Dosen Sekolah
Tinggi Intelijen Negara;
Alumnus
Pascasarjana Kajian Stratejik Intelijen UI
Menurut catatan
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), selama 2012 tejadi 57 kasus kekerasan pada
jurnalis. Angka ini relatif sebanding dengan 51 kasus yang terjadi sepanjang
2011. Dari jumlah tersebut, sekitar 80 persen berupa kekerasan fisik. Jumlah
ini relatif lebih banyak dibanding 2011 yang berupa kekerasan verbal yang
meliputi intimidasi, ancaman melalui jalur hukum, dan teror psikologis.
Sementara itu, pada
2009, ada 37 kasus kekerasan terhadap insan pers dan pada 2010, ada 51 kasus.
Sedangkan, data dari LBH Pers menunjukkan, sepanjang Januari-Mei 2012 terdapat
45 kasus kekerasan yang terdiri atas 23 kekerasan fisik dan 22 kekerasan
nonfisik.
Khusus untuk daerah
konflik semacam Papua dan Papua Barat, AJI Jayapura mencatat, selama 2012, ada
12 kasus kekerasan atau intimidasi terhadap wartawan di Papua dan Papua Barat.
Jumlah ini mengalami peningkatan siginifikan dari tahun sebelumnya, pada 2011,
hanya ada tujuh kasus. Sepanjang 2012, kekerasan terhadap wartawan lebih banyak
dilakukan polisi. Empat kasus dilakukan polisi, tiga kasus oleh masyarakat
sipil di mana tiga di antaranya dilakukan secara berkelompok, satu kasus TNI,
dan tiga kasus dilakukan pejabat publik.
Beberapa kasus
kekerasan atau intimidasi terjadi di Papua dan Papua Barat. Di antaranya, kasus
kekerasan menimpa lima orang wartawan di Papua dan Papua Barat, yakni mereka
dihalang-halangi meliput sidang Forkurus Yo boi- sembut dan kawan-kawan di
Pangadilan Negeri Kelas IA Jayapura, Kota Jayapura, Papua, 8 Februari 2012.
Perlakuan kekerasan juga ada yang berbentuk intimidasi fisik, penarikan, serta
penggeledahan kepada wartawan saat memasuki lokasi sidang.
Kasus lainnya
dialami wartawan Cahaya Papua, Radang Sorong, dan Media Papua Paskalis ketika
sedang memberitakan aspirasi tuntutan dialog dan referendum di Papua. Sementara
itu, di Polimak, Kota Jayapura, wartawan Papua Pos, Tumbur Gultom, ditanyai
ratusan massa terkait identitasnya. Ketika dia menjawab sebagai wartawan Papua
Pos, massa tidak percaya dan mengambil balok, lalu mengejar korban. Gultom
berhasil melarikan diri dengan bersembunyi di salah satu rumah warga.
Maraknya beragam
ancaman terhadap kalangan jurnalis, dapat mengancam demokratisasi. Setidaknya,
ada tiga penyebab terus terjadinya tindak kekerasan pada jurnalis. Pertama,
adanya anggapan jurnalis tidak profesional dalam pemberitaan terkait
pemberitaan politik menjelang Pemilu 2014 dan pemilukada di daerah. Dampaknya,
pihak yang tidak suka berpotensi melakukan kekerasan.
Kedua, kinerja
jurnalis yang intens memberitakan korupsi setahun terakhir membuat pejabat
sipil maupun militer membenci jurnalis. Ketiga, proses kekerasan yang tidak
diusut tuntas tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku sehingga terkesan terjadi
pembiaran. Bahkan, diperkirakan, kasus kekerasan terhadap wartawan akan
meningkat menjelang Pemilu 2014 karena profesi wartawan ini kerap masuk dalam
pu- saran orang-orang yang terlibat dalam persaingan politik.
Maraknya aksi
kekerasan terhadap insan pers dapat diselesaikan dengan cara mengakhiri
impunitas para pelaku kekerasan terhadap insan pers. Negara diminta agar lebih
menghormati, memenuhi, dan melindungi hak kebebasan berekspresi warga negara.
Indonesia dewasa ini dinilai belum sepenuhnya menghormati, memenuhi, dan
melindungi hak kebebasan tersebut. Karena itu, jurnalis harus mendapatkan
perlindungan hukum sesuai dengan Undang-Undang Pers No 40 Tahun 1999. Kemudian,
pihak yang keberatan atau dirugikan dengan isi pemberitaan agar menempuh
mekanisme yang tersedia, yakni dengan hak jawab atau surat protes dan tidak main
hakim sendiri.
Di samping itu,
aparat penegak hukum juga harus mengusut dan memproses setiap kasus kekerasan
terhadap jurnalis. Penegak hukum juga menggunakan Undang-Undang Pers dalam
menjalankan setiap sengketa pers. Sedangkan, secara internal, perusahaan media
perlu menghargai hak-hak karyawan untuk bebas berserikat dan berkumpul serta
menghindari terjadinya pemutusan hubungan kerja dan menolak monopoli
kepemilikan media penyiaran.
Di samping itu,
kalangan jurnalis dan organisasi jurnalis terus-menerus meningkatkan kompetensi
para anggotanya dengan pelatihan-pelatihan, meng hormati dan melaksanakan kode
etik wartawan Indonesia, melakukan check, recheck, dan cross check terhadap
setiap pemberitaan yang akan dimuat, serta peliputan yang bersifat cover both
sides. Sebaiknya, pers juga tidak memberitakan masalah dengan isu sensitif,
seperti konflik terkait dengan ideologi/nilai atau kepentingan, agar tidak
menimbulkan vested interest, serta mengawal demokrasi agar tumbuh lebih sehat.
Dirgahayu pers Indonesia.
Sumber: Republika, 9
Februari 2013
0 komentar:
Silahkan berkomentar
Tuliskan apa pendapatmu...!