Headlines News :
Home » » Politisi Kutu Loncat

Politisi Kutu Loncat

Written By ansel-boto.blogspot.com on Thursday, January 31, 2013 | 12:05 PM

Oleh Bonne Pukan
Anggota FPK Provinsi NTT;
Kontributor FBC di Kupang

BEBERAPA waktu lalu Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah mengumumkan sepuluh partai politik (Parpol) yang akan berkompetisi pada pemilihan umum tahun 2014 mendatang. Dari sepuluh parpol tersebut, sembilan diantaranya adalah parpol muka lama yang saat ini menguasai parlemen dan hanya satu parpol pendatang baru yakni Partai Nasional Demokrat (Nasdem).
 
Kemudian, pekan lalu partai baru itupun dilanda masalah. Ketua Dewan Pakar Partai Nasdem. Harry Tanoe Soedibyo bersama beberapa kerabatnya mengundurkan diri dari partai yang didirikan Surya Pallo tersebut. Dalam waktu yang singkat, ribuan kader partai ini juga mengundurkan diri dan mengembalikan kartu tanda anggota (KTA) mereka langsung ke DPP Partai Nasdem di Jakarta.
 
Menjelang pemilihan umum khususnya legislatif, istilah politisi kutu loncat itu begitu merdu kedengarannya. Dari kabupaten/kota hingga pusat, istilah itu begitu popular dan menjadi bahan perbicangan masyarakat dan politisi.
 
Dan terakhir ini, menjelang pemilihan umum 2014, istilah kutu loncat menjadi pembicaraan menarik apalagi dikaitkan dengan peristiwa di tingkat nasional akhir-akhir ini yakni mundurnya Harry Tanoe Soedibjo. Konotasi kutu loncat ini memang amat sangat tidak sedap, menyedihkan dan bahkan sangat memalukan. Sebab istilah ini digunakan untuk menamai politikus yang suka pindah-pindah partai hanya mengejar kepentingan pribadi.
 
Ada banyak sekali alasan, mengapa seorang politisi bisa menjadi politisi kutu loncat. Beberapa teman yang masuk kategori kutu loncat ini pernah mengemukakan sejumlah alasan antara lain, karena di parpol sebelumnya, berbagai ide cemerlang yang ditawarkan tidak diterima. Juga karena kesempatan untuk mendapatkan jabatan politik tertutup serta ingin berkembang di parpol lain dan sejumlah alasan lainnya.
 
Namun suatu hal yang mungkin hampir pasti adalah, menjelang Pemilu 2014, banyak politikus yang berpindah partai karena pertimbangan ingin mendapatkan kesempatan menjadi anggota DPR dan DPRD, menjadi presiden atau wakil presiden, atau mendapat jabatan politik yang lain seperti di daerah adalah ingin menjadi bupati/walikota atau gubernur.
 
Namun, bagi politisi bertipe kutu loncat tidak akan mungkin memberikan jawaban yang pasti tetapi alasan yang dirasionalkan, misalnya, untuk dapat lebih mengabdikan diri kepada bangsa dan negara/daera atau karena alasan lain yang ideal lainnya.
 
Fenomena kutu loncat ini memang bukan hal baru lagi, karena kesempatan memang terbuka lebar untuk itu. Kalau sebuah partai sebelumnya dianggap sudah tidak mampu menampung lagi keinginannya, pilihan keluar memang menjadi sebuah keharusan.
 
Namun terbersit juga sebuah dalil, banyak politikus yang tidak sabar sehingga ingin cepat mencapai ambisinya di tempat yang baru. Hanya saja, kalau ditempat yang baru itu, ambisinya juga tidak terjawab, kemanakah dia selanjutnya ?.
 
Kemudian, peluang berkembangnya politisi kutu loncat itu  juga karena ada partai lain yang memberikan kesempatan. Walaupun konotasi kutu loncat itu negatif, namun politikus kutu loncat disambut secara terbuka oleh sebuah partai. Hal ini sudah tentu tergantung pada bobot politikus bersangkutan. Apabila ia memiliki bobot atau kapasitas yang bagus, kehadirannya bisa disambut gembira.
 
Politisi kutu loncat yang memiliki kapasitas dan kemampuan yang bagus, tentu bisa menjadi rebutan parpol yang sedang berjuang mendulang kemenangan pada Pemilu 2014 mendatang. Tipe politisi kutu loncat seperti itu lebih banyak  pada mereka yang berduit dan memiliki kemampuan yang besar sehingga mampu mendukung publikasi partai yang bersangkutan. Politisi yang menguasai media massa misalnya, justur akan menjadi rebutan.
 
Namun, sangat jauh berbeda dengan politisi kutu loncat yang kapasitasnya sedang-sedang saja. Terkadang kehadirannya di partai yang baru justru bisa mendatangkan kekecewaan. Sebab, ia dianggap belum berkeringat sehingga harus melalui antrean panjang untuk bisa mewujudkan ambisinya. Apalagi, kalau yang diincar adalah sebuah partai besar.
 
Meski demikian, arus informasi yang kian gencar telah menjadikan masyarakat semakin cerdas berpolitik. Politisi kutu loncat belum tentu akan menambah elektabilitas partai, bahkan mungkin sebaliknya. Sebab, partai yang banyak kutu loncatnya akan banyak penyakitnya. Rakyat akan selektif untuk menentukan pilihan.
 
Kembali ke daerah Nusa Tenggara Timur, masalah politisi kutu loncat memang selalu ramai menjelang pemilu. Pada pemilu tahun 1999, misalnya si A menjadi anggota legislatif dari partai B. Kemudian karena tidak diakomodir lagi di Partai A pada pemilu 2004,  dia kemudian “terbang” ke partai C dan seterusnya.
 
Lain lagi kisahnya, karena tidak diakomodir dalam kepengurusan parpol juga karena keinginan untuk mendapatkan kesempatan menjadi calon kepala daerah atau karena beda pendapat dengan pengurus lain bahkan pimpinan parpol,  politisi itu kemudian hengkang dan masuk ke parpol lain.
 
Fenomena seperti ini memang nyata di persada Flobamora tercinta ini. Hal ini membuat masyarakat bingung, karena kemarin politisi ini berbaju hitam, sekarang sudah berbaju putih. Namun politisi dengan julukan kutu loncat itu enjoi saja bahkan sering berseloroh… emang gue pikirin (EGP). Dan memang itu jawabannya untuk mengimbangi rasa malunya.
 
Masyarakat tentu sangat paham betul, sepak terjang politisi kutu loncat yang sekarang sedang bergerilya keluar masuk kampung. Tidak mustahil masyarakat akan menolak politisi kutu loncat itu. 
Sumber: floresbangkit.com, 29 Januari 2013
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger