paradigm Leitkultur yang keliru.

Multikulturalisme

Bagaimana harus menyikapi pluralitas dalam masyarakat moderen? Apalah sebuah masyarakat membutuhkan basis kultural dan normatif kolektif agar demokrasi dapat berfungsi dengan baik? Politik multikulturalisme merupakan jawaban atas persoalan ini. Konsep, multikulturalisme" merupakan antitesis terhadap strategi liberal tradisional dalam menghadapi perbedaan-perbedaan sosial. Liberalisme tradisional berpandangan, perbedaan-perbedaan kultural dalam sebuah masyarakat yang ditata menurut hukum demokrasi liberal dan prinsip-prinsip universal merupakan bagian dari ranah privat dan tidak relevan secara publik.

Politik multikulturalisme menentang model liberalisme seperti ini. Cita-cita dasar multikulturalisme ialah menjawab pertanyaan tentang bagaimana menata kehidupan bersama yang setara, damai dan dalam suasana saling pengakuan dalam sebuah masyarakat yang plural secara etnis, rasial, kultural dan religius tanpa adanya rujukan normatif bersama (budaya dominan).

Multikulturalisme memperjuangkan penghapusan bentuk-bentuk diskriminasi hukum, politik dan sosial serta mendukung perjuangan kelompok-kelompok tersebut dalam melestarikan identitas kulturalnya. Multukulturalisme tetap menekankan pentingnya budaya politik kolektif yang menjamin kesatuan sosial. Di samping itu multikulturalisme juga hanya legitim sejauh tidak bertentangan dengan prinsip kesejahteraan individu dan karena itu berpijak pada faham faham hak-hak asasi manusia dan hak-hak konstitusional.

Politik multikulturalisme adalah politik yang coba menerjemahkan faktum multikulturalitas sosial ke sebuah tatanan dan kondisi politik institusional. Politik multikulturalisme sangat penting dijalankan sebab dalam kondisi sosial, politik, ekonomi dan kultural measyarakat moderen dan postmoderen, elemen-elemen reproduksi sosial yang penting seperti identitas kelompok, bahasa, budaya yang hanya dapat bertahan dalam dimensi publik membutuhkan jaminan dan dukungan politik negara. 
Sumber: Pos Kupang, 21 Juli 2014
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger