Alumnus Université
Pluridisciplinaires Panthéon-Sorbonne
Bagi Indonesia,
tahun 2013 diawali dengan musibah air bah, tak terkecuali ibu kota negara, di
mana air sampai masuk Istana Negara.
Begitu rupa hingga
wilayah Jakarta dinyatakan darurat banjir. Betapa tidak. Bah jantan segera
disusul bah betina bertubi-tubi. Pemberitaan televisi di Ibu Kota pada Kamis
(17/1) didominasi gambaran visual tentang banjir. Salah seorang penyiar yang
ditayangkan dengan latar belakang Bundaran Hotel Indonesia mengatakan bahwa
publik di sekitarnya mempertanyakan sebab musabab musibah air ini.
Setiap orang yang
diwawancarai, kalau tak angkat bahu, rata-rata mencerca orang lain, terutama
birokrat, dan tak ada seorang pun yang menyalahkan diri sendiri. Mereka semua
merasa dirinya ”korban” salah urus para pejabat.
Mawas Diri
Dalam menghadapi
musibah ini, kita, terutama warga DKI, sebaiknya bersikap mawas diri. Siapakah
”kita” ini?
Kita, pertama,
adalah penduduk yang bermukim sampai ke bantaran sungai, bahkan membangun gubuk
di atas air dan kemudian seenaknya membuang sampah ke sungai yang
dibelakanginya.
Kita, kedua, adalah
petugas dinas terkait, yang bertanggung jawab atas kondisi permukiman di
wilayahnya. Penduduk membuang sampah di sungai, selokan, dan gorong-gorong
karena tidak disediakan bak sampah yang memadai. Kalaupun ada, petugas
kebersihan datang tidak teratur sehingga bak sampah menjadi sumber bau yang
menyengat dan lalat hijau yang menjijikkan. Sementara itu, penghuni gedongan
mentereng semakin banyak yang menutup halamannya dengan semen hingga air hujan
tidak terserap oleh tanah.
Kita, ketiga,
adalah para penguasa daerah otonom di sekitar Jakarta yang mengambil kebijakan
pembangunan begitu rupa sehingga Ibu Kota selalu menampung banjir dari daerah
hinterland yang rata-rata berposisi topografis jauh lebih tinggi dari permukaan
laut dibandingkan dengan Jakarta.
Kita, keempat,
adalah pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang kebijakan pembangunannya
tidak merata hingga menyentuh semua desa yang berada di wilayah
administratifnya. Tidak heran kalau mereka lalu berbondong-bondong mencari
rezeki di Ibu Kota walaupun mengetahui bahwa hidup di Jakarta tidak gampang.
Kita, kelima,
adalah para pejabat administratif-politis tertinggi, baik yang berkuasa di DKI
maupun di daerah hulu Ibu Kota, yang bekerja tidak berdasarkan berpikir
sistemik.
Kita bisa saja
mengutuk cuaca ekstra buruk yang menyusahkan dewasa ini. Namun, bekerjanya alam
dapat memberikan kita pelajaran yang kondusif bagi penanganan yang baik
mengenai masalah kehidupan sehari-hari.
Coba lihat! Awan
bertumpuk, langit menggelap, begitu dedaunan di pohon menengadah, kita tahu
akan turun hujan. Kita juga tahu bahwa sesudah badai berlalu, air bah akan
menyusup ke Bumi menjadi air tanah di kejauhan sebelah hilir sana dan langit
cerah kembali keesokan harinya.
Peristiwa-peristiwa
tersebut berjarak dalam term waktu dan ruang. Walaupun begitu, semuanya saling
terkait dalam pola yang sama. Setiap peristiwa punya pengaruh pada yang lain,
pengaruh yang biasanya luput dari pandangan. Kita dapat memahami sistem
hujan-badai hanya dengan merenungi keseluruhannya, tidak hanya terbatas pada
bagian individual dari (keseluruhan) pola.
Kita lama-kelamaan
terbiasa, dibiasakan oleh pembelajaran spesialistik, memecah-belah masalah,
memfragmentasi dunia. Perbuatan ini kelihatannya membuat tugas dan subyek
menjadi lebih terkendali, more manageable.
Namun, kita harus
membayar harga mahal yang tersembunyi. Kita tidak bisa lagi melihat konsekuensi-konsekuensi
perbuatan kita, kita kehilangan, menurut Peter M Senge, ”our intrinsic sense of
connection to a larger whole”.
Apabila kita lalu
berusaha melihat gambaran besarnya (the big picture), kita berusaha merakit
ulang fragmen-fragmen dalam benak kita untuk mendaftar dan mengorganisasi
bagian-bagian yang terpisah-pisah itu. Namun, upaya ini percuma karena, menurut
fisikawan David Bohm, sama saja dengan merakit ulang fragmen-fragmen dari
sebuah cermin pecah dan kemudian menatapnya guna mendapatkan refleksi yang
benar. Bagaimana mungkin? Maka, akhirnya kita hentikan begitu saja upaya
melihat keseluruhan tadi.
Manusia Musuh Alam
Musuh, kambing
hitam dari banjir, bukan berada di luar sana, melainkan berada dalam diri kita.
Kita tidak mau belajar dari bekerja alam. Bumi adalah satu keseluruhan utuh,
tak terbagi-bagi, sama dengan masing-masing kita yang adalah an indivisible
whole. Alam, termasuk kita, tidak terbuat dari bagian-bagian di dalam
keseluruhan. Ia terbuat dari keseluruhan di dalam keseluruhan. Semua tapal
batas, lokal dan nasional, adalah arbitrer. Kitalah yang menciptakannya,
mengukuhkannya dengan ide otonomi muluk, tetapi mentah dan lalu, sungguh
ironis, kita megap-megap terjebak di satu.
Marilah kita
membiasakan diri berpikir sistemik, terutama apabila merasa terpanggil untuk
memimpin negara-bangsa, yang mengambil keputusan atas nama rakyat. Systems
thinking adalah berpikir holistik, berusaha melihat interaksi antara pemikiran
kita dan model-model internal serta antara persepsi dan tindakan kita. Berusaha
memahami perbedaan antara ”saling keterkaitan” (systems thinking) dan
”keterkaitan” (personal mastery).
Yang pertama
disebut adalah berurusan dengan kesadaran tentang bagaimana hal-hal berkaitan
satu sama lain, yang kedua dengan kesadaran mengenai keadaan selaku bagian
konstitutif dan bukan terpisah dari (masalah) dunia.
Justru dewasa ini
berpikir sistemik lebih diperlukan ketimbang dulu, berhubung makhluk manusia
semakin dicekam oleh kompleksitas. Tanpa systems thinking, pengambilan keputusan-keputusan
lokal menjadi miopik dan, kalaupun manjur, hanya berjangka pendek. Hal ini
terjadi karena para pengambil keputusan lokal tidak bisa melihat saling
ketergantungan yang membuat tindakan mereka berdampak atas segala sesuatu yang
berada di luar suasana lokal mereka.
Mari kita terima
malapetaka banjir sekarang sebagai satu blessing in disguise dari alam. Ia
mengingatkan kita signifikansi penguasaan berpikir sistemik. Pemindahan Ibu
Kota ke tempat lain bukan solusi dari masalah banjir. Di lokasi yang baru itu
akan timbul masalah serupa selama para petinggi negara-bangsa mengelolanya
tanpa systems thinking. Celetukan Mang Usil di pojok Kompas sungguh tepat. Pak
Presiden tidak perlu (lagi) blusukan, masalah (sudah) diantar langsung ke
Istana.
Berpikir sistemik
menjadi semakin urgen mengingat tanpa itu, tanpa disadari, kita sudah dilanda
kemelut budaya yang semakin mencekam.
Sumber: Kompas, 26
Januari 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!