Headlines News :
Home » » Politik Gawat Darurat

Politik Gawat Darurat

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, January 10, 2013 | 10:07 AM


Oleh Ansel Deri
Orang Kampung asal Lembata;
tinggal di Halim Perdana Kusuma, Jakarta

TAHUN 2014 rakyat Indonesia akan melaksanakan Pemilihan Legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) dan Pemilihan Presiden (Pilpres). Dua hajatan demokrasi paling akbar ini mewarnai politik tanah air (pileg dan pilpres). Tak berlebihan jika diamati, seolah-olah politik nasional kita tahun 2013 dalam keadaan gawat darurat.

Pandangan dan (mungkin) kekhawatiran seperti ini tak berlebihan. Bahkan kalangan pengamat politik pun melihat berpotensi terjadi kegaduhan (politik). Sikut-sikutan antar partai sebagai strategi politik menaikkan image di mata publik dipastikan tak terhindarkan. Manuver antar partai dan “kegenitan” elite politik mencari simpati rakyat menuju kursi kekuasaan tak bakal dibendung. Tensi politik bisa naik turun tak tentu.

Di luar itu, sejumlah “tokoh” yang berada di luar bahkan tak pernah bersentuhan langsung dengan partai politik akan wara wiri dan gencar bersafari hingga di pelosok kampung-kampung. Mereka bakal melancarkan manuver untuk merebut simpati rakyat. Pada saat bersamaan, tengah merindukan kemurahan hati partai politik (setelah diumumkan KPU) yang juga tengah sibuk menjaring calegnya, untuk mengakomodir mereka.

Politik lokal

Kegaduhan politik tak hanya terjadi di tingkat nasional. Kalkulasi politik para politisi apakah masih layak di mata rakyat tentu dimulai memasuki tahun 2013. Para politisi yang duduk di eksekutif entah gubernur, bupati, dan walikota maupun DPRD tentu akan disibukkan dengan urusan memasarkan citra diri agar lebih “seksi” di mata rakyat. Dengan demikian, mereka berharap terpilih dan kembali mengemban mandat rakyat.

Upaya memasarkan diri itu dapat ditempuh dengan melakukan kapitalisasi kantong pribadi atau mengatasnamakan partai politik tempatnya bernaung. Pengakuan seorang rekan anggota DPRD di sebuah kabupaten di NTT bisa menjadi sinyal menarik adanya kapitalisasi kas pribadi atau atas nama partai politik. Ada rekannya, sesama anggota DPRD, mengunjungi anggota keluarga atau mengikuti acara-acara pribadi di luar daerah dengan biaya dinas sebagai wakil rakyat.

Tak hanya itu. Berbagai proyek pemerintah yang diperuntukkan bagi kemajuan rakyat yang sangat tertinggal pun dikapling-kapling dan dibagi-bagi di antara oknum politisi (DPRD). Bahkan mereka begitu leluasa melakukan perjalanan dinas melampaui pagu resmi yang ditetapkan bersama eksekutif.

Tatkala mereka duduk bersama dalam rapat-rapat resmi, malah “saling tuding” setelah melihat data intensitas perjalanan keluar daerah begitu tinggi. “Kalian menuding saya banyak melakukan perjalanan dinas keluar daerah. Tapi intensitas perjalanan dinas kamu juga hampir sama dengan saya. Kalian bilang saya, ya, kamu juga kan begitu.” Begitu bunyi saling tuding antara eksekutif dan legislatif.

Karena itu 2013 diprediksi sebagai tahun rawan praktik korupsi. Para politisi masuk dalam godaan besar (korupsi) dengan beragam modus menambah kantong pribadinya agar dapat dipilih kembali masyarakat. Dalam Outlook Korupsi Politik 2013 pekan keempat Desember 2012, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Abdullah Dahlan juga mengingatkan hal ini. Korupsi politik akan lebih masif. Ini adalah tahun kritis. Partai politik fokus pada pengumpulan modal politik sehingga akan terjadi transaksi kewenangan. APBN dijadikan arena perburuan dan pembajakan modal politik. Karena itu, tak ada pilihan lain bagi elite agar tetap berada di garis politik.

Garis politik

Dalam dua hari berturut-turut, perihal garis politik diingatkan Susilo Bambang Yudhoyono, pendiri Partai Demokrat. Pertama, saat bertemu 33 ketua Dewan Pimpinan Daerah Partai Demokrat seluruh Indonesia di Puri Cikeas, Gunung Putri, Bogor, Jawa Barat, Selasa 12 Juni 2012. Kedua, saat berlangsung Silaturahmi Forum Komunikasi Pendiri dan Deklarator Partai Demokrat, Rabu, 13 Juni di Sahid Jaya Hotel, kawasan Sudirman, Jakarta.

Garis politik dimaksud yakni menjalankan politik cerdas, bersih, dan santun. Peringatan ini selain ditujukan kepada kader, tentu juga menjadi panduan bagi para politisi yang tengah mengemban mandat rakyat. Mengapa? Garis politik akan efektif dan menjadi garansi pelembagaan demokrasi terutama menyongsong pilpres dan pileg sekaligus menjauh dari situasi (politik) gawat darurat.

Garansi pelembagaan demokrasi menjadi penting atas pertanyaan: apa manfaat demokrasi bagi bangsa yang sedang mereformasi diri. Menjawab ini tentu akan muncul beragam kemungkinan. Pertama, karena demokrasi tak disertai dengan etika berpolitik yang benar oleh para politisi sehingga demokrasi pun berubah menjadi sekadar ajang mencari kekuasaan demi mencapai kepentingan. Akibatnya, politik ala Machiavelli pun menjadi pilihan taktik dan prinsip. Padahal seharusnya politik merupakan ”panggilan” (calling) mewujudkan kehendak Tuhan di dunia.

Berdasarkan itu, berpolitik seharusnya merupakan rahmat sehingga harus dilakukan dengan tulus. Berpolitik merupakan amanah sehingga harus bekerja penuh tanggung jawab. Berpolitik merupakan ibadah sehingga harus bekerja benar dan serius. Berpolitik merupakan aktualisasi diri sehingga harus bekerja penuh semangat, kreatif, dan unggul. Berpolitik merupakan kehormatan sehingga harus bekerja tekun dan bertanggung jawab. Berpolitik merupakan pelayanan sehingga harus bekerja dengan kerendahan hati.

Kedua, bicara tentang etika politik, Presiden SBY pada Forum Ke-6 World Movement for Democracy di Jakarta, 12 April 2010, mengingatkan, tantangan terbesar demokrasi sekarang adalah politik uang. Ini menjadi masalah di banyak negara. Demokrasi seperti itu pada akhirnya hanya melahirkan demokrasi yang artifisial dan mengurangi kepercayaan dan dukungan publik. Makin besar politik uang, makin sedikit aspirasi rakyat yang diperjuangkan oleh pemimpin politik. Praktik demokrasi seperti itu niscaya menghancurkan demokrasi itu sendiri (Seputar Indonesia, 9 Juni 2012).

Peringatan ini menjadi panduan bagi para politisi, terutama yang mengemban tugas sebagai legislatif maupun eksekutif. Kemiskinan dan ketertinggalan yang melilit rakyat mestinya dijadikan cermin mengevaluasi diri. Apakah tugas yang dijalankan sebagai “karyawan” partai sungguh tulus atau dibungkus kemunafikan personal. Perlu diingat, kerusakan politik dan instrumennya berakibat mandeknya perjalanan demokrasi. Kenyataan bisa dilihat jelas: banyak masyarakat di kampung-kampung masih hidup di bawah garis kemiskinan menyusul absennya para wakilnya memainkan tugas dan fungsinya dengan tanggung jawab.

Jangan sampai praktek politik hanya mengajak politisi berselingkuh dengan kroni-kroninya untuk kapitalisasi kantong pribadi. Bahkan kebijakan politik-ekonomi pun sekadar mengisap duit rakyat untuk diri sendiri dan konco. Sehingga kerinduan rakyat mendapat pelayanan sosial, kesehatan, pendidikan, dan ketersediaan jalan raya yang manusiawi hanya utopis, khayalan. Apalagi dengan sengaja, tahu dan mau membiarkan rakyat terpenjara dan takluk di bawah elite politik. Tambah celaka jika elite politik ikut “memborgol” rakyat dengan plesiran atau mengunjungi kerabatnya dengan duit rakyat di luar urusan dinas tanpa merasa malu. Ini sungguh masuk kategori gawat darurat yang mesti dibasmi karena berada di luar garis politik.
Sumber: Flores Pos, 7 Januari 2013
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger