Oleh Ansel Deri
Orang Kampung asal
Lembata;
tinggal di Halim
Perdana Kusuma, Jakarta
TAHUN 2014 rakyat
Indonesia akan melaksanakan Pemilihan Legislatif (DPR, DPD, dan DPRD) dan
Pemilihan Presiden (Pilpres). Dua hajatan demokrasi paling akbar ini mewarnai
politik tanah air (pileg dan pilpres). Tak berlebihan jika diamati, seolah-olah
politik nasional kita tahun 2013 dalam keadaan gawat darurat.
Pandangan dan
(mungkin) kekhawatiran seperti ini tak berlebihan. Bahkan kalangan pengamat
politik pun melihat berpotensi terjadi kegaduhan (politik). Sikut-sikutan antar
partai sebagai strategi politik menaikkan image di mata publik dipastikan tak
terhindarkan. Manuver antar partai dan “kegenitan” elite politik mencari
simpati rakyat menuju kursi kekuasaan tak bakal dibendung. Tensi politik bisa
naik turun tak tentu.
Di luar itu,
sejumlah “tokoh” yang berada di luar bahkan tak pernah bersentuhan langsung
dengan partai politik akan wara wiri dan gencar bersafari hingga di pelosok
kampung-kampung. Mereka bakal melancarkan manuver untuk merebut simpati rakyat.
Pada saat bersamaan, tengah merindukan kemurahan hati partai politik (setelah
diumumkan KPU) yang juga tengah sibuk menjaring calegnya, untuk mengakomodir
mereka.
Politik lokal
Kegaduhan politik
tak hanya terjadi di tingkat nasional. Kalkulasi politik para politisi apakah
masih layak di mata rakyat tentu dimulai memasuki tahun 2013. Para politisi
yang duduk di eksekutif entah gubernur, bupati, dan walikota maupun DPRD tentu
akan disibukkan dengan urusan memasarkan citra diri agar lebih “seksi” di mata
rakyat. Dengan demikian, mereka berharap terpilih dan kembali mengemban mandat
rakyat.
Upaya memasarkan
diri itu dapat ditempuh dengan melakukan kapitalisasi kantong pribadi atau
mengatasnamakan partai politik tempatnya bernaung. Pengakuan seorang rekan
anggota DPRD di sebuah kabupaten di NTT bisa menjadi sinyal menarik adanya
kapitalisasi kas pribadi atau atas nama partai politik. Ada rekannya, sesama
anggota DPRD, mengunjungi anggota keluarga atau mengikuti acara-acara pribadi
di luar daerah dengan biaya dinas sebagai wakil rakyat.
Tak hanya itu.
Berbagai proyek pemerintah yang diperuntukkan bagi kemajuan rakyat yang sangat
tertinggal pun dikapling-kapling dan dibagi-bagi di antara oknum politisi
(DPRD). Bahkan mereka begitu leluasa melakukan perjalanan dinas melampaui pagu
resmi yang ditetapkan bersama eksekutif.
Tatkala mereka
duduk bersama dalam rapat-rapat resmi, malah “saling tuding” setelah melihat
data intensitas perjalanan keluar daerah begitu tinggi. “Kalian menuding saya
banyak melakukan perjalanan dinas keluar daerah. Tapi intensitas perjalanan
dinas kamu juga hampir sama dengan saya. Kalian bilang saya, ya, kamu juga kan
begitu.” Begitu bunyi saling tuding antara eksekutif dan legislatif.
Karena itu 2013
diprediksi sebagai tahun rawan praktik korupsi. Para politisi masuk dalam
godaan besar (korupsi) dengan beragam modus menambah kantong pribadinya agar
dapat dipilih kembali masyarakat. Dalam Outlook Korupsi Politik 2013 pekan
keempat Desember 2012, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Abdullah
Dahlan juga mengingatkan hal ini. Korupsi politik akan lebih masif. Ini adalah
tahun kritis. Partai politik fokus pada pengumpulan modal politik sehingga akan
terjadi transaksi kewenangan. APBN dijadikan arena perburuan dan pembajakan
modal politik. Karena itu, tak ada pilihan lain bagi elite agar tetap berada di
garis politik.
Garis politik
Dalam dua hari
berturut-turut, perihal garis politik diingatkan Susilo Bambang Yudhoyono,
pendiri Partai Demokrat. Pertama, saat bertemu 33 ketua Dewan Pimpinan Daerah
Partai Demokrat seluruh Indonesia di Puri Cikeas, Gunung Putri, Bogor, Jawa
Barat, Selasa 12 Juni 2012. Kedua, saat berlangsung Silaturahmi Forum
Komunikasi Pendiri dan Deklarator Partai Demokrat, Rabu, 13 Juni di Sahid Jaya
Hotel, kawasan Sudirman, Jakarta.
Garis politik
dimaksud yakni menjalankan politik cerdas, bersih, dan santun. Peringatan ini
selain ditujukan kepada kader, tentu juga menjadi panduan bagi para politisi
yang tengah mengemban mandat rakyat. Mengapa? Garis politik akan efektif dan
menjadi garansi pelembagaan demokrasi terutama menyongsong pilpres dan pileg
sekaligus menjauh dari situasi (politik) gawat darurat.
Garansi pelembagaan
demokrasi menjadi penting atas pertanyaan: apa manfaat demokrasi bagi bangsa
yang sedang mereformasi diri. Menjawab ini tentu akan muncul beragam kemungkinan.
Pertama, karena demokrasi tak disertai dengan etika berpolitik yang benar oleh
para politisi sehingga demokrasi pun berubah menjadi sekadar ajang mencari
kekuasaan demi mencapai kepentingan. Akibatnya, politik ala Machiavelli pun
menjadi pilihan taktik dan prinsip. Padahal seharusnya politik merupakan
”panggilan” (calling) mewujudkan kehendak Tuhan di dunia.
Berdasarkan itu,
berpolitik seharusnya merupakan rahmat sehingga harus dilakukan dengan tulus.
Berpolitik merupakan amanah sehingga harus bekerja penuh tanggung jawab.
Berpolitik merupakan ibadah sehingga harus bekerja benar dan serius. Berpolitik
merupakan aktualisasi diri sehingga harus bekerja penuh semangat, kreatif, dan
unggul. Berpolitik merupakan kehormatan sehingga harus bekerja tekun dan
bertanggung jawab. Berpolitik merupakan pelayanan sehingga harus bekerja dengan
kerendahan hati.
Kedua, bicara
tentang etika politik, Presiden SBY pada Forum Ke-6 World Movement for
Democracy di Jakarta, 12 April 2010, mengingatkan, tantangan terbesar demokrasi
sekarang adalah politik uang. Ini menjadi masalah di banyak negara. Demokrasi
seperti itu pada akhirnya hanya melahirkan demokrasi yang artifisial dan
mengurangi kepercayaan dan dukungan publik. Makin besar politik uang, makin
sedikit aspirasi rakyat yang diperjuangkan oleh pemimpin politik. Praktik
demokrasi seperti itu niscaya menghancurkan demokrasi itu sendiri (Seputar
Indonesia, 9 Juni 2012).
Peringatan ini
menjadi panduan bagi para politisi, terutama yang mengemban tugas sebagai
legislatif maupun eksekutif. Kemiskinan dan ketertinggalan yang melilit rakyat
mestinya dijadikan cermin mengevaluasi diri. Apakah tugas yang dijalankan
sebagai “karyawan” partai sungguh tulus atau dibungkus kemunafikan personal.
Perlu diingat, kerusakan politik dan instrumennya berakibat mandeknya
perjalanan demokrasi. Kenyataan bisa dilihat jelas: banyak masyarakat di
kampung-kampung masih hidup di bawah garis kemiskinan menyusul absennya para
wakilnya memainkan tugas dan fungsinya dengan tanggung jawab.
Jangan sampai
praktek politik hanya mengajak politisi berselingkuh dengan kroni-kroninya
untuk kapitalisasi kantong pribadi. Bahkan kebijakan politik-ekonomi pun
sekadar mengisap duit rakyat untuk diri sendiri dan konco. Sehingga kerinduan
rakyat mendapat pelayanan sosial, kesehatan, pendidikan, dan ketersediaan jalan
raya yang manusiawi hanya utopis, khayalan. Apalagi dengan sengaja, tahu dan
mau membiarkan rakyat terpenjara dan takluk di bawah elite politik. Tambah
celaka jika elite politik ikut “memborgol” rakyat dengan plesiran atau
mengunjungi kerabatnya dengan duit rakyat di luar urusan dinas tanpa merasa
malu. Ini sungguh masuk kategori gawat darurat yang mesti dibasmi karena berada
di luar garis politik.
Sumber: Flores Pos, 7 Januari 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!