Headlines News :
Home » » Komisi Pemasyarakatan

Komisi Pemasyarakatan

Written By ansel-boto.blogspot.com on Wednesday, August 21, 2013 | 6:08 PM


Oleh Adrianus Meliala
Kriminolog UI
Anggota Balai Pertimbangan Pemasyarakatan

KEKURANGAN paling mencolok terkait dengan rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan di Indonesia mencakup sumber daya manusia, anggaran, dan sarana-prasarana. Jika belakangan ini berkali-kali muncul berita tak sedap tentang lembaga tersebut, sebenarnya berawal dari kekurangan tersebut.

Namun, pemenuhan ketiganya tanpa diimbangi pengawasan yang memadai hanya akan menimbulkan permasalahan baru. Untuk itu, rumah tahanan (rutan) dan lembaga pemasyarakatan (LP) ataupun lembaga terkait dengan rumpun pemasyarakatan, seperti balai pemasyarakatan (bapas) dan rumah penyimpanan barang sitaan negara (rupbasan), perlu punya lembaga pengawasan sendiri.

Bahaya moral

Keterbatasan menyangkut tiga hal di atas, oleh manajemen rutan dan LP dikompensasi dengan penciptaan budaya penjara yang mengutamakan keseimbangan. Kehidupan penjara diciptakan sedemikian rupa sehingga memperlihatkan harmoni. Secara konsep, harmoni itu juga menunjang proses reintegrasi penghuni untuk, pada saatnya kelak, dapat kembali ke masyarakat.

Guna merealisasi harmoni, pada satu sisi para sipir "meminta" para penghuni agar tidak lari, tak berkelahi, tak melawan petugas, dan, yang paling ditakuti, tidak menciptakan kerusuhan. Mengapa demikian? Karena jika terjadi, sipir dapat dipastikan akan tunggang langgang karena tak akan mampu menahan para penghuni apabila mengamuk.

Di sisi yang lain, sipir juga memberi "konsesi" kepada penghuni berupa aneka keringanan dan keleluasaan. Sipir juga berjanji tak galak, tak gemar menghukum, menoleransi jika terjadi penyimpangan kecil-kecil, bahkan bersedia fleksibel sepanjang penghuni tidak bikin onar.

Permasalahannya, penciptaan keseimbangan itu menghadirkan moral hazard (bahaya moral). Petugas bisa dengan mudah terlena dan hanyut dalam kelonggaran yang diciptakannya sendiri. Interaksi dirinya dengan penghuni bisa menjadikannya "terbeli" karena sering meminta atau menerima uang. Penyimpangan kecil-kecilan yang timbul di rutan/ lapas juga bisa berkembang ke arah lebih serius, tetapi tak dicegah atas nama "harmoni" tadi.

Yang terjadi di LP Cipinang, misalnya, pada dasarnya adalah kasus penyimpangan yang ekstrem yang dilakukan secara interaktif oleh penghuni dan sipir. Disebut sebagai kasus karena dapat dipastikan bahwa hal itu tidak terjadi di 600-an UPT Pemasyarakatan di seluruh Indonesia. Dikatakan interaktif karena, dari sudut sipir, sulit diterima akal sehat bahwa sipir tak tahu yang terjadi dalam wilayah yang diawasinya secara total.

Terkait dengan itu, sistem pengawasan internal Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia tidak bisa menjangkaunya. Seperti juga sejumlah inspektorat jenderal, Inspektorat Jenderal Kemenkumham juga gampang terkena tiga penyakit. Pertama, ewuh pakewuh saat memeriksa sesama teman dan gampang "masuk angin". Kedua, pengawasan lebih pada aspek administratif. Ketiga, pelaksanaan pengawasan dilakukan secara protokoler (diberitahukan terlebih dahulu, dll) sehingga yang dilihat di rutan/LP pada dasarnya tidaklah apa adanya.

Untuk itu, kita perlu menghargai upaya dari (khususnya) Wamenkumham Denny Indrayana, yang rajin melakukan inspeksi mendadak ke sejumlah unit pengelola teknis di lingkungan Kemenkumham. Upayanya menekan kehadiran telepon seluler, pungli, dan narkoba memang tak akan menyelesaikan masalah, tetapi minimal bisa menekan kemungkinan berkembangnya penyimpangan ke arah yang lebih serius dan ekstrem.

Namun, itu tidak cukup. Kasus "pabrik narkoba" di LP Cipinang dan ulah terpidana mati Freddy yang memperoleh akses luar biasa di LP tersebut pada dasarnya adalah tamparan bagi kita semua. Namun, jika mengambil hikmahnya, kasus itu kembali memperlihatkan bahwa kegiatan pemasyarakatan memerlukan pengawasan yang bukan hanya fungsional dan melekat, melainkan juga pengawasan terkait proses dan aktivitas pemasyarakatan. Di mancanegara, hal itu dikenal dengan sebutan pengawasan penjara (prison oversight).

Pengawasan

Kehadiran lembaga pengawasan terkait dengan kinerja suatu lembaga bukan lagi barang baru di negeri ini. Di lingkungan peradilan pidana, ada Komisi Kepolisian Nasional sebagai pengawas Polri; untuk kejaksaan terdapat Komisi Kejaksaan. Demikian pula Komisi Yudisial (KY) untuk mengawasi para hakim.

Lalu siapa yang mengawasi rutan/LP dan kegiatan para sipir? Tidak ada. Itjen dan Wamenkumham bukanlah pengawas fungsional yang memahami dan secara konsisten memonitor manajemen penjara, budaya penjara, dan aneka penyimpangan petugas ataupun penghuni.

Dalam UU No 12/1995 tentang Pemasyarakatan, disebutkan tentang lembaga Balai Pertimbangan Pemasyarakatan (BPP) yang diposisikan sebagai pemberi saran dan pertimbangan kepada Menkumham mengenai pelaksanaan sistem pemasyarakatan. Oleh banyak kalangan, BPP digadang-gadang sebagai KY-nya jajaran pemasyarakatan. Padahal, jika dilihat secara format dan kegiatan, BPP sama sekali tidak bisa disebut sebagai suatu komisi negara yang secara rutin menjalankan kegiatan pengawasan.

Keanggotaan BPP terdiri atas beberapa mantan dirjen pemasyarakatan, anggota parlemen, beberapa akademisi, dan aktivis LSM. Mereka sesekali berkunjung ke beberapa UPT serta 1-2 bulan sekali bertemu guna membahas sejumlah isu dan mengajukannya dalam bentuk saran kepada Menkumham atau Dirjen Pemasyarakatan.

Jadi, walau BPP itu baik dalam rangka melahirkan konsep dan pemikiran, termasuk pembuatan parameter kinerja jajaran pemasyarakatan, BPP tak punya kapasitas mengawasi secara teknis. Walau dewasa ini Presiden SBY sudah memiliki struktur kelembagaan yang gemuk, itu tidak berarti kita semua menutup kesempatan untuk mendiskusikan pembentukan Komisi Pengawasan Pemasyarakatan ini.
Sumber: Kompas, 20 Agustus 2013
SEBARKAN ARTIKEL INI :

0 komentar:

Silahkan berkomentar

Tuliskan apa pendapatmu...!

 
Didukung : Creating Website | MFILES
Copyright © 2015. Ansel Deri - All Rights Reserved
Thanks to KORAN MIGRAN
Proudly powered by Blogger