Dosen
Filsafat Politik dan HAM di STFK Ledalero
"NEIN zum europäischen
Islamzentrum in München" --" Tolak Pusat Islam Eropa di
München". Slogan ini tertulis pada spanduk para demonstran di Marienplatz,
salah satu tempat para pejalan kaki dan pusat perbelanjaan paling ramai di
jantung kota München. Aksi ini dilakukan selama beberapa hari selama bulan
Juli. Para demonstran coba meyakinkan para warga yang kebetulan lewat di tempat
itu bahwa Islam adalah bahaya untuk identitas kultural Eropa.
Pandangan eksklusif seperti ini tidak hanya dimiliki
oleh para warga biasa. Para politisi pun tidak jarang menyampaikan pernyataan
publik yang diskriminatif dan bertentangan dengan prinsip hak-hak asasi manusia
khususnya tentang kebebasan beragama dan berekspresi. Pada tahun 2010 misalnya
Menteri Luar Negeri Austria, Michael Spindelleger, dalam sebuah wawancara
dengan Koran Der Standard menyatakan bahwa Negara Austria dan Eropa pada
umumnya tidak menginginkan masyarakat-masyarakat paralel
(Parallelgesellschaften).
Konsep tentang masyarakat paralel bertolak dari
asumsi tentang adanya sebuah masyarakat dengan budaya dominan (Leitkultur).
Budaya-budaya pendatang lain seperti Islam, budaya Turki, Cina, Afrika dan
lain-lain harus menyesuaikan diri dengan budaya dominan tersebut kalau mau
hidup di negara-negara Eropa Barat. Budaya dominan dianggap sebagai sebuah
substansi statis yang resisten terhadap perubahan. Pandangan ini bertentangan
dengan konsep moderen tentang budaya sebagai sebuah dinamika yang tak kunjung
akhir.
Konsep budaya dominan sesungguhnya bertolak belakang
dengan faktum pluralitas yang menandai setiap masyarakat moderen. Kehidupan
bersama dalam masyarakat moderen diwarnai kebhinekaan pandangan, nilai,
ideologi dan tradisi kultural. Di kota-kota besar kita jumpai kelompok-kelompok
penggemar Mozart dan Lady Gaga, kaum vegetarian dan pemakan daging,
neokonservatif dan pencinta lingkungan hidup, progresif dan skeptik terhadap
kemajuan, kelompok Katolik, Kristen, Muslim dan esoterik. Kebhinekaan ini tidak
hanya mewarnai ruang publik, tapi juga menyusup hingga ke ranah privat.
Faktum pluralitas ini melahirkan pertanyaan
mendasar: apakah masih ada elemen normatif yang dapat mempersatukan sebuah
masyarakat? Bagaimanakah kompleksitas pluralitas tersebut harus dihadapi?
Konsep budaya dominan (Leitkultur) lahir dari pesimisme atas kemampuan
demokrasi sebagai jaminan kesatuan sosial dan kerinduan akan sebuah basis
kultural kolektif untuk sebuah masyarakat multikultural. Basis budaya kolektif
tersebut harus melampaui prinsip formal demokrasi seperti kebebasan dan
kesetaraan.
Sejumlah kalangan di Barat bersikap sangat kritis
terhadap perkembangan demokrasi moderen yang dianggap sudah terlalu liberal.
Karena itu pluralitas nilai, ideologi dan tradisi dalam demokrasi harus
dijangkarkan kembali pada nilai budaya kolektif (Leitkultur). Namun apa wujud
dari Leitkultur itu, sesungguhnya tak seorang pun tahu. Di Jerman misalnya ada
yang menyebut Kekristenan sebagai budaya kolektif dominan. Jawaban ini sudah lama tidak diyakini lagi.
Alasannya, sederhana saja: makanan yang paling disukai orang Jerman adalah
masakan Turki, Döner Kebab, sedangkan acara televisi paling digemari bukan
mimbar agama, tapi acara Detuschland sucht den Superstar (Jerman mencari
superstar) asuhan Dieter Bohlen.
Obsesi terhadap budaya dominan (Leitkultur) juga
kita jumpai di Indonesia. Dikotomi antara budaya pribumi dan nonpribumi yang
cukup lama dipelihara oleh regim Orde Baru lahir dari paradigm kebudayaan
dominan tersebut yang melahirkan sejumlah kebijakan politik diskriminatif terhadap
kelompok-kelompok yang dianggap "nonpribumi". Sementara itu di sisi
kelompok "pribumi" sesungguhnya tidak pernah memiliki kesatuan
kultural dan karena itu tidak lebih dari sebuah ideologi tanpa basis historis
empiris.
Dalam semangat Orde Baru juga Manifesto Partai
Gerindra yang berbunyi, Negara dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama
yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari
ajaran agama" lahir dari latar belakang paradigm Leitkultur yang keliru.
Multikulturalisme
Bagaimana harus menyikapi pluralitas dalam
masyarakat moderen? Apalah sebuah masyarakat membutuhkan basis kultural dan
normatif kolektif agar demokrasi dapat berfungsi dengan baik? Politik
multikulturalisme merupakan jawaban atas persoalan ini. Konsep, multikulturalisme"
merupakan antitesis terhadap strategi liberal tradisional dalam menghadapi
perbedaan-perbedaan sosial. Liberalisme tradisional berpandangan,
perbedaan-perbedaan kultural dalam sebuah masyarakat yang ditata menurut hukum
demokrasi liberal dan prinsip-prinsip universal merupakan bagian dari ranah
privat dan tidak relevan secara publik.
Politik multikulturalisme menentang model
liberalisme seperti ini. Cita-cita dasar multikulturalisme ialah menjawab
pertanyaan tentang bagaimana menata kehidupan bersama yang setara, damai dan
dalam suasana saling pengakuan dalam sebuah masyarakat yang plural secara
etnis, rasial, kultural dan religius tanpa adanya rujukan normatif bersama
(budaya dominan).
Multikulturalisme memperjuangkan penghapusan
bentuk-bentuk diskriminasi hukum, politik dan sosial serta mendukung perjuangan
kelompok-kelompok tersebut dalam melestarikan identitas kulturalnya.
Multukulturalisme tetap menekankan pentingnya budaya politik kolektif yang
menjamin kesatuan sosial. Di samping itu multikulturalisme juga hanya legitim
sejauh tidak bertentangan dengan prinsip kesejahteraan individu dan karena itu
berpijak pada faham faham hak-hak asasi manusia dan hak-hak konstitusional.
Politik multikulturalisme adalah politik yang coba
menerjemahkan faktum multikulturalitas sosial ke sebuah tatanan dan kondisi
politik institusional. Politik multikulturalisme sangat penting dijalankan
sebab dalam kondisi sosial, politik, ekonomi dan kultural measyarakat moderen
dan postmoderen, elemen-elemen reproduksi sosial yang penting seperti identitas
kelompok, bahasa, budaya yang hanya dapat bertahan dalam dimensi publik
membutuhkan jaminan dan dukungan politik negara.
Sumber: Pos Kupang, 21 Juli
2014
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!