Anggota FPK
Provinsi NTT;
Kontributor FBC di
Kupang
BEBERAPA waktu lalu Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mengumumkan sepuluh partai politik (Parpol) yang akan berkompetisi pada pemilihan umum tahun 2014 mendatang. Dari sepuluh parpol tersebut, sembilan diantaranya adalah parpol muka lama yang saat ini menguasai parlemen dan hanya satu parpol pendatang baru yakni Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
Kemudian, pekan
lalu partai baru itupun dilanda masalah. Ketua Dewan Pakar Partai Nasdem. Harry
Tanoe Soedibyo bersama beberapa kerabatnya mengundurkan diri dari partai yang
didirikan Surya Pallo tersebut. Dalam waktu yang singkat, ribuan kader partai
ini juga mengundurkan diri dan mengembalikan kartu tanda anggota (KTA) mereka
langsung ke DPP Partai Nasdem di Jakarta.
Menjelang pemilihan
umum khususnya legislatif, istilah politisi kutu loncat itu begitu merdu
kedengarannya. Dari kabupaten/kota hingga pusat, istilah itu begitu popular dan
menjadi bahan perbicangan masyarakat dan politisi.
Dan terakhir ini,
menjelang pemilihan umum 2014, istilah kutu loncat menjadi pembicaraan menarik
apalagi dikaitkan dengan peristiwa di tingkat nasional akhir-akhir ini yakni
mundurnya Harry Tanoe Soedibjo. Konotasi kutu loncat ini memang amat sangat
tidak sedap, menyedihkan dan bahkan sangat memalukan. Sebab istilah ini
digunakan untuk menamai politikus yang suka pindah-pindah partai hanya mengejar
kepentingan pribadi.
Ada banyak sekali
alasan, mengapa seorang politisi bisa menjadi politisi kutu loncat. Beberapa
teman yang masuk kategori kutu loncat ini pernah mengemukakan sejumlah alasan
antara lain, karena di parpol sebelumnya, berbagai ide cemerlang yang
ditawarkan tidak diterima. Juga karena kesempatan untuk mendapatkan jabatan
politik tertutup serta ingin berkembang di parpol lain dan sejumlah alasan
lainnya.
Namun suatu hal yang
mungkin hampir pasti adalah, menjelang Pemilu 2014, banyak politikus yang
berpindah partai karena pertimbangan ingin mendapatkan kesempatan menjadi
anggota DPR dan DPRD, menjadi presiden atau wakil presiden, atau mendapat
jabatan politik yang lain seperti di daerah adalah ingin menjadi
bupati/walikota atau gubernur.
Namun, bagi
politisi bertipe kutu loncat tidak akan mungkin memberikan jawaban yang pasti
tetapi alasan yang dirasionalkan, misalnya, untuk dapat lebih mengabdikan diri
kepada bangsa dan negara/daera atau karena alasan lain yang ideal lainnya.
Fenomena kutu
loncat ini memang bukan hal baru lagi, karena kesempatan memang terbuka lebar
untuk itu. Kalau sebuah partai sebelumnya dianggap sudah tidak mampu menampung
lagi keinginannya, pilihan keluar memang menjadi sebuah keharusan.
Namun terbersit
juga sebuah dalil, banyak politikus yang tidak sabar sehingga ingin cepat
mencapai ambisinya di tempat yang baru. Hanya saja, kalau ditempat yang baru
itu, ambisinya juga tidak terjawab, kemanakah dia selanjutnya ?.
Kemudian, peluang
berkembangnya politisi kutu loncat itu
juga karena ada partai lain yang memberikan kesempatan. Walaupun
konotasi kutu loncat itu negatif, namun politikus kutu loncat disambut secara
terbuka oleh sebuah partai. Hal ini sudah tentu tergantung pada bobot politikus
bersangkutan. Apabila ia memiliki bobot atau kapasitas yang bagus, kehadirannya
bisa disambut gembira.
Politisi kutu
loncat yang memiliki kapasitas dan kemampuan yang bagus, tentu bisa menjadi
rebutan parpol yang sedang berjuang mendulang kemenangan pada Pemilu 2014
mendatang. Tipe politisi kutu loncat seperti itu lebih banyak pada mereka yang berduit dan memiliki
kemampuan yang besar sehingga mampu mendukung publikasi partai yang
bersangkutan. Politisi yang menguasai media massa misalnya, justur akan menjadi
rebutan.
Namun, sangat jauh
berbeda dengan politisi kutu loncat yang kapasitasnya sedang-sedang saja.
Terkadang kehadirannya di partai yang baru justru bisa mendatangkan kekecewaan.
Sebab, ia dianggap belum berkeringat sehingga harus melalui antrean panjang
untuk bisa mewujudkan ambisinya. Apalagi, kalau yang diincar adalah sebuah
partai besar.
Meski demikian,
arus informasi yang kian gencar telah menjadikan masyarakat semakin cerdas
berpolitik. Politisi kutu loncat belum tentu akan menambah elektabilitas
partai, bahkan mungkin sebaliknya. Sebab, partai yang banyak kutu loncatnya
akan banyak penyakitnya. Rakyat akan selektif untuk menentukan pilihan.
Kembali ke daerah
Nusa Tenggara Timur, masalah politisi kutu loncat memang selalu ramai menjelang
pemilu. Pada pemilu tahun 1999, misalnya si A menjadi anggota legislatif dari
partai B. Kemudian karena tidak diakomodir lagi di Partai A pada pemilu
2004, dia kemudian “terbang” ke partai C
dan seterusnya.
Lain lagi kisahnya,
karena tidak diakomodir dalam kepengurusan parpol juga karena keinginan untuk
mendapatkan kesempatan menjadi calon kepala daerah atau karena beda pendapat
dengan pengurus lain bahkan pimpinan parpol,
politisi itu kemudian hengkang dan masuk ke parpol lain.
Fenomena seperti
ini memang nyata di persada Flobamora tercinta ini. Hal ini membuat masyarakat
bingung, karena kemarin politisi ini berbaju hitam, sekarang sudah berbaju
putih. Namun politisi dengan julukan kutu loncat itu enjoi saja bahkan sering
berseloroh… emang gue pikirin (EGP). Dan memang itu jawabannya untuk
mengimbangi rasa malunya.
Masyarakat tentu
sangat paham betul, sepak terjang politisi kutu loncat yang sekarang sedang
bergerilya keluar masuk kampung. Tidak mustahil masyarakat akan menolak
politisi kutu loncat itu.
Sumber: floresbangkit.com, 29 Januari 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!