Guru Besar Fakultas
Psikologi Universitas Indonesia
Saya masih punya
ibu yang, alhamdullilah, masih sehat. Usianya sudah 90 tahun, tetapi masih bisa
menelepon, masih bisa membaca tanpa kacamata, masih ke Jakarta hampir setiap
hari (beliau tinggal di Bogor), dan masih memimpin Yayasan Panti Asuhan
Muslimin (warisan ibunya, alias eyang putri saya dan adik-adik saya).
Di samping itu,
saya juga punya istri yang, alhamdullilah, juga masih aktif. Karena sama-sama
aktivis, banyak yang kenal dua-duanya, ibu saya dan istri saya. Akibatnya saya
selalu bingung kalau ada teman yang mengatakan, “Salam pada ibu”. Jadi saya
selalu balik bertanya, “Ibu yang mana? Ibu saya, atau istri saya?” Ada lagi
cerita lain. Seorang teman saya sudah beberapa tahun bercerai dari istrinya.
Akhir-akhir ini dia dekat dengan seorang wanita yang juga baru saja bercerai
dari suaminya.
Keduanya sudah
cukup serius mau lanjut ke pernikahan, tetapi anak-anak teman saya tidak
setuju. Mereka masih sayang pada ibunya. Tidak ikhlas kalau ada ibu tiri.
Kebingungan, kawan saya itu bertanya pada saya, “Bagaimana baiknya?”. Jawab
saya, “Katakan pada anak-anakmu, Bunga (bukan nama sebenarnya) akan jadi
istriku, tetapi tidak akan menjadi ibumu. Ibumu ya tetap ibu kandungmu itu,
tidak ada yang bisa menggantikannya”. Jadi konsep “ibu” itu tidak hanya satu, melainkan
banyak.
Yang dimaksud
dengan ibu dalam “surga di telapak kaki ibu”, tentunya ibu saya, bukan istri
saya. Kata guru agama saya, buat istri yang ada adalah “swarga nunut, neraka
katut” (bahasa Jawa, karena memang semasa sekolah keluarga kami tinggal di Jawa
Tengah), artinya “ke surga [istri] ikut, ke neraka terbawa-bawa”. Jadi istri
wajib menjaga tauhid, iman serta amal suaminya, agar terjamin masuk surga (kaum
feminis pasti protes, tetapi saya hanya copy paste guru agama saya, loh).
Bahwa konsep ibu
itu bermakna banyak, kita semua sudah mafhum. Ada ibu kandung, ada ibu tiri,
ibu sepesusuan ,ibu pejabat, ibu ketua, ibu kota, ibu pertiwi, Ibu Pratiwi
(istri saya), ibu-ibu.... masak, yuuk. Tetapi ada dua hal yang sering kali
mengacaukan konsep ibu dalam praktik sehari-hari. Yang pertama adalah
pencampuradukan konsep seperti yang dialami kawan saya tersebut di atas.
Anak-anaknya mencampurkan antara konsep istri dengan konsep ibu. Dulu memang,
istri identik dengan ibu. Sekarang, bukan lagi. Mawar adalah calon istri ayah,
bukan calon ibunya anak-anak, alias ibu tiri.
Yang kedua adalah
generalisasi konsep. Ibu tiri, misalnya selalu dianggap jahat, dan
saudara-saudara tiri jadinya juga dianggap jahat. Seperti dalam dongeng “Putri
Salju” dan “Bawang Merah, Bawang Putih” (aneh, namanya kok Bawang, bukan
Bunga?). Padahal ibu tiri, atau istrinya Papa yang baru, banyak juga yang baik.
Cobalah Anda ingat-ingat dalam daftar teman, kerabat atau sanak saudara Anda,
sangat boleh jadi ada di antara mereka yang ibu tiri tetapi baik.
Sebaliknya, coba
baca koran hari ini. Pasti ada saja berita tentang ibu membunuh anaknya
(mungkin karena desakan ekonomi), atau bayi masih merah dibuang di got,
pastinya oleh ibu kandungnya (karena malu, hamil di luar nikah), atau yang terjadi
setiap hari di mana saja, yaitu ibu yang KDRT pada anak kandungnya gara-gara
anaknya malas belajar, main melulu atau tidak nurut pada kata ibunya. Kalau
saya kebetulan memberi ceramah kepada remaja, sering saya tanyakan, “Siapa yang
pernah atau masih benci pada ibunya?”, maka banyak sekali yang tunjuk tangan
(atau tunjuk jari, tergantung apa yang ditunjukkan).
Lalu bagaimana
dengan kata-kata mutiara “Surga di telapak kaki ibu”, atau pepatah “Kasih ibu
sepanjang jalan, kasih anak sepanjang penggalan”? Lebih runyam lagi, dengan
kemajuan teknologi zaman sekarang, jenis ibu makin beragam. Dulu, di zaman
Rasulullah, hanya ada yang namanya ibu sepesusuan. Yaitu kalau ibu yang ASI-nya
kurang, bayinya boleh disusui oleh ibu lain yang kebetulan juga sedang menyusui
dan ASI-nya tumpah ruah. Jadi dua (atau lebih) bayi, punya satu ibu sepesusuan.
Bayi-bayi yang
menyusu dari satu ibu itu, kalau besar tidak boleh menikah. Baik untuk
bayi-bayi yang berbeda jenis kelamin, maupun kalau jenis kelaminnya sama (wah,
gawat kalau ini tidak dilarang). Tetapi sekarang saudara sepesusuan sudah tidak
pernah saya dengar lagi, minimal di Indonesia (entah kalau di Arab sana). Di
sisi lain, dengan bantuan teknologi medis, satu bayi bisa punya dua ibu
kandung. Ibu kandung pertama adalah ibu dari mana telur (ovum) berasal. Karena
berbagai alasan medis, ibu ini tidak bisa atau tidak boleh mengandung.
Maka telur itu
dibuahi dengan sperma suaminya dalam sebuah mesin (lebih tepatnya alat di
laboratorium), dan hasil pembuahan dengan mesin itu ditanamkan kembali ke
kandungan seorang ibu lain yang sehat, sehingga kehamilan berlangsung normal
dan bayi lahir dari ibu kandung kedua, yaitu ibu titipan (surrogate mother). Di
beberapa negara bagian Amerika Serikat, ibu titipan ini legal (sah menurut
hukum). Biasanya, si ibu titipan sebelumnya sudah menandatangani surat
perjanjian bahwa ia akan menyerahkan bayinya yang akan lahir nanti, ke ibu
asli.
Untuk itu, ibu
titipan mendapat imbalan uang. Ibu dan ayah asli ikhlas, karena sangat
mendambakan anak. Namun, yang terjadi adalah banyak ibu titipan yang ingkar
janji (istilah hukumnya: wanprestatie). Proses mengandung dan melahirkan, mau
tidak mau akan menimbulkan hubungan emosional antara ibu (titipan) dan bayinya.
Maka wajar secara psikologis (tetapi tetap wanprestatie secara hukum), kalau
ibu titipan tidak mau melepaskan bayinya. Di Indonesia belum ada ibu surrogate
dengan teknologi tinggi seperti itu, tetapi yang banyak justru ibu-ibu titipan
nonteknologi.
Misalnya seorang
ibu yang kebanyakan anak, sementara kemampuan suaminya terbatas, ikhlas
menitipkan anaknya ke kakaknya yang kebetulan belum punya anak. Anak itu boleh
mengunjungi ibu kandungnya setiap liburan sekolah. Ibu kandungnya di panggilnya
“mbok” (karena di desa di Jawa Tengah), sedangkan ibu titipannya dipanggil
(karena orang Jakarta) “bunda”. Contoh lain, remaja putri kelas II SMA,
tiba-tiba hamil (sebetulnya tidak terlalu tiba-tiba sekali, sih, tetapi
ketahuannya tiba-tiba).
Terlambat, tidak
bisa lain kecuali bayi itu dilahirkan. Setelah lahir, dokter membuat surat
keterangan lahir atas nama eyang putri dan eyang kakung sebagai ibu dan ayah
kandung (maksud dokter baik, yaitu menolong keluarga daripada menanggung aib
seumur-umur). Anak itu kemudian memanggil eyang-eyangnya (nenek-kakeknya) atau
orang tua titipannya dengan “mama-papa”, sedangkan ibu kandungnya dipanggil
“kakak”.
Masalah di kemudian
hari timbul, jika secara pelan-pelan, tidak disadari, para ortu titipan dan ibu
kandung ini kembali kepada peran aslinya. Si kakak berperan seakan-akan sebagai
ibu kandung, sementara mama-papa makin lepas tangan. Anak jadi bingung, “Siapa
sih mamaku sebenarnya?”. Nah, kebingungan seperti inilah yang juga menyebabkan
saya bingung ketika dititipi salam untuk “Ibu Sarlito” (ibu atau istri?), dan
anak-anak teman saya galau ketika ayahnya mau membawa istri (atau ibu?) baru ke
rumah.
Terlalu banyak
konsep tentang ibu, yang sebetulnya tidak apa-apa, selama kita menyadarinya dan
bisa memilah-milahnya dan menempatkannya pada konteks yang tepat. Dengan
begitu, kita tidak perlu lagi terlalu percaya kalau ada yang mengatakan,“Mana
ada ibu yang tega pada anaknya sendiri?” atau “Semua ibu sayang kepada
anaknya”. Memang realita sering kali jauh dari norma. Selamat Tahun Baru 2013!
Sumber: Seputar
Indonesia, 6 Januari 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!